Jogjakarta terasa menyengat hari ini, sampai-sampai keringat pun mengucur dari keningku, padahal pita merah di dasbord melambai-lambai menandakan AC di mobil menyala. Suasana hari ini hampir sama dengan kejadian 20 tahun lalu, juga sekotak kardus coklat yang berada persis di sampingku. Aku ingin membuangnya, kardus dan juga isi di dalamnya, dia benar-benar menggangguku, jeritanya membuatku tidak bisa tidur setiap malam, karena aku harus bangun untuk memberinya susu agar dia mau menutup mulutnya.
Aku menghentikan mobilku di jalan sepi dekat pantai parangkusumo, Kemudian meletakan kardus di bawah pohon cemara dekat jalan raya. Mungkin di tempat sepi ini akan ada seseorang lewat dan mau memungutnya, kemudian membesarkanya hingga dewasa.
Aku segera berlari kecil menuju ke dalam mobil. Kulihat lagi kardus coklat itu, sama seperti 20 tahun lalu. Sebuah tangan kecil menyembul dari dalam kardus. "OH..." aku tak berani menyebut nama Tuhan, namun perasaan 20 tahun lalu seperti datang lagi menggelayutiku. Tunggu!!!, bukan datang tapi timbul kembali.
Kunci terputar dan terdengar suara mesin mobil mati. Aku keluar dan berjongkok di dekat kardus coklat, sama seperti apa yang aku lakukan 20 tahun lalu. Perlahan aku membuka tutup kardus. Tangan mungil itu masih mencoba meraih udara. Matanya berbinar seakan berkata "Peluk aku". "Oh..." lagi-lagi aku tak berani menyebut nama Tuhan.
Asap putih keluar silih berganti dari mulutku. Aku mengeluarkan isi dalam kardus dan meletakan di atas kap mobil. Ini tidak sama dengan 20 tahun lalu. Aku memandangnya, sebuah senyum getir menghiasi bibirku. Kenapa aku bisa merasa tak tega untuk membuangmu?apa karena 2 minggu lalu aku menabrak mati ibumu? Sepertinya itu bukan suatu alasan yang tepat, toh juga tak ada yang melihatnya, mayatnya pun sudah aku buang ke kali. Dan aku yakin tak akan ada seorangpun yang perduli.
Ini bukan kali pertama aku membuang sesuatu. "hufttt" satu-satunya hal yang belum aku buang adalah hidupku. Menyedihkan hidup dibayangi rasa berdosa. seandainya aku tak terlalu pengecut untuk menyanyat nadiku, seandainya aku tak terlalu pengecut untuk menenggak sebotol racun. Seandainya aku tak terlalu pengecut untuk melompat dari atas gedung dan membiarkan tubuhku berkeping. Mungkin perasaan itu sudah berakhir. Sayangnya aku terlalu pengecut untuk mengakhiri semua ini.
20 tahun lalu aku pernah melahirkan seorang anak perempuan. Wajahnya seperti malaikat. Aku tak menyangka pernikahanku akan menghasilkan seorang anak yang begitu mempesona karena Suamiku telah divonis mandul oleh dokter. Dia tidak perduli aku hamil anak siapa, dia bahkan semakin mencurahkan perhatianya padaku, ketika tau kalo aku hamil. Anak siapa? Aku juga tidak tau. Mungkin beberapa orang di club malam, teman kerja, atau mantan pacarku.
Pernikahan yang terasa seperti di neraka. Suamiku begitu mencintaiku, tapi aku tidak. Suamiku begitu menyanyangiku, tapi aku tidak. Aku juga tidak tau kenapa aku bisa menikah denganya, mungkin karena ibu.
Huft... dan melelahkan selalu dalam kepura-puraan. Pura-pura mencintai, pura-pura menyayangi, pura-pura baik-baik saja. Pura-pura!
Aku begitu merasa tidak nyaman dengan semua kebaikan yang telah suamiku berikan. Dia terlalu sabar, terlalu baik, terlalu perhatian, semua ini semua membuatku muak. Apalagi setelah anak itu lahir. Padahal suamiku tau itu bukan anaknya, tapi kenapa dia begitu menyayangi anak itu. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membuangnya.
20 tahun lalu aku pernah membuang seorang bayi perempuan di tempat ini. Anaku yang malang. Tapi lebih baik dia tidak dewasa itulah pikiranku 20 tahun lalu, aku tidak mau dia memiliki ibu seperti aku.
Sepulang dari aku membuang bayiku, aku mendapati suamiku berdiri gusar di depan pintu. Dia marah saat tahu aku tak membawa nisa, bayiku. Karena suamiku tau aku tak menyukai anak itu. Aku bahkan tak pernah menyentuhnya apalagi memberinya ASI. Suamiku hendak memukulku saat aku berkata bahwa anak itu sudah kubuang. Tapi tak jua dia memukulku. Dia malah berlutut dan memohon sambil menangis agar aku mau memberi tahu dimana aku membuang nisa. Suamiku segera pergi sesaat setelah aku memberi tahu dimana aku membuang nisa.
7 hari berlalu setelah kepergianya. Suatu pagi dia datang dan memberiku sebuah amplop berwarna coklat. Aku membukanya dan membacanya. Tanpa pikir panjang aku segera menorehkan tinta di atasnya, lalu dia pergi begitu saja. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi juga nisa.
"meow" anak kucing itu merangkak dan mulai mengusapkan kepalanya di jemariku. Aku mengangkatnya, menimangnya dan memberikanya sebuah kecupan.
Sekarang usiaku hampir 50 tahun, Aku harap aku belum terlambat jadi seorang ibu.Mungkin aku lebih pantas jadi ibu kucing daripada ibu manusia.
"meow...meow"