Langit mendung menjadi saksi setelah hujan usai.
Dia bercerita banyak tentang kakaknya, aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik.
Aku bingung, dengan kalimatmu tentang penggambaran kakakmu yang seperti itu,
'Apa hubungannya denganku, harus aku tau semua tentangnyakah? Penting untukku?' batinku
Untung saja kumandang adzan maghrib terdengar, sehingga aku ada alasan untuk menyudahi ceritanya yang ngga akan kelar sampe aku menguap sekalipun. Padahal aku hanya ngangguk-ngangguk tidak mengerti.
***
Brebes, tujuhtahun sebelumnya;Pagi itu, hujan selalu menyambutku dengan sendu. Hawa malas kembali merajuk, satu dua langkah seolah berteriak menyemangatiku, sampai bau tanah setelah hujan menyeruak, bau ladang dan sawah yang menyejukkan, aku berangkat tak hanya dengan sendu, langkah yang gontai, tapi dengan teman wanitaku. Dia sangat suka bebauan yang tadi kusebutkan, begitupun bau kertas kamus yang sudah lama terkena debu, aku mengacuhkannya saat dia selalu mengulang kesukaannya.
"Bodoamat." Gumamku
"Apa Dis?" Ternyata dia mendengarku.
"Cepatlah, nanti kita telat. Berhenti main drama." Cecarku, dan segera berjalan cepat meninggalkannya, aku mendadak bersemangat.
Aku tak menghiraukan dia yang jauh tertinggal dibelakangku.
"Tungguuuin " teriaknya sambil mengangkat rok abu-abunya
Sampai digerbang sekolah, aku berhenti, seolah enggan meneruskan.
"Kenapa Dis, ayo cepat? Kamu ingin kita kena omel lagi? Aku udah cape telat mulu gara-gara kamu!"
Aku diam tak bergeming.
Lea menarikku, aku pasrah. Segera melewati kakak seniorku yang sedang berada tak jauh dipos satpam yang seperti menunggu kedatangan seseorang.
***
Didepan kelasku.
Sepuluh lima'Le, dia ada disini' aku bergumam pelan sangat pelan, Lea dengar hanya saja dia tak tahu siapa yang ku maksud.
Dua detik selanjutnya dia melangkah pergi menuju kelasnya sepuluh satu, tanpa aba-aba apapun, sepertinya dia sudah sangat kesal, karna aku dia selalu terlambat. Hanya karna menungguku. Takdir tidak pernah bersikap manis dengan kami. Lagi-lagi kami tidak sekelas.
Aku meletakkan ransel dibangku kedua dari belakang deretan ke dua dari pintu masuk, kuhela nafas yang sedari tadi seolah tercekat hanya karna sosoknya. Memakai topi, beranjak segera menuju lapangan, masuk barisan. Yap, hari ini Senin. Upacara. Bukan barisan kelasku, melainkan kelas sepuluhsatu.
Lea mengernyitkan dahinya. Kemudian menanyakan alasan aku ada disini.
'aku males kalo ketemu Dayat' kujawab sekenanya.
'Jadi beneran? Dayat ada disekolah ini?' Lea berbisik sangat pelan ditelingaku seolah takut ketahuan- tanpa menghilangkan raut keterkejutannya.
'Iya, dia kelas sepuluh enam. Aku ngga sengaja liat dia di pos tadi.' sebelumnya aku pernah melihat nama Dayat di daftar pembagian kelas, aku hanya menerka dia bukan Dayat yang kukenali'
Lea jelas-jelas mengelak dia tidak melihat Dayat dipos. Atau mungkin minusnya bertambah. Ah, dia lupa mengenakan kacamatanya pagi ini.
Ssssssssstt..
Seseorang menarikku ke belakang barisan.
Aku meronta, berontak, tetapi cengkramannya sangat kuat. Sehingga lenganku terasa nyeri. Mungkin sudah memerah saat ini. Kalo saja kondisinya tidak sedang upacara. Dissa bisa saja memaki, mengumpat, sekaligus menendangnya.
Kamu menyipitkan matamu ke nametag seragam. Mengeja namaku. Dan menasehatiku karna aku terus mengobrol saat upacara berlangsung. Sedang Lea -yang merasa dirinya aman menghembuskan nafasnya lega- , tidak ditariknya. Aku merasa ini tidak adil, jelas-jelas aku tidak mungkin ngobrol sendirian. Memangnya aku gila.
Dasar, kakak kelas gila! 'Makiku dalam hati'
Kamu melepas cengkramanmu, kembali mengikuti upacara, tepat disamping sebelah kiriku. Aku tak mengenalnya. Tebakanku dia sedang bertugas mengamankan jalannya upacara pagi ini. Mungkin dia OSIS, mungkin. Aku membaca nametagnya. 'Rendra G' kutebak nama lengkapnya. Rendra Gila.
'Berhenti, melihatku seperti itu. Ikuti upacara dengan baik. (Jawabmu tanpa mengarahkan pandangan pada lawan bicaranya, tidak sopan, tidak punya etika)
Aku hanya mengangguk malas.
Upacarapun selesai. Aku melangkahkan kaki menuju kelasku.
Baru dua langkah, lenganku kembali ditahan si Kak G itu.'Mau kemana?' dia seperti melarangku untuk pergi dari lapangan, aku menunjuk kelas dengan dagu, dia sendiri yang memulai tidak menggunakan etika yang benar. Saya sebagai anak baru hanya mengikuti apa yang dicontohkan.
'Kamu dihukum' kata Rendra seenak jidatnya dengan tanpa mengurangi ketegasannya. Tapi aku sama sekali tidak takut.
'Salahku apa?' tanyaku malas
'Karna kamu mengobrol saat upacara berlangsung' sudah bisa kutebak, bukankah itu kesalahan kecil? Ini tidak perlu diperpanjang.
"Apa itu ada didalam aturan?" Bukan, bukan. Bukan aku yang menjawab.
'Lo siapa?' kata Rendra
'Ngga penting siapa gue' -pemuda ini berhasil mengalihkan perhatian Rendra pada pemuda disebelah kanannya.
Sejurus kemudian, aku segera mengambil seribu langkah untuk kabur, sementara Dayat -yah, dia yang membelaku- dan Rendra masih tetap membicarakan hal yang tak berfaedah menurutku.
---(Ah, Dayat kamu selalu menjadi pahlawan kesiangan. 'Gumamku sampai dikelas dengan nafas yang tersengal-sengal')
---
'Dia, tetap harus dihukum'
-Telunjuknya mengarahkan pada posisi dimana aku berdiri, detik berikutnya dia kaget karena mangsanya hilang entah kemana.Dayat hanya tersenyum sekilas, kemudian pergi menuju kelasnya.
'Ah siaaal!' Rendra berkacak pinggang
---
Hahahaha, aku tidak bisa berhenti tertawa melihat Kak Rend dengan muka kesalnya, juga melihat Dayat yang dengan santainya meninggalkan dirinya.'Yaaak! Aduh! Sakit!..
To be Continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Y O U ?
قصص عامةSampai kapan kamu berhenti mengabaikan semua peluh, pengorbanan, rindu yang sengaja kau kesampingkan. Kamu hanya perlu belajar memahami tentang sesuatu yang jelas tidak ingin kau tahu lebih jauh. Cukup, jangan membuatku jengah dengan kalimatmu yang...