prologue, satu

11.1K 922 434
                                    

Nabila

           
Munich sedang diguyur hujan rintik-rintik sudah hampir seharian penuh. Dari pagi buta sampai sore ini. Dari susah membuka mata, sampai kantuk kembali melanda.

Terimakasih ya cuaca, berkat kamu ini, bahagianya seorang Nabila Milena jadi terganggu.

Well, the very first thing I hate about living in Europe; cuacanya yang sangatlah labil. Kadang bisa lembab, bisa panas, bisa dingin, bisa berangin, atau out of the blue, hujan. And all of these are pretty unpredictable. Sighs.

But then again, life must go on. Aku nggak boleh merasa diuntungkan oleh cuaca yang seperti ini dengan menghabiskan banyak waktu di wohnung–apartment, bersantai-santai, nggak produktif, dan seharian penuh committing to be a full time dugong? Begitu istilah yang biasanya si Bagas pakai untuk orang-orang yang malas bergerak. Dan aku nggak mau jadi salah satu dari kawanan dugong itu.

Dan karenanya, disinilah aku sekarang. Terlepas dari cuaca dan kondisi tubuhku yang sangatlah rentan terhadap dingin, aku tetap berdiri tegak, mondar-mandir kekanan dan kekiri tanpa henti, mengedarkan pandangan ke sekeliling Flughafen Munchen–yang konon katanya menjadi bandara tersibuk kedua  di Jerman setelah Frankfurt Airport, untuk mencari sosok yang sudah aku tunggu kedatangannya sejak dua minggu yang lalu.

"Nabila!" Suara Adit tiba-tiba muncul tapi aku belum berhasil menemukan sosoknya. "Aku disini!" Teriaknya lagi. Aku berbalik dan akhirnya, Aditku pulang. Dia ada disana dengan lengan terbuka lebar, menunggu untuk disambut the bear hug yang selalu jadi favoritnya.

"Liebe!" Sahutku sambil berjalan cepat kearahnya dan memeluk dia erat. Dia ini sudah hilang selama dua minggu penuh. Walaupun masih berhubungan baik lewat pesan singkat atau telfon, kalau belum bertemu orangnya langsung namanya bukan melepas rindu. Tapi menahan rindu.

"Kangen?" Dia bertanya dengan polosnya. Aku tahu dia cuma pura-pura polos.

"Nggak tahu, kangen nggak kira-kira, Dit?"

"Kangen sih diliat dari girangnya kamu sekarang ini."

"Kamu nggak kangen aku balik?"

"Di Italy banyak cewek kali, sist."

Dipikir Aditya sudah nggak tengil lagi? Wrong. Dia masih. Sampai sekarang. Dan sekalinya kumat, bisa bikin langsung mempertanyakan; Serius? Dia ini yang dapat beasiswa full di Eropa?

"Oke..." Jawabku sambil melepas pelukan, lalu berkacak pinggang. "Kamu pulang sendiri ya. Aku mau langsung ke perpustakaan."

Dia tergelak. "Hari minggu perpustakaan cuma buka sampai jam satu. Dan ini udah jam empat sore. Bisa ngambek lebih lucu lagi, Nabila?"

"Aku mau pulang kalo gitu."

"Wah! Kebetulan aku juga mau pulang. Boleh pulang bareng?"

Aku memutar bola mata, lalu berbalik badan dan tersenyum sedikit tanpa sepengetahuan Adit. Dia ini memang selalu bisa menggagalkan aksi demoku.

"Boleh, tapi nggak boleh cerita kalau di Italy banyak cewek."

"Ya di Italy emang banyak cewek kali, sayang. Nggak mungkin isinya cowok semua."

"Yes, but that's so unimportant for me to know."

"That is."

"Mind to explain why, cara mia?" Aku membalas dengan sedikit bahasa Itali yang berarti, my dear? Hasil baca buku memang nggak ada yang nggak berguna ya.

Adit tergelak lagi untuk kedua kalinya. Dia menertawakan aksen bicaraku lagi pasti. Sudah biasa. Sejak tinggal di Munich dan lancar berbahasa jerman sudah hampir lima tahun lamanya, aksen bahasa inggrisku sedikit berubah. Dan Adit sangat suka menertawakan itu.

Yeah, shout out to the one who got the sexiest british accent for the rest of his life.

"Nabila, liat Adit." Aku menuruti kemauannya. Dan aku yakin, kalau dilihat dari jauh, aku dan Adit ini seperti sedang syuting film yang latar tempatnya bandara.

"Nabila udah liat Adit."

"Adit ganteng nggak?"

Lagi-lagi, dia merusak suasana.

"Nggak, bukan itu maksud Adit. Please, liat Adit lagi."

Aku mengikuti apa yang dia mau lagi. Kali ini lebih serius.

"Di Italy emang banyak cewek, bi. Tapi sayangnya mereka bukan kamu. Jadi Adit nggak perlu yang banyak-banyak karena maunya ya tetep yang satu ini. Nabila Milena, ma Cherie."

"Ma Cherie is French."

"Tell me Italian endearments then?"

"Cara mia?" –my dear?

"Si, amore?" –yes, love? Jawabnya.

Giliran aku yang tergelak. I should have known he's doing that on purpose. Aditya nggak pernah berubah dari dulu. Dia masih Adit yang iseng dan aku masih Nabila yang jatuh cinta sama keisengannya itu.

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang