Sebuah Luka

86 16 0
                                    

Sebelumnya, gue minta maaf karena gak jemput lo di bandara waktu itu, jangan salahin temen gue karena memang ini rencana gue sendiri. Tenang aja, gue gak bakalan ceroboh lagi buat jatuhin kue elo, jatuh karena tali sepatu gue sendiri. Hehehe

Entah kenapa gue mau nulis ginian, padahal kita kan mau ketemu hari ini, dihari special seperti sekarang gue mau berubah untuk lo. Buat lo merasa bangga jadi milik gue,dan gue nulis ini semua buat lo baca kalau gue udah balik karena kalau lo baca depan gue kan gue malu.

Ohiya, selamat ulang tahun yah❤
Wish you all the best & God bless you.

-Princessnya Zidan

Air matanya jatuh membasahi tulisan yang indah di atas kertas putih, suara isakan tangis terdengar dari dalam kamar Zidan membuat yang lainnya semakin larut dalam kesedihan. Kesedihan yang Aurin tinggalkan begitu saja, tanpa memberikan kata perpisahan sebelum pergi dengan tenang.

Fatyah, bahkan menyayangi adiknya melebihi apapun saat itu menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ibunya. Ia tidak bisa menyalahkan siapa pun, karena ia sadar bahwa Tuhan lebih menyayangi Aurin di bandingkan dia menyayangi adiknya, tidak ada lagi yang berdebat dengannya setiap pagi, tidak ada lagi sumber keributan di rumahnya, tidak ada lagi yang membuatnya berjalan membeli ice cream di tengah malam, ia ingin marah, namun ia tahu bahwa Aurin tidak suka sifatnya yang satu itu.

Lauren dan Lena saling menenangkan diri karena mereka tahu, bahwa Aurin tidaklah suka keadaan seperti ini, namun terkadang isakannya semakin menjadi dikala ingatan mereka kembali pada awal mereka bertemu serta kenangan yang mereka jalani bersama.

Khaesa dan Adam pun sama seperti mereka, meskipun tidak sedekat permen karet, namun sikap Aurin membuat mereka sulit melepaskan dirinya. Khaesa yang selalu di nasehati olehnya dan Adam yang menjadi partner vokalnya juga sangat terluka.

Zidan yang masih berada di dalam kamarnya enggan melangkahkan kakinya untuk keluar kamar, baginya ini semua terlalu cepat. Ia menahan rindunya setengah mati dan menunggu hari ini di mana dia akan bertemu dengan Aurin, namun Tuhan berkehendak lain, ia mengambil orang yang ia sayangi dan yang ia nantikan membuat semua rindu hancur menjadi kepingan air mata.

Ayahnya Zidan pun ikut menenangkan sahabatnya, Fajar yang pastinya paling terluka kehilangan putri kesayangannya, putri yang selalu menemaninya kemanapun, meski ia selalu sibuk namun gadis itu tetap menemani ayahnya. Ia juga merasa bersalah karena kesibukannya, ia menyuruh putrinya mengendarai mobil meskipun belum mahir, harusnya ia menjadi ayah yang baik mengantar dan menjemput anaknya seperti layaknya ayah biasa.

Siang itu, tidak seorang pun lagi terdengar suaranya. Hanya suara isakan dan tangisan kecil yang terdengar pada siang yang mendung itu.

...

Zidan berdiri di hadapan makam seorang Aurin pada pagi hari di bawah payung hitamnya, mata sayunya menatap nanar tulisan di hadapannya itu.

Aurina salzabila
Bandung, 24 November 1999
Wafat, 4 Desember 2019.

Air matanya terus mengalir, tangannya yang memegang bunga kesukaan gadis itu seketika gemetar.

Ia masih tidak percaya bahwa gadis itu pergi meninggalkannya, dengan rindu yang belum terselesaikan. Namun, setidaknya ia sempat membahagiakan gadis itu meski tak sebanding dengan perjuangannya.

"Lo tenang banget,ninggalin gue gini."

"Lo masih punya banyak tugas, lo bahkan belum bertatap muka sama gue."

"Lo bilang di surat yang lo tulis sendiri, lo gak bakalan ceroboh, lo bakalan berubah buat gue. Terus mana bukti dari semua itu? "

"Lo yang berjuang buat gue tapi kenapa lo juga yang ninggalin gue?"


Zidan berjongkok di hadapan makam gadis itu, ia meletakkan seikat bunga yang melintaskan kembali ingatannya saat bersama Aurin di Austria.

"Nih, buat lo." kata Zidan.

Jika ada orang yang melihatnya saat itu, mereka pasti akan mengira bahwa Zidan sudah terlihat seperti orang tidak waras.

Baru saja ia ingin meninggalkan makam Aurin, namun langkahnya terhenti saat ia melihat Bianca dan Angel yang membawa seikat mawar putih.

"Ngapain lo bawa mawar putih? Dia gak suka itu, mending lo bawain dia Anggrek." kata Zidan lalu melangkah melewati mereka berdua.

Angel duduk di samping makam baru itu, merasa dirinya sangat rendah karena telah lama mendiamkan temannya. Bianca yang selama ini selalu mengusik Aurin pun merasa bersalah, juga sangat merasa kehilangan musuh yang tetap sabar meski dirinya sudah diluar batas.

"Gue belum minta maaf sama lo Rin, gue minta maaf karena terlambat buat ngucapin itu. Gue harap lo tenang di sana, gue bakalan jaga Zidan dari Bianca lagi." ujar Angel membuat Bianca mengangguk.

"Iya Rin, gue juga minta maaf selalu jahat sama lo. Sekarang gue gak bakalan deketin Zidan lagi kalau itu bisa buat lo bangga punya musuh seperti gue." jelas Bianca .

...

Buat bintang yang jauh di sana, kutitipkan semua rindu yang belum tuntas pada surat ini. Seperti yang ia lakukan tepat di hari itu, ia menuliskan semua kegembiraannya di saat ia ingin meninggalkan ku.

Apa kabarmu di sana? Apakah kau tidak nyaman denganku sampai tega kau meninggalkan ku. Ingatlah bahwa aku tetaplah seseorang yang mencintaimu dan jangan lupa bahwa aku ini tipe pencemburu, maka jaga hatimu untukku sampai tuhan mempertemukan kita lagi

-Orang yang sangat merindukanmu

Ia meletakkan pulpennya di atas surat yang baru saja ia tulis, menatap bintang yang sangat terang malam itu.

Alam semesta sangat tenang membawa kepergian pacarnya itu, apakah ia masih saja seseorang yang periang di atas sana? Kalau begitu para malaikat pun akan tersenyum melihat betapa periangnya gadis itu.

Zidan mengambil ponsel yang hampir hancur itu, namun hebatnya ponsel itu masih menyala dan menampilkan fotonya bersama Aurin saat berada di kantin. Senyuman itu sangat sejuk, tidak seperti senyuman yang ia berikan saat di bandara, senyum yang mengantarkan ketenanganya pergi. Baru saja ia ingin membuka kunci ponsel itu, namun terhenti ketika retakan layarnya itu mengiris telunjuknya hingga mengeluarkan darah, bahkan ponsel pemiliknya pun masih membuatnya terluka sebelum luka yang baru itu sembuh.

"Aurin.. " satu kata yang keluar dari mulutnya begitu saja membuat air matanya kembali mengalir dengan derasnya, namun dengan sigap ia menghapus air matanya dan tersenyum menatap bintang di luar jendela kamarnya.

Ia menjatuhkan dirinya tepat di atas kasur dan memejamkan perlahan matanya yang sembab, membiarkan rindu itu lepas secara perlahan bersama kepergian Aurin. Ia belajar tenang agar gadis itu merasa bangga akan sikap dewasanya menghadapi cobaan ini

AURINA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang