Pergi Sebentar Saja

161 26 62
                                    

Yuda menengok ke belakang begitu telinganya mendengar derap kaki yang semakin lama mendekat ke arahnya. "Kalena?"

Perempuan yang tadi mengejar Yuda kini menjulurkan tangannya. "Untukmu. Harus dipakai tiap malam."

Yuda membalikkan tubuhnya dengan sempurna menghadap Kalena. Matanya mengamati benda berwarna merah yang menjulur dihadapannya. "Syal?" Tangannya mengambil syal merah itu dan berniat memakainya langsung. "Terimakasih," ucapnya.

"Jangan." Tangan halus Kalena mengambil syal itu dengan tangan menahan gemetar. "Biar aku yang pakaikan," cegahnya.

Yuda mengangguk. Membiarkan Kalena berjinjit untuk melingkari syal merah ke lehernya. Membiarkan dirinya dalam sesaat terbius oleh wangi tubuh perempuan dihadapannya.

Kalena menatap lurus syal yang terbelit asal-asalan pada leher Yuda. "Aku tidak bisa mengikat syal dengan baik," akunya. "Tapi nanti.. kamu harus memakainya dengan benar disana."

Yuda tersenyum. "Gak apa. Begini saja sudah hangat." Jeda sebentar, lalu lanjutnya, "Aku juga tidak terlalu suka yang terlalu mengikat. Membuat sesak."

"Hm," sahut Kalena bingung menjawab apalagi. Tidak seharusnya disaat seperti ini Kalena dipaksa mengerti maksud tersirat Yuda, kan?

"Kalena." Yuda meraih kedua tangan Kalena dan menggenggamnya. "Tanganmu kenapa gemetaran?" tanyanya.

"Tidak tahu," jawab Kalena berbohong. Karena sungguhnya ia sedang menahan tangis. Susah payah ia tahan agar perasaan sedih tidak membuat dadanya lebih sesak lagi.

Hening memehuni mereka berdua. Yuda semakin mengeratkan geganggamannya. Memaksa tangan Kalena agar berhenti gemetar.

"Sebelum aku benar-benar beranjak dari sini, bisakah kamu memberiku hadiah yang lain?" pinta Yuda tiba-tiba.

Kalena yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya terkejut mendengar suara Yuda. "Eh? Tapi aku hanya punya syal itu untukmu," jawab Kalena.

Yuda menggeleng samar. "Aku mau sesuatu yang lebih berharga dari barang apapun."

"Kamu mau apa?"

"I want ... " Yuda menggantung ucapannya sambil kedua tangannya memegang wajah Kalena. "to taste your lips," bisiknya tepat di telinga perempuan itu.

Kalena tersentak sebentar. Kemudian keduanya saling menutup mata, menunggu apa yang seharusnya terjadi.

Hangat yang tadi hanya sampai di telapak tangan Kalena, kini menjalar dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Entah setelah berapa lama, Yuda membuka kelopak matanya dan mulai melepas pelukannya.

Kalena menahan napas, bergeming.

Ia telah merasakan kehangatan itu. Sejenis kehangatan yang mampu mencairkan butiran kristal yang selama ini ia simpan di pelupuk mata.

"Berhenti, dan jangan menangis lagi selama aku pergi." Yuda menghapus air mata di pipi Kalena sehalus mungkin dengan jemarinya.

"Mana bisa aku tidak menangis?" bantah Kalena.

"Bisa."

"Tidak."

"Kamu bisa, Kalena."

"Kamu yang tidak mengerti, Yud. Tiap hari aku pasti akan merindukanmu."

"Kalau begitu, pikirkan aku saja. Ingat kembali kenangan-kenangan indah kita. Tak perlu sambil menangis."

"Air mata itu kan tidak bisa dikontrol!" sergah Kalena, setengah membentak.

Dengan tenang Yuda menjawab, "Bisa. Buktinya sejak tadi kamu sudah melakukannya. Dan berhasil, kan?"

Yuda tahu itu. Apa peyebab tangan Kalena bergetar dan penyebab mengapa Kalena tidak banyak bicara. Yuda tahu Kalena sedang menahan air matanya supaya tidak jatuh.

Kalena terlihat ingin membantah lagi, namun lebih dulu disela Yuda. "Sudah. Yang perlu kamu tahu hanya, ketika kamu rindu, disana aku jauh lebih rindu padamu." Yuda menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Dan kapanpun kamu memikirkan aku, aku juga pasti sedang tersiksa karena tidak mampu ada disisimu."

Perempuan di hadapannya masih terlihat ragu dengan apa yang barusan ia ucap. Seketika tatapan Yuda berubah. Kali ini ia serius. "Kalena, cinta sudah cukup sempurna hanya jika kita bisa saling memikirkan satu sama lain. Percaya itu saja," ujarnya yakin.

Tatapannya berhasil menghipnotis Kalena. Perempuan itu mengangguk pelan dengan mata bulat yang berkaca-kaca.

"Jangan bosan menungguku, ya," ucap Yuda sembari tangannya mengacak halus rambut Kalena.

"Aku akan pulang secepat yang kubisa." Begitu janji Yuda. Sehabis itu Yuda meninggalkan Kalena dengan setumpuk harap. Meninggalkan Kalena yang air matanya masih terus mengalir meski punggung kekasihnya sudah tak terlihat lagi di persimpangan jalan.
.
.
.
.
.
Kakimu terus bergerak, Yuda. Meski kau tahu hatimu telah tertinggal jauh, di tempat tadi ciuman manis telah kauberi untuk Kalena. Kau terus melangkah. Tapi nanti kau akan kembali setelah semua urusanmu selesai. Kau hanya pergi sebentar saja. Itu janjimu. Hanya sebentar saja, jadi tahanlah air matamu.

Pergi Sebentar Saja [1/1 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang