Part 14

3.7K 199 16
                                    

Misi ketiga : Memancing perhatian doi.

Jo menjalankan motornya sekencang yang ia bisa. Ia harus segera sampai ke rumah Hellen lantaran gadis itu mengeluh demam tinggi. Sekasar apa pun ia pada Hellen, selalu ada rasa penasaran yang hinggap di kepalanya. Sesingkat apa pun perkataannya, tidak menyurutkan kekhawatirannya. Iya, seorang Jonathan telah mengkhawatirkan Hellen sejak kejadian di depan diskotik.

Motornya memasuki halaman rumah Hellen setelah seorang satpam membukakan gerbang untuknya. Jo tersenyum tipis kepada para asisten rumah tangga di perjalanan menuju kamar Hellen.

"Mas Jo mau minum apa?" tawar seorang pelayan. Jo menggelengkan kepalanya, tidak perlu. "Makasih."

Jo mengetuk pintu kamar sebanyak tiga kali. Tidak ada jawaban. Maka ia memutuskan untuk langsung masuk ke kamar berukuran 6x5 yang penuh foto itu.

Jo menemukan Hellen terbaring di balik selimutnya. Mengecek suhu tubuh Hellen dengan menempelkan punggung tangannya ke kening.

"Gak panas."

Tubuh Hellen bergerak. "Emang enggak!" Hellen menjulurkan lidahnya.

Jo menjauhkan dirinya. "Gue pulang."

"Jangan!" Hellen menarik tangan Jo, tapi lelaki itu menepisnya.

"Lo gak sakit."

Hellen berdecak. "Kalo gue bilang kangen, apa lo mau dateng?"

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Misi keempat : Berbagi cerita.

Di dunia ini, tidak pernah ada yang mau mengangkat beban paling berat. Tidak pernah ada yang mau menanggung masalah melebihi kuota pikirannya. Tapi, semua harus sadar, Tuhan tidak pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya.

Hellen menyandarkan kepalanya di bahu Jo. Menggenggam erat tangannya sambil terus menonton acara televisi kesukaan Jo, national geographic.

"Kenapa lo suka nonton ginian? Padahal, gak ada gunanya sama sekali buat remaja kayak kita."

Jo melirik sebentar. "Tapi berguna buat masa depan."

"Kenapa? Kenapa lo ngelakuin semua ini? Apa lo gak capek terus-terusan belajar? Bahkan nonton pun, gak bikin kepala lo istirahat."

Jo tertegun dengan pertanyaan Hellen. Sesering itu kah Hellen memerhatikannya? Atau justru, memang ia tampak selalu belajar di mana pun ia berada?

Jo mematikan siaran. Memilih membaringkan tubuhnya di kasur, kepalanya pegal terus bersadar pada kepala tempat tidur. Hellen mengikuti gerakannya.

"Karna itu kewajiban gue."

"Maksudnya? Bukannya lo udah rangking satu? Untuk apa mati-matian belajar? Toh, masih kelas 11."

Jo menghela napas kasar. Haruskah ia menceritakannya pada Hellen?

"Gue pendengar yang baik. Lo bisa ceritain semuanya. Keluarin semua beban di hati dan pikiran lo." Hellen mengusap bahu Jo. Menikmati hembusan napas Jo dalam jarak dekat. Tersenyum tulus untuk pertama kali---selain kepada Chelsea dan para pengasuhnya.

"Lo duluan."

"Kenapa?"

"Gue tau, Len. Lo nanggung beban lebih berat. Lo ngalihin masalah lo dengan semua masalah baru yang lo nikmati. Jadi, lo bisa ceritain semua ke gue."

Mata Hellen berkaca-kaca mendengarnya. Baru kali ini, ia menemukan seseorang yang mau ia bagi dengan masa sulitnya dengan nada setulus itu, selain Chelsea tentunya.

Hellen mengangguk. "Gue anak yang menyedihkan. Bokap gue sibuk kerja. Nyokap sibuk foya-foya. Tiap tau nyokap hamburin duit, pasti gue yang jadi korban bokap. Semua dimulai sejak sepuluh tahun lalu, waktu bokap mulai berjaya. Untungnya, ada Chelsea yang mau temenan sama gue.

"Dan sekarang... ada lo... yang selalu lindungi gue."

Hellen tau, cara bicaranya terlalu melankolis. Air matanya sudah menggenang. Ia benci menangis. Tapi biarlah, kelemahan ini ia tunjukkan, hanya kepada Jo.

Jo menarik Hellen ke pelukannya. Mengusap lembut punggung Hellen. Hanya kaos tipis yang menjadi pemisah mereka sekarang. Benar-benar rapat, tidak berjarak.

"Lo gak akan kesepian lagi. Karna gue, akan selalu ada buat lo."

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Cinta memiliki racun, kadang juga mengandung candu. Membuat kita terus-menerus memikirkannya. Cinta juga membuat kita berubah. Berubah, menjadi pribadi yang berbeda.

Orang-orang membulatkan matanya ketika berpapasan dengan Hellen di pagi hari. Berbisik-bisik kepada teman-temannya.

"Hellen! Lo ke mana aja dicariin? Eh tunggu... lo kok?"

Misi kelima : Mengubah penampilan.

Chelsea memerhatikan setiap senti penampilan Hellen. Berbeda 180° dari biasanya. Baju dimasukkan ke dalam, tali pinggang dan dasi terpajang rapi, sepatu berwarna hitam mengilat, ada apa dengan Hellen?

Kepala Chelsea mulai beranggapan yang tidak-tidak. Ia mengira, arwah seorang perempuan culun merasuki tubuh Hellen. Membuat otak Hellen menjadi normal, serta mengubah pola pikir Hellen.

Pasti ada yang tidak beres.

Hellen tergelak melihat reaksi Chelsea. Terlihat seperti seorang anak yang telah terpisah dengan ibunya setelah sekian tahun lamanya. Berbeda.

"Lo kemasukan? Hantunya cowo apa cewe?"

Benar saja, kepala Chelsea sedang tidak berfungsi dengan baik. Hellen menjitak keningnya pelan.

"Sembarangan lo kalo ngomong!"

"Terus apa dong?"

Kemudian, Hellen kembali bercerita mengenai Jo. Kedatangan Jo yang terburu-buru karena kekhawatirannya. Bagaimana Jo meyakinkan akan selalu bersamanya. Serta cara Jo memperlakukannya, Hellen menyukainya.

Hellen juga mengejek dirinya sendiri di dalam hati. Selalu merasa paling terpuruk, buat apa! Menyadari Jo memiliki beban lebih berat, membuat Hellen lebih mengerti arti bersyukur. Maka dari itu, Hellen mengubah penampilannya hari ini. Untuk membuktikan, bahwa ia bisa seperti Jo.

"Lo udah keracunan cinta deh kayaknya," tanggap Chelsea.

Hellen mengangkat bahu. "Gue rasa, selama itu baik, kenapa enggak?"

"Tapi, ketika lo udah terlalu cinta sama seseorang, lo akan ngorbanin dua hal. Hati, dan masa depan lo. Lo bisa kehilangan keduanya."

Hellen tertawa. "Apaan sih, masih pagi udah galau. Eh ada Jo tuh, gue ke sana ya! Bye!"

Chelsea menggelengkan kepalanya. "Sejak kapan lo gak butuh gue? Lo berubah, Hell."

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang