🐚 5. Mari Ikut Aku

526 121 104
                                    

________________________
"Jika aku adalah bagian dari masa depanmu, kenapa aku harus menolak? Aku akan menolak, jika aku hanyalah seorang tokoh pelengkap yang akan membantu si pemeran utama."
_________________

🐚

Seorang wanita duduk di kursi kerja dengan kaki menyilang. Dia terfokus dengan gadis yang juga duduk di hadapannya. Terlihat jelas tatapan tidak suka dari wanita itu. "Jia, kamu mau protes apa lagi?"

Ya, gadis itu adalah Jia. Gadis yang sedang meratapi kertas nilainya.

"Bu, kenapa nilai praktik saya paling rendah di kelas? Padahal saya yakin, kalau hasil kerja saya tidak begitu buruk. Bahkan teman-teman yakin kalau saya akan menempatkan nilai tertinggi."

Wanita itu menarik napas panjang. Telinganya seakan sudah bosan dengan aksi protes yang perempuan itu berikan. "Jia, sudah berapa kali ibu bilang ke kamu, yang memberi nilai itu ibu, bukan mereka."

"Kamu mau tahu kenapa nilai kamu bisa rendah?"

Jia mengangguk dengan pelan.

"Kamu bisa berkaca dan melihat penampilan kamu saat praktik minggu lalu. Kamu tahu, 'kan, kalau kalian praktik menjadi seorang presenter? Di saat teman-temanmu sibuk mempersiapkan pakaian yang rapi, ibu melihat hanya kamu saja yang tidak peduli dengan penampilan pakaian kamu. Dan itu ibu anggap sebagai nilai minus."

"Bu, bukan saya tidak peduli dengan penampilan saya, tetapi karena saya merasa penampilan saya memang sudah rapi."

Wanita itu menaikkan salah satu sudut bibir. "Kata siapa? Kamu jangan terlalu yakin perihal itu. Ingat bahwa orang lain yang menilai penampilan kamu."

Wanita yang disapa sebagai guru itu pun kembali duduk menghadap komputernya. "Sudahlah, kamu terima saja nilai itu. Lebih baik kamu intropeksi diri."

Lagi-lagi Jia hanya bisa menjadi pihak yang mengalah. Dia melakukan semua ini bukan karena sebuah obsesi, tetapi karena rasa takut. Selama ini, ia bersekolah mengandalkan beasiswa. Oleh sebab itu, jika ia mendapatkan nilai yang rendah, maka beasiswa itu akan langsung dicabut begitu saja. Dia tidak mau hal itu terjadi.

Setelah cukup lama bergumul, ia pun memutuskan untuk pamit dan keluar dari ruangan tersebut.

Dari luar ruangan, menampakkan Irene sedang menunggu. "Bagaimana?" ujar Iren yang langsung menghampirinya.

Dengan muka lesu, dia menarik napas panjang. "Tetap sama."

Ekspresi Jia berhasil menular ke Irene, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Irene langsung membuka bungkusan permen yang sudah ia siapkan, dan memasukkannya ke dalam mulut perempuan itu.

"Jangan murung seperti itu. Kau jadi terlihat jelek."

Bukannya tersenyum, gadis itu malah bertambah murung. "Aku memang jelek."

"Dan aku memang cantik," gurau Irene sembari memperlihatkan aegyo-nya. Jujur, dia tidak terbiasa bersikap seperti itu, tetapi ini demi menghibur sang sahabat.

Dan benar saja, sebuah senyuman berhasil terbit di wajah gadis itu.

"Bagaimana kalau sekarang kita ke balkon? Waktu istirahat kita sebentar lagi selesai. Kau tidak mau melewatkannya begitu saja, 'kan?" Irene yakin kalau Jia tidak mungkin menolak tawaran tersebut.

"Ayo ... tapi, Irene ...," dia sengaja menjeda kalimatnya, "kalau uangku sudah terkumpul, aku akan langsung mengganti bajumu." Jia masih merasa bersalah dengan kecerobohannya minggu lalu. Percayalah di saat ujian praktik kemarin, Irene sangat peduli dengan penampilan gadis itu. Bahkan ia sampai meminjamkan baju untuknya. Namun, lagi-lagi akibat kecerobohan, baju itu berhasil ia hilangkan entah ke mana.

LULLABY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang