ENIGMA

41 2 2
                                    

Hari ini Josse bangun dengan perasaan janggal, seakan baru kembali dari perjalanan yang panjang dan ketika dia melihat dirinya sendiri di cermin, dia merasakan perasaan rindu yang kuat.

‘Apa ini?’─batinnya.

Suara ketukan di pintu depan membuatnya segera melupakan pertanyaan itu. Seorang petugas pos berdiri di halaman, memegang sepucuk surat bercap resmi.

“Nona Jossephine?”

“Ya, itu aku.”

“Selamat pagi, saya mengantarkan surat permintaan dari pengadilan. Tolong tanda tangani tanda terimanya.”
Josse menggoreskan pena dengan lesu, lalu berterima kasih dan hendak masuk ke rumah, sebelum petugas itu menghentikannya.

“Ah, apa Anda baru pindah, Nona? Saya baru melihat Anda.”

Pertanyaan itu aneh sekali, karena Josse sudah tinggal di situ sejak lama. “Tidak juga. Mungkin kita saja yang tidak pernah bertemu.” Dengan senyum seadanya Josse meninggalkan petugas itu.

Itu adalah surat permintaan untuk menjadi psikolog pribadi seorang tahanan hukuman mati. Sebuah pekerjaan terhormat yang agak menyeramkan dan mau tak mau Josse harus menerimanya. Tapi anehnya, tidak ada penjelasan tentang siapa tahanan itu dan apa kesalahan yang diperbuatnya. Hanya sebuah surat permintaan dan selesai.

“Kenapa hari ini semua terasa aneh?” Gumamnya.

Siang harinya Josse pergi ke penjara yang dimaksud untuk melakukan perkenalan dengan kliennya atau bila memungkinkan melakukan sesi konsultasi sekaligus. Penjara itu sangat terpencil, suram, gelap, sepi, dan mengerikan. Hanya ada sebaris penjaga di pintu depan, sisanya kosong. Bahkan sel-selnya pun tidak berpenghuni. Josse diarahkan untuk melewati sebuah lorong panjang yang berujung pada sel temaram. Tiap gema langkahnya membuat suasana semakin mencekam. Kesalahan sebesar apa yang dilakukan kliennya sampai harus diasingkan sedemikian rupa? Ketika jaraknya hanya tinggal beberapa langkah dari tujuan, dia melihat sepasang mata tajam menatapnya dari balik bayang-bayang penjara, lalu sebuah senandung terdengar.

“Kerang itu berlari
Srek srek srek, jejaknya di pasir
Harapannya bertemu idaman, tapi sayang ombak mengadang
Sang kupu-kupu terbang, meninggalkan si kerang tenggelam...”

Seketika sebuah bayangan muncul dalam penglihatan Josse. Seseorang berdiri di depannya dan senandung itu juga terdengar. Tapi dalam versi itu, Josse lah yang bersenandung. Lalu tanpa sadar mulutnya berucap, “Hallo, Tuan Tentara...”

Keterkejutan terdengar jelas dalam nada bicara tahanan itu, “Siapa? Faya?”

Ketika tersadar kembali, Josse buru-buru menjawab sembari berjalan lebih dekat. “Ah, bukan. Maaf, saya Jossephine, psikolog yang ditugaskan untuk membantu mu...” belum selesai, kata-katanya sudah dipotong dengan bentakan keras.

“BERHENTI DI SITU!” Keadaan hening sejenak, sementara Josse berdiri menggigil. “Jangan mendekat lagi.”

“Ma...maaf.”

“Bicara dari jarak ini saja.”

“Tapi Tuan, aku bahkan tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas dari sini.”

“Membantuku tidak harus dengan melihat wajahku. Dengarkan saja aku.”

“Ba...baik.” Josse mengalah, dia masih terguncang dengan kejadian tadi dan tidak memiliki keberanian untuk berdebat. Jadi dia duduk senyaman mungkin di lantai lorong yang dingin sambil mengeluarkan beberapa berkas dan buku catatan yang dibawanya.

Sepertinya sudah hampir satu jam penuh ketegangan berlalu. Tapi tidak ada satu pun informasi penting yang berhasil Josse peroleh. Setiap pertanyaannya dijawab dengan lanturan. Orang itu benar-benar gila. Setelah membereskan barang-barangnya, Josse berniat segera pergi dari tempat mengerikan itu. Namun, saat dia hendak pamit, orang itu bertanya padanya.

ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang