6. Osis, Asrama Putra dan Asrama Putri

130 13 0
                                    

Tidak seorangpun mengerti kenapa sekolah mengizinkan Karang memakai seragam dengan bawahan celana panjang. Tidak ada yang tahu alasan Karang berseragam layaknya siswa laki-laki. Tapi tidak ada yang berani menegur Karang terang-terangan di hadapan gadis remaja itu. Semua guru bahkan tidak mempermasalahkannya. Meski Pak Erlangga baru masuk semester dua pun, guru baru itu tidak terlihat heran saat mendapati ada seorang siswi yang menggunakan seragam laki-laki. Semua orang membiarkannya begitu saja. Karang dan seragam sekolahnya. Saat pihak OSIS menegurnya -pertama kali masuk sekolah dan pergantian pengurus OSIS- Karang tidak pernah marah. Dia juga tidak pernah menjelaskan apa-apa. Karang hanya perlu menunjukan surat izin khusus yang dibuat langsung guru Bagian Kesiswaan dan guru BK. Maka setelah menunjukkan surat itu dan meneliti keaslian suratnya, pihak OSIS tidak bisa lagi memprotes Karang. Hanya membiarkannya meski sesekali banyak cibiran diterimanya. Karang tahu hal itu. Jauh sebelum semester dua kelas sepuluh -saat Karang ditunjuk sebagai anggota bagian ketertiban asrama putri- masih banyak yang sering mencibirnya. Memaki perbedaan yang diberikan khusus padanya. Biasanya, jika Sangkala atau Samudra yang mendengar hal itu, mereka akan membungkam mulut-mulut tersebut hingga tidak berkutik lagi. Tapi lain halnya jika Karang sendiri yang memergoki dirinya dicibir. Karang hanya akan berlalu begitu saja. Tidak peduli. Dia sudah kebal dengan hal seperti itu.

Karang sudah terbiasa. Sejak SMP dia sudah biasa seperti itu. Dulu, saat dia kelas 3 SMP dia juga bersekolah di Perguruan Swargaloka. Menjadi murid pindahan dengan penampilan yang berbeda -sejak saat itu Karang sudah memakai seragam seperti siswa laki-laki- menjadikan Karang cukup dilirik siswa lainnya. Tapi dulu tidak ada yang terlalu mempermasalahkannya karena pihak sekolah sudah memberikan pengertian -mungkin- pada para siswa. Hingga hanya beberapa saja yang masih mencibirnya. Masuk SMA, Karang kembali memutuskan bersekolah di Perguruan Swargaloka. Dan tanpa perlu menjelaskan apa pun -karena pihak sekolah sudah tahu penyebab seragam sekolahnya- Karang segera mendapat surat izin khusus. Di SMA banyak sekali yang mencibirnya. Terlebih sejak Karang membanting seorang maling yang menyelinap masuk saat ia kelas sepuluh yang pada akhirnya saat di semester dua kelas sepuluh, Karang tanpa ragu dijadikan Bagian Ketertiban Asrama. Sejak menjadi bagian ketertiban paling junior, banyak yang membenci Karang karena sepak terjang gadis remaja itu. Karang tidak pilih-pilih saat melakukan 'pengeksekusian' di asrama putri. Karang juga tidak segan saat menyeret salah satu senior kelas dua belas yang tanpa sengaja ia pergoki menyelinap keluar asrama saat jam malam. Dan sejak saat itulah selain cibiran, Karang menjadi sosok yang sudah di blacklist oleh hampir semua siswi asrama putri.

"Jadi kamu mengajukan Rapat Pengurus Siswa Swargaloka, Rang?" Bumi yang pertama kali bicara. Karang bahkan belum mengatakan apa yang akan dibicarakannya malam ini hingga meminta mereka mengadakan rapat dadakan, tapi Bumi sudah mengetahui maksud dari pembicaraannya. Karang kadang tidak mengerti dari mana Bumi selalu bisa mendapatkan informasi-informasi penting tentang sekolah dan terlebih siswa siswi pelanggar aturan? Bumi itu seperti informan yang teramat dapat dipercaya keabsahannya.

"Hm. Dan aku minta maaf, Put, Tri. Aku tidak meminta persetujuan kalian terlebih dulu." Karang menatap Putih dan Aksatriya dengan tatapan menyesal. Dia sudah melangkahi Ketua Asrama.

Putih mengembuskan napas pelan. Sebuah senyum menenangkan menghiasi wajah manisnya. "Tidak apa-apa. Kamu sudah melakukan hal yang tepat." Katanya tenang.

"Aku justru terkesan kamu tidak langsung menghajar si Ginanjar, sebenarnya." Timpal Aksatriya dengan senyum konyol.

Hujan mengembuskan napas pelan. "Karang tidak seceroboh kamu, Sat." Tukasnya singkat. Datar sekali. Aksatriya mendesah kasar. Membiarkan Hujan seperti biasa. Mengatakan satu hal yang selalu berhasil membuatnya serasa ditusuk.

"Tapi Wisesa keterlaluan sih. Dia padahal sudah tahu ada transaksi rokok di sekolah saat jam pulang tapi tidak juga mengabari asrama putri, padahal asrama putra sudah tahu." Timpal Bumi kesal. Semua mata menoleh padanya. Menatap dengan tatapan menuntut. Meminta gadis remaja itu segera menyelesaikan atau sekedar menjelaskan ucapannya barusan. "Eh, kalian tidak tahu?" Tanyanya, heran. Semua kepala menggeleng kecil kecuali Hujan. Gadis remaja itu tetap diam. Bumi menghela napas pelan. "Kira-kira hari apa ya... beberapa hari lalu, kudengar Badai menghajar siswa yang ketahuan merokok saat pulang sekolah."

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang