8- Dilema vs Teka-Teki

87 26 13
                                    

Amar berjalan bersama Deefnie ke-arah parikiran kampus. Melewati koridor lantai dasar, biasanya jam segini di bangku panjang akan ada Kek-Ompong yang sedang duduk santai, menikmati udara sore yang sejuk.

Dugaan Deefnie benar, hampir saja ia berteriak saat Kek Ompong menatap-nya tiba-tiba. Walaupun sudah menyiapkan mental, tetap saja rasa takut dan kaget itu akan selalu ada. Deefnie menganggukan kepalanya, dan sedikit membungkuk. Meminta izin lewat, Aki Ompong hanya melayangkan tatapan dingin. Untung saja Amar selalu melihat lurus ke-depan, saat sedang berjalan bersama, jadi Deefnie sedikit tenang. Karena kalau Amar melihat kejadian barusan, Deefnie takut Amar akan menganggap-nya aneh, gila, atau tidak normal. Seperti anggapan teman-teman jurusan Deefnie yang sering melihat Deefnie berbicara sendiri di dalam kelas materi.

Sebenarnya Deefnie tidak berbicara sendiri, melainkan dengan hantu Em. Yang terkadang, berinteraksi. Maka dari itu, Deefnie tidak punya teman di kampus. Sebenarnya ada perasaan senang juga, saat Amar mengenalkan Deefnie pada teman-teman-nya. Yang sangat ramah itu. Terlebih mereka juga menyukai hantu, mungkin mereka akan dapat menerima sixth sense yang dimilikinya.

Motor harley besar dengan warna biru tua, terparkir sendirian di-sana. Ya- karena sepertinya mereka pulang ke-sorean. Deefnie melihat jam yang melingkar di-tangannya. Jarum-pendek menunjuk, angka 4 dan jarum panjang berada di pertengahan angka 11 dan 12.
"Duh... udah jam 4 kurang 5" Batin Deefnie. Gadis itu menggit bibir-nya, wajah-nya menampakan ekspresi tidak tenang.

"Deef, maaf gara-gara saya kamu pulang sore"

"Nggak apa-apa kok, ini belum terlalu sore" Deefnie melemparkan pandangan-nya ke-atas, melihat langit yang mulai gelap. Deefnie berharap bang Wira belum pulang.

Amar menghapiri motor harley-nya, kemudian memakai helm, dan memberikan helm satu-nya lagi pada Deefnie. Namun Amar mengambil-nya lagi, mengingat Deefnie kesulitan dengan helm itu sebelum-nya. Amar memakai-kan nya langsung pada Deefnie, gadis itu hanya diam, tidak berkomentar.

Amar segera menaiki motor, kemudian memanas-kan nya sebentar. Sambil menunggu Deefnie duduk di-belakangnya. Amar menarik footstep, sesaat setelah Deefnie menaiki motor. Kemudian memicu motornya dengan kecepatan sedang. Dan, menghentikannya lagi. Amar berbalik, menaruh ransel nya di tengah.

"Kalau merasa canggung pegangan ke saya, pegang aja tas-nya" Ucap Amar. Deefnie hanya mengangguk, menatap datar punggung Amar yang kembali melajukan motornya.

                                           *****
Setengah jam di perjalanan mereka lalui dengan saling diam satu sama lain.

Deefnie membuka helm, sesaat setelah turun dari motor.

"Bisa?" Tanya Amar memecah keheningan.

"Bisa-kok" Deefnie menyerahkan helm berwarna hitam itu pada Amar.

Amar masih setia menunggu gadis itu masuk ke dalam rumah dengan utuh.

"Thanks, buat semuanya" Ucap Deefnie kemudian.

Amar terdiam sesaat, hingga kemudian angkat bicara
"Soal ghost buster, daan kasus itu---"

"Iya- aku serius mau gabung" Seru Deefnie, memotong cepat kalimat Amar yang belum selesai.

"Yaudah, saya pamit ya Salam buat keluarga" Ucap Amar, ia menutup kaca helmnya lalu segera melajukan motor.

"Tumben pamit" Dengus Deefnie, sambil  membuka gerbang.
Ia melangkah dengan hati-hati, untuk meminimalisir suara yang ditimbulkan.
Deefnie menghela napas lega, Saat melihat garasi masih kosong. pertanda Bang Wira belum pulang, Dan Papa juga sepertinya lembur.
Lega rasanya, Deefnie melangkah enteng ke dalam rumah. Sampai ia dikejutkan dengan tarikan keras pada sweeter rajut berwarna shock-pink yang ia kenakan.
"Ehh-kamu---" Pekik Deefnie sambil menatap hantu anak kecil yang kerap datang padanya akhir-akhir ini.

Sixth Sense (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang