Kelas 11-B terlalu ramai setelah jam pelajaran olahraga. Tidak ada satu pun murid yang mengeluarkan buku matematika di atas meja masing-masing. Mereka terlalu sibuk dengan bahan pembicaraan sampai tidak peduli terhadap PR minggu lalu. Ingat soal PR aja nggak.
Bahan pembicaraan mereka kali ini adalah Bae Jinyoung. Dari kabar yang mereka dapat dan tentunya berasal dari sumber terpercaya, lelaki itu akan pindah kelas dari C menjadi B.
Sudah merupakan peraturan sekolah bahwa siapapun murid yang bisa meningkatkan nilainya, maka bisa pindah kelas atau biasa disebut naik tingkat.
"Ini si Jinyoung yang mukanya datar banget apa si Jinyoung anak basket?"
"Bae Jinyoung anak seni, yang sering di ruang lukis."
"Kalau yang anak basket namanya Woo Jinyoung, beda lagi."
"Lebih ganteng mana?"
Kali ini mereka terdiam. Sibuk membandingkan antara Bae Jinyoung dan Woo Jinyoung. Walaupun Bae Jinyoung nggak terlalu menonjol, tapi semua orang juga tahu kalau dia ganteng. Murid kesayangan guru juga, sering keluar masuk ruang guru buat bantuin ambil tumpukan buku tugas.
Sedangkan Woo Jinyoung adalah pacar impian semua gadis. Walaupun nilai akademisnya nggak terlalu memuaskan, kayanya semuanya nggak terpengaruh. Dulu waktu kecil hobinya mengoleksi perangko, sekarang mengoleksi id line gadis kencur.
"Kalau Bae Jinyoung bisa senyum dikit, mungkin Woo Jinyoung bisa kalah."
"Tapi Bae Jinyoung manis kok."
"Ganteng lah, mukanya kecil gitu kaya rautan."
Keheningan kembali melanda ketika sosok perempuan berumur sekitar 40 tahun-an membuka pintu kelas. Semua murid bergegas duduk di tempat masing-masing, ada beberapa dari mereka yang berusaha merapikan meja.
Di belakang guru tersebut, ada sosok lelaki dengan wajah tertunduk. Langkahnya terkesan santai tapi raut wajahnya justru menunjukkan sebaliknya.
"Anak-anak, kalian pasti sudah tahu kan kalau hari ini kelas 11-B akan bertambah murid?"
Beberapa anak hanya bergumam, sebagian besar fokus memperhatikan Bae Jinyoung yang tidak memberikan akses bagi mereka untuk melihat wajahnya.
"Jinyoung, bisa memperkenalkan diri di teman-teman barumu?"
Hening.
"Nama saya Bae Jinyoung, dari kelas 11-C. Mohon bantuannya."
"Halo Bae Jinyoung," jawab salah seorang gadis berambut cokelat muda, dia lumayan kaget. Cara Jinyoung menyibak rambutnya bikin dia cengo sesaat.
"Bangku di sebelah Yuna kosong?"
Walaupun masih mempertahankan ekspresi cengonya, akhirnya Yuna mengangguk.
"Jinyoung bisa duduk di sebelah Yuna."
Yuna membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja, tentu saja ia harus cepat. Tidak mungkin juga rasanya membuat Jinyoung harus menunggu lama hanya karena bukunya.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Jinyoung bisa duduk tenang di sebelah Yuna. Pelajaran dimulai seperti biasa, tapi pikirannya tidak bisa fokus. Sesekali ia melirik ke arah Jinyoung, lelaki itu mencatat penjelasan guru.
"Bae Jinyoung?"
Jinyoung yang awalnya fokus pelajaran sekarang sedikit menoleh ke arah Yuna.
"Iya?"
"Kenalin, aku Yoon Yuna."
"Nanti aja kenalannya, sekarang masih pelajaran."
"..."
Pipi Yuna berubah warna menjadi merah. Tentu saja dirinya malu, baru sekali bercakap dengan Jinyoung tapi lelaki itu malah menunjukkan respon negatif. Demi menaikkan harga dirinya, Yuna berjanji tidak akan mengajak Jinyoung berbicara sebelum lelaki itu sedikit jinak.
Perjanjian pun dimulai.
Yuna membuka buku catatannya. Mulai mencatat apa yang dijelaskan oleh guru. Sekitar beberapa menit kemudian, Yuna merasa Jinyoung berhenti menulis.
Ia sedikit melirik kearah lelaki itu. Jemarinya seperti mencari-cari sesuatu di kotak pensilnya.
Yuna merasa gugup saat Jinyoung menatap dirinya.
"Ada penggaris?"
"Ada."
"Boleh pinjam?"
"Nanti aja pinjamnya, sekarang masih pelajaran."
"...."
Jinyoung tertawa pelan. "Kamu jago balas dendam ya?"
Mendengar pertanyaan Jinyoung barusan membuat Yuna hampir saja ikut tertawa. Tapi mengingat perjanjian tadi, sekuat mungkin ia menahan tawanya.
"Lumayan."
Takut ketahuan sedang berbicara di tengah pelajaran, Jinyoung menutupi seluruh wajahnya dengan buku cetak. Kini lelaki itu sepenuhnya menghadap Yuna.
"Aku minta maaf soal salam kenalmu tadi."
"Santai aja kalau sama Yuna."
Sekarang Jinyoung tahu kalau gadis yang duduk di sebelahnya ini adalah tipikal pendendam. Walaupun Yuna sudah menerima maafnya, ia masih saja merasa ada hawa kemarahan dalam diri gadis itu.
"Kamu marah?"
"Nggak."
"Kalau gitu, kenapa kamu nggak kasih aku penggaris?"
Yuna menoleh. Menatap kedua mata Jinyoung. Saat itu juga ia merasa jantungnya berdegup kencang, lelaki itu terlalu tampan untuk bisa duduk di sampingnya. Apalagi dalam jarak pandang sedekat ini.
"Hukuman. Kamu kira aku nggak malu-----"
"Yoon Yuna, coba kerjakan soal halaman 191."
Tawa Jinyoung pecah. Tentu saja dirinya tidak ketahuan karena wajahnya tertutup oleh buku, sedangkan Yuna tidak tertutupi oleh apapun. Terlihat jelas dari depan sana, Yuna seolah berbicara sendirian sedangkan Jinyoung fokus mendengarkan penjelasan.
Kalau saja tidak ingat ada guru di dalam kelas, mungkin Yuna sudah memukulkan buku cetak tebalnya ke kepala Jinyoung. Tentu saja emosinya naik.
"Semangat, Yoon Yuna!"
Ucapan itu yang terakhir kali ia dengar dari Jinyoung untuknya. Karena setelah itu, ia tidak mau melihatnya lagi.
🐣🐣🐣