"Ayolah Pa. Usir cewe itu. Shani benar benar ga tahan. Dia ngikutin Shani terus"
"Dia anak yang baik sayang. Cobalah buka hatimu untuknya"
"Apa?! Papa bercanda? Dia perempuan pa! dan Shani juga perempuan!"
"Iya Papa tau"
"Terus Papa . . . "
"Ci Shani" sapa seorang gadis.
"Beri Gracia ruang walau sebentar" Bisik sang Papa, lalu pergi meninggalkan anaknya.
Gadis bernama Gracia itu berlari gembira mendekati Shani. Meski ia tau Shani tak suka.
Greeppp
Ia memeluk Shani. "Cici aku kangen"
"Berhentilah bersifat manja Gre! Gua mau pergi dulu!" Shani melepaskan tangan Gracia yang melingkar di pinggangnya dengan kasar. Lalu berjalan meninggalkan Gracia.
Gracia hanya mampu terdiam. Ia memandangi punggung Shani yang semakin menjauh.
Punggungmu selalu menjadi akhir dari pertemuan kita.
- OS -
"Ngapain ke sini?"
"Sorry Ci?! Mm.. Aku mau minta . . . Mm . . . jawaban Cici untuk . . . Mm . . . "
Shani menatap tajam Gracia. "Udah ga usah dilanjutin. Gua cape denger gumaman lo!" Bentak Shani.
"Ok. Apa sikap gua ke lo ga cukup jelas buat jawab? Gua ga suka lo! Lo berisik, terlalu banyak gerak dan mengganggu! Jadi, kalo lo benar cinta sama gua. Mending jauh jauh dari hidup gua"
Gracia terdiam berusaha mencerna ucapan Shani.
"Mm . . Gitu ya? Ok deh. Maaf kalo selama ini aku udah bikin Ci Shani terganggu?"
"Bagus deh kalo nyadar" Ucap Shani acuh.
"Aku pulang dulu Ci. Terima kasih buat waktunya? Aku sayang Cici"
Dan kali ini . . .
Punggungku yang menjadi akhir pertemuan kita.
- OS -
1 minggu kemudian
"Papa udah lama ga liat Gracia?"
Shani memutar bola matanya malas. "Seminggu yang lalu, Shani udah negesin sama Gracia untuk ngga ganggu hidup Shani lagi"
Mata Papa Shani terbelalak. "Apa yang kamu maksud?"
"Dia itu mengganggu banget Pa. Shani ga tahan!"
Papa Shani menghembuskan nafas kasar. "Papa mau cerita. Tolong dengarkan dengan baik"
"Dulu . . Satu setengah tahun yang lalu adalah masa masa terberat Papa. Mama pergi meninggalkan kita dan Papa harus menerima kenyataan kamu menderita pembengkakan Ginjal. Malam itu kamu menjerit. Kamu merasakan sakit luar biasa. Papa dengan perasaan khawatir bercampur takut, membawa kamu yang sudah tak sadarkan diri ke rumah sakit"
"Masih jelas diingatan Papa. Bagaimana dokter itu mengatakan kamu kritis dan harus segera mendapat donor ginjal. Papa memaksa dokter untuk mengambil ginjal papa. tapi . . . " Papa Shani tersenyum miris.
"Ginjal papa tidak dalam kondisi yang baik. Saat itu papa menyalahkan diri sendiri. Kecewa terhadap diri sendiri. Apalagi ketika dokter mengatakan belum menemukan pendonor yang cocok padahal waktu sudah berlalu sekian jam"
"Saat itu. . Pukul 8 malam. 5 jam setelah kamu di rawat di rumah sakit. Kamu mengalami kejang dan muntah. Papa yang bodoh hanya mampu menangis, bingung harus melakukan apa? Namun, bagaikan air segar di kala kemarau. Ucapan suster memberikan setitik pengharapan untuk papa