9. Hari Pertama (Revisi)

594 29 6
                                    

Ruang makanku nampak sederhana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruang makanku nampak sederhana. Ayah dan ibuku adalah seseorang yang suka dengan konsep monokrom. Setiap sudut ruangan di rumahku selalu didominasi oleh warna hitam dan putih. Karena terbiasa, aku pun jadi menyukai warna hitam dan putih. Terlihat berlawanan namun juga serasi dalam waktu yang bersamaan.

Malam ini, kebetulan sekali ayahku sudah berada di rumah. Jadi, aku bisa makan malam bersama ayah, ibu, dan Adit. Aku tidak tahu bagaimana canggungnya Adit dalam posisi ini—habis jalan-jalan denganku, berniat mengantarku pulang, lalu kehujanan, dan baru saja selesai mandi dengan baju ayahku sebagai gantinya. Tapi, sepertinya ia laki-laki yang cukup percaya diri.

Beberapa makanan yang sudah disiapkan ibuku, aku membantu menatanya di ruang makan. Sesekali kupandang Adit dari kejauhan, tak nampak sedikitpun keraguan yang bisa kutangkap di sana. Atau dia sudah pandai menyembunyikan? Entah, semoga saja dia benar-benar tidak kikuk.

Seperti biasa, hanya ibuku yang boleh melakukan ritual ini—mengambil nasi, sayur, dan lauk-pauknya. Aku dan ayahku tidak pernah mengambil makanan kami sendiri, kecuali kalau memang sedang makan sendirian. Apalagi tamu seperti Adit, sudah pasti ibuku akan menambahnya dengan ekstra porsi kuli. Adit hanya senyum-senyum setiap kali ditumpahi makanan di piringnya. Daripada menolak, lebih baik dipaksa diterima saja. Mungkin seperti itu pikirnya.

"Nak Adit ini pacarnya Fira, ya?" serentetan kalimat mengagetkan yang berhasil membuatku hampir tersedak minuman. Seperti sinetron saja, tapi serius aku nyaris tersedak.

Orang belum gue jawab hahaha. Batinku dalam hati yang sebenarnya ingin sekali aku sampaikan. Kalimat yang justru kuucapkan adalah, "Bukan, ih Ibu mah sukanya gitu."

"Nak Adit suka sama Fira?"

Deg. Jantungku serasa mencelos dari tempatnya. Kulihat Adit yang juga sedang menatapku, berkata lewat pandang bahwa ia harus mengatakan 'tidak'.

"Iya, Bu. Saya suka Fira."

"Pacaran?"

* * *

Cahaya matahari masuk menelusup lewat celah-celah lubang udara di atas jendela kamarku. Hangat. Memaksaku untuk menikmatinya di hari sepagi ini. Dengan mata yang masih setengah terbuka dan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya, kupaksa diriku bangun. Melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Cuci muka, lari-lari.

"Gila capek banget gue. Udah lari-lari sendiri, nggak ada yang jual minum pula. Sungguh sempurna cobaan jomblo pagi ini."

Sebotol air mineral tiba-tiba saja ada di depan wajahku—membuatku mengangkat kepala, penasaran dengan si empunya.

"Makanya biar nggak jomblo jadian aja sama gue."

Astaga. Bisa-bisanya....

Laki-laki itu masih menatapku dengan senyum manisnya. Membuatku berdiri untuk menyejajarkan tubuhku dengan tubuh jangkungnya. Yang tetap saja aku harus mendongak kalau hendak menatap matanya.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang