Tawur Bag. 2: Karate

226 10 3
                                    

"Woy, ngapain lu? A**ing!" teriak salah satu anak geng motor yang sedang menjarah pakaian.

"Wah, salah nih gue pake flash!" Andi nepok jidat.

"Ga papa, Ndi! Sikat! Kita dapet foto plat nomor dan muka-muka mereka," kata Riko menghibur. "Kalo mereka nyerang kita, kebetulan gue perlu lawan sparring, nih. Hehe!"

Tanpa sengaja malam itu Andi, Riko, dan Dimas memergoki penjarahan toko pakaian oleh anak-anak geng motor. Anak-anak itu berjumlah tujuh orang dengan usia yang kira-kira tidak jauh dari mereka. Dengan inisiatif, eh bukan, dengan kamera dari balik pohon mereka mencoba mengabadikan muka-muka senga dan plat nomor motor ーyang paling juga dibeliin bapakー mereka itu untuk dilaporkan ke Polisi.

"Dan tujuh orang penjarah itu beneran lari ke sini," kata Dimas memberitahukan kondisi pada dua temannya. Dari toko baju, anak-anak geng motor berlari ke arah mereka dengan muka marah sambil mengayunkan besi di tangan mereka. Muka Dimas nggak kelihatan takut sama sekali. Datar aja kaya Citato kelindes angkot.

"Heaaa!" teriak anak geng paling depan sambil mengayunkan besi ke arah Andi. Andi yang diserang bukannya mencoba menghindar malah bersiap-siap mengeker kameranya untuk mendapat foto wajah si anak geng.

TONG! Cekrek! Batangan besi terpental lepas dari tangan si anak geng. Dia terpaku tak bergerak dengan tangan masih terangkat. Di hadapannya ada Riko yang menarik kakinya dan memasang kuda-kuda.

"Ayo maju! Laki beranten kaya gini," Riko menunjukkan kedua tangannya yang kosong dan mengepalkannya. "Biar gereget," sambung Riko. Entah kenapa tiba-tiba Riko terdengar mirip om-om ahli silat berkumis dengan rambut gondrong bergelombang, sebut saja Yayan Ruhiyan.

Beberapa anak geng motor berlarian menerjang Riko yang berdiri paling depan. Andi di belakangnya mencoba mengambil foto anak-anak itu dan Dimas di belakang Andi lagi asik mencari upil di idungnya. Cukup berguna.

Sebenarnya dulu Riko bukan anak yang pemberani dan penggila karate seperti sekarang. Ketika SD dia bahkan termasuk anak yang paling penakut. Sama anjing takut, sama hantu takut, sama kelinci takut, bahkan sama rasa takut dia juga takut.

Riko sekolah di SDSN, sekolah yang sama dengan Andi namun berbeda kelas. Andi di dalam kelas sedangkan Riko di luar kelas. Nggak deng, Andi kelas 3 A dan Riko 3 B.

Sama seperti Andi, Riko juga tidak memiliki teman. Semua anak di kelas menjauhinya. Ada gunjingan bahwa Riko anak yang pengecut dan tidak setia kawan. Katanya kejadiannya waktu dia kelas 1.

Riko! Tolong aku, kumohon!

Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Aku takut.

Riko berbalik arah dan melempar topeng ranger birunya. Hidungnya yang kaya pinokio basah oleh keringat dingin. Dia berlari sekuat tenaga meninggalkan seorang anak yang sedang dipukuli oleh beberapa orang anak yang lebih besar, dan topeng ranger birunya yang tergeletak di jalan.

"Bagaimana caranya supaya aku lebih kuat? Kalau selamanya aku selemah ini, aku akan tetap jadi penakut dan tidak akan ada orang yang akan mau jadi temanku," keluh Riko sambil berjalan sendiri sepulang upacara di sekolah. Bayangan kejadian setahun lalu itu masih sering dia pikirkan.

Saat itu jalan yang dilaluinya sangat sepi. Kata nenek yang menyapu jalan, semua orang pergi ke acara 17an di lapangan. Riko yang merasa takut mempercepat langkahnya dan mencengkram lengan tasnya.

Grr! Di depan sebuah rumah kuning berdiri seekor anjing warna kuning dengan deretan gigi kuning yang dikawat kuning. Buset, gaya amat itu anjing! Gigi-giginya berderak dan liurnya menetes. Guk! Guk! Tiba-tiba anjing itu berlari ke arah Riko.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang