Tentang Tiara - Part 04
"Aku yakin, Venz. Kami sudah sama-sama mempelajari sejarahnya, termasuk dengan menonton video dr. Zakir Naik di Youtube. Beliau memang pintar dan tak tertandingi, namun sayangnya banyak ayat-ayat dalam Alkitab yang ditafsirkan tidak secara menyeluruh yang digunakan dan dipolitisir untuk membenarkan ajaran Islam," ucap Sam mantap.
"Tetapi menurutku kamu tetap tidak boleh mempelajari dan membandingkan ajaran agama bersama dengan Tiara. Sebagai seorang kekasih, tentu rasa cinta dan sayang itu akan mengalahkan segalanya. Terkadang rasa sayang dan rasa iba menyebabkan seseorang tidak dapat membuat keputusan yang bijak. Kau bisa saja membantu seekor ulat untuk keluar dari kepompongnya dengan rasa iba, namun kemudian menyebabkannya terlahir sebagai kupu-kupu yang tidak bisa terbang." Aku menjelaskan panjang lebar.
Samuel terdiam. Aku memang tidak setuju bila Tiara dipengaruhi agar bersedia melepas keyakinan sebelumnya dan beralih menjadi Kristen. Membina suatu hubungan harus mempunyai visi dan misi yang sama, namun bagiku apa yang dilakukan Sam bukanlah cara yang elegan. Seharusnya setiap keputusan dan pilihan adalah murni berdasarkan sudut pandang dirinya sendiri, bukan karena pengaruh dari orang lain.
-----ooOoo-----
"Ra, kamu sakit, ya?!" tanyaku pada Tiara suatu sore. Aku menyadari, ada sesuatu yang telah terjadi pada Tiara. Wajahnya pucat, lingkar matanya memerah, terlihat kurang tidur dan menangis.
"Tidak, Kak. Cuma kelelahan, banyak aktivitas di kampus hari ini," Tiara menggeleng.
"Aku tahu ada yang tidak beres, Ra. Kamu bisa membohongi orang lain, tetapi tidak padaku. Kamu bisa cerita ke aku, dan dengan senang hati akan mendengarkan. Dengan memberikan solusi jika aku mampu," ucapku seraya tersenyum.
Aku tahu kalau Tiara sedang menghadapi banyak masalah, namun seringkali ia hanya diam. Setiap orang memang selalu memiliki masalah dalam hidupnya. Hanya saja, tidak semua orang mau mendramatisirnya. Mereka lebih senang tersenyum dan menyembunyikan masalahnya untuk diri sendiri daripada mengungkapkannya hanya untuk mencari simpati. Dan, Tiara termasuk salah satu dari segelintir orang yang berperilaku demikian.
"Aku sudah tidak bisa berbohong lagi sama Papa kalau Sam itu memang adalah pacarku. Hubunganku dengan Sam telah diketahui oleh Papa," kata Tiara setelah lama terdiam.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Aku juga tidak tahu, Kak. Entah dari siapa Papa mengetahuinya. Aku bingung," ucap Tiara sembari tertunduk.
"Hubungan kamu sama Sam tidak akan menjadi rahasia selamanya, Ra. Bagaimanapun juga kamu harus jujur pada orangtuamu."
"Aku belum siap untuk itu, Kak. Sam pun demikian," Tiara menjawab lirih.
"Adalah lebih baik bila papamu tidak mengetahui hal ini dari orang lain. Papamu akan sangat murka karena dibohongi oleh anaknya sendiri. Apalagi itu adalah kebohongan tentang jalinan cinta beda keyakinan," saranku pada Tiara.
"Aku sudah membicarakan bersama dengan Sam tentang hal itu tiga hari yang lalu. Sam berencana untuk datang ke rumah bulan depan, dan saat itulah aku akan memperkenalkan Sam sebagai pacarku pada Mama dan juga Papa," jelas Tiara.
"Apa saja yang sudah diketahui oleh orangtuamu tentang Sam?"
"Tidak banyak. Papa hanya bilang kalau sudah hampir sebulan ini ada beberapa orang yang menyampaikan kalau Samuel itu adalah pacarku tetapi beragama Kristen," kata Tiara memberitahu.
"Kalian tidak bisa menjalani hubungan backstreet lebih lama. Sangat mungkin Papamu kini menyewa orang untuk memata-matai kamu," kataku menyimpulkan.
"Itulah yang aku khawatirkan, Kak. Ada seseorang yang memotret kami berdua ketika sedang berada di gereja dan memberikannya pada Papa, dan foto-foto itulah yang dijadikan bukti oleh Papa ketika menginterogasi aku semalam," ungkap Tiara.
"Apa kamu yakin kalau hubungan kalian ini akan direstui?" tanyaku lagi.
"Sepertinya mustahil, tapi pasti ada jalan keluar," jawab Tiara yakin.
"Justru akulah yang tidak yakin, Ra. Papamu adalah salah seorang tokoh masyarakat, tokoh agama pula. Sangat tidak mungkin hubungan kalian akan direstui." Aku meragukan ucapan Tiara.
Tiara tidak menjawab. Sepertinya ia mengakui apa yang barusan kukatakan padanya. Sudah menjadi hal yang umum berlaku dalam hidup, bahwa menjalani cinta beda usia, beda status sosial, apalagi beda agama adalah suatu hal yang sulit.
"Aku hanya menyampaikan pendapat, Ra. Menurutku, cinta tanpa kejelasan status hanyalah pemborosan waktu," ucapku lagi setelah melihat Tiara hanya diam.
"Aku peduli sama kamu, Ra. Kisah cintamu punya sedikit persamaan denganku, dan kamu tidak perlu tahu apa itu. Kamu hanya perlu tahu bahwa ada hal-hal tertentu dalam hidup yang tidak akan mungkin digapai dan diraih meski dipaksakan sekalipun." Ingatanku melayang pada Viona.
Tiara hanya diam. Sejurus kemudian ia mengangkat wajahnya dan menatapku, seakan-akan hendak meyakinkan diri bahwa aku benar-benar peduli dengan dirinya. Aku hanya tersenyum. Dan, entah bagaimana awalnya, iapun menceritakan sepenggal kisahnya yang terjadi beberapa hari yang lalu.
-----ooOoo-----
"Tiara!!" Terdengar panggilan Papa, menghentikan langkahku menuju kamar.
"Sini duduk, Papa perlu bicara!!" Kalimat Papa terdengar tegas dan penuh penekanan. Aku menuruti keinginan Papa; duduk di sofa ruang tengah berhadapan dengan Papa dan juga Mama.
"Papa dengar kamu punya pacar beragama Kristen. Apa itu benar?" Pertanyaan Papa membuatku terkejut. Dari siapakah Papa mengetahui tentang Sam?
"Itu cuma fitnah, Pa. Tiara memang punya banyak teman yang beragama Kristen kok," aku membantah.
Papa punya buktinya, Ra. Tolong jelaskan pada Papa ini apa! Jangan bilang kalau kamu punya kembaran yang sama persis denganmu!" Papa menunjukkan beberapa lembar foto ketika aku bersama Sam sedang berada di gereja.
Beberapa lembar foto tersebut menunjukkan aku sedang bersama dengan Sam dengan latar belakang sebuah gereja. Aku ingat, seminggu yang lalu Sam mengajak aku berdoa bersama di gereja. Beruntung, foto-foto tersebut bukan diambil ketika kebaktian hari minggu sehingga aku bisa beralibi. Jika aku dan Sam difoto ketika kebaktian hari minggu, aku tidak bisa beralibi karena kostum ketika kebaktian minggu sangat berbeda dengan yang digunakan sehari-hari.
"Ini memang benar Tiara, Pa. Saat itu Tiara datang menemui salah seorang teman yang secara kebetulan sedang berada di gereja. Papa tidak bisa langsung berasumsi bahwa itu adalah pacar Tiara," aku menjelaskan dengan hati-hati.
"Kenapa hanya duduk berdua saja?"
"Teman sekampus Tiara kan cuma Samuel yang ada di situ, Pa. Tidak mungkin mengajak semua orang yang ada di situ untuk duduk bersama dan saling berbicara tentang kegiatan kampus," ucapku memberi alasan, cukup logis buat Papa.
"Jadi memang benar namanya Samuel." Papa manggut-manggut. "Sudah hampir sebulan ini Papa mendapat info kalau Samuel itu adalah pacar kamu dan dia beragama Kristen. Papa memang tidak percaya, namun sudah lebih dari tiga orang yang memberitahu Papa tentang hal ini. Saat ini Papa lebih percaya kamu, tetapi jika ada bukti-bukti lain, kamu tahu apa akibatnya," ucap Papa dengan tegas.
Aku hanya tersenyum memandang wajah Papa lalu melangkahkan kaki menuju kamarku sendiri, tak ingin membahas hal ini lebih lama. Aku yakin kalau Papa akan curiga jika masalah ini terus dibahas.
-----ooOoo-----
To be continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomanceWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...