Pembiasan cahaya itu mulai tertangkap diindera pengelihatanku..
Setitik demi setitik warna yang kini mulai terkuak, bersusun elok dimerahnya mega senja.
Ditemani aroma tanah basah yang selalu aku rindukan, yang selalu berhasil membuat otak penatku menjadi sejuk bak tetesan embun yang selalu kudapati saat fajar pagi.
Aku tak pernah membiarkan satu helaan nafas tersia-siakan dari aroma tanah basah ini..
Sebenarnya aku ingin menikmati hujan lebih lama lagi.
Namun alam melarangku untuk terlalu larut dengan perasaan.Aku ingat, dulu aku pernah membenci hujan.
Bagiku alam seolah menangis berduka.
Aku benci airmata, aku benci kesedihan.
Hingga seseorang membuatku berbalik untuk menilai makna tentang hujan,
"Saat hujan turun, alam seolah menemani setiap insan yg merasakan kegalutan.
Karna dalam hujan, setiap insan dapat menangis dengan bebas bersama rinainya..
Jadi kau, jangan benci hujan."Suara itu masih selalu terngiang ditelingaku.
Tak jarang membuat pemikiranku beku, atau mungkin aliran darahku serasa tersengat sesuatu yang menyakitkan.
Entah perasaan apa itu, aku tak pernah dapat menghalaunya..
Perasaan yang selalu membuatku sesak.
Perasaan yang selalu memerintahkanku untuk menjerit dalam diam.Aku masih terus menikmati aroma ini, mencoba memejamkan mata, mencoba memberanikan diri untuk melihat raut wajah yang selalu membayangiku.
Ya... aku selalu melihatnya, walaupun tak nyata, jelas sekali. Raut wajah yang mungkin lebih indah dari kumpulan pembiasan cahaya yang baru saja ku nikmati sebelum ku memejamkan mataku dan melihat raut wajah itu.Aku menghembuskan nafasku dengan kasar ketika aku merasakan perasaan itu lagi..
Sesak..!!
Ku putuskan untuk kembali membuka mataku agar raut wajah itu memudar perlahan,
"Aku merindukanmu.."
Ku beranikan diri untuk mengakui perasaanku dengan berbisik lirih, membiarkan suara ku larut dengan angin senja ini..
Ku harap angin itu mau berbaik hati padaku untuk menyampaikan segenap kerinduanku padanya.
Aku tak tau lagi, bagaimana caraku agar dapat menikmati wajah anggun itu, bukan hanya sebuah khayalan.
Bukan hanya sebuah imajinasiku yang terlalu indah!Si bola raksasa alam ini seolah menertawaiku dengan ronanya yang semakin memerah.
Membuatku malu saja.
Semakin jelas kutatap pembiasan cahaya itu.
Aku dapat melihatnya, dapat menikmatinya..
Namun sejatinya cahaya yang beraneka warna itu hanyalah sesuatu yang semu.Indah.. namun tak lama..
Indah.. namun tak nyata..
Aku tersenyum masam saat mengakui hal itu..
Kini, seorang yang kurindukan tak beda halnya dengan pembiasan cahaya yang tengah ku pandangi sedari tadi.
Semu.. Hanya bayangan semu yang kunikmati selama ini..
Kerap kali ku terkam hatiku sendiri, menyesali apa yang telah aku lakukan selama ini.
Mengapa tak ku ungkapkan saja apa yang aku simpan didalam hati?
Mengapa aku tak begitu menghiraukan setiap pengakuan yang terlontar dari bibir manisnya yang selalu meyakinkanku untuk meyakini apa yang ia rasakan?
Aku mengerti tentang rasa itu, tapi mengapa tak pernah ku indahkan?
Mengapa aku membiarkan dia pergi begitu saja?
Jika saja saat itu aku mampu untuk melawan pembungkaman mulutku sendiri, andai dapat kukatakan
"jangan pergi....!",
apakah kini aku masih dapat menikmati senyumannya?
Atau setidaknya aku dapat berada didekatnya..Ku coba menepiskan semua rasa penyesalanku yang hanya akan menjadi sebongkah batu besar yang merangsek masuk kedalam paru-paruku.
Pembiasan itu mulai memudar, terurai bergantikan warna merah yang berubah hitam.
Ku harap kau tak seperti pelangi...
Indah, namun semu..
Anggun, namun sementara..
Nyata, namun tak dapat ku raih..
Jangan menjadi seperti pelangi....
~End~
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Pelangi
RandomIndah, namun semu.. Anggun, namun sementara.. Nyata, namun tak dapat ku raih.. Jangan menjadi seperti pelangi..