Bag. 5

5K 206 1
                                    

"Pulang.." ucapnya dengan wajah dan suara yang angker

"Ngapain disini??" tanyaku judes berusaha menutupi rasa takut yang mulai menghinggapi perasaanku

"Jemput kamu.. kita pulang.." jawabnya masih dengan tampang serupa

"Gak mau.. aku lagi nunggu Arini.. bisa pulang sendiri kok.." tolakku masih berusaha menahan amarah yang mulai menggantikan rasa takut tersebut.

"S.E.K.A.R.A.N.G" desisnya dan langsung menarik tanganku

"Apa-apaan sih.. jangan kasar gitu sama cewek dong..." ucap Riko dan Qori yang langsung mengambil tanganku dari genggaman Julian

"Siapa kamu melarang saya? Hak kamu apa?" tanya Kak Julian dengan nada yang tidak kumengerti. Dia seperti anak kecil yang marah karena mainannya direbut.

"Ada dong.. Rin sahabat saya.. yang ada kamu yang siapa??" jawab Qori sambil menarikku kebelakang badannya. Aku sedikit terharu saat dia membelaku seperti ini.

"Bukan urusanmu.. permisi.."" ucap Kak Julian tidak mau kalah yang langsung menarikku dari belakang Qori dan menyeretku menuju lobi dan menarikku menuju mobilnya.

Aku mengikuti langkahnya dengan susah payah dan akhirnya ketika dia berhenti di sebuah mobil yang kuyakini sebagai mobilnya dia langsung mendorongku memasuki mobil tersebut. Ketika aku didudukkan dengan paksa dia langsung menarik seatbelt dan memasangkannya lalu menutup pintu dengan sedikit membantingnya lalu berjalan memutar menuju kursi pengemudi. Berusaha untuk tidak gugup aku berusaha untuk membuka seatbelt ku dan membuka pintunya. Namun karena gugup itu membuat tanganku gemetar dan membuatku tak bisa membuka seatbeltnya sama sekali. Saat aku mencobanya kembali dia sudah masuk dan menghidupkan mesinnya. Karena aku terlalu fokus untuk membuka belenggu yang ada dibadanku, gerakan tersebut membuatku kaget dan sedikit memekik.

"Kamu baik-baik aja??" tanyanya bingung begitu aku terdiam.

"Hei.." panggilnya lagi sambil memegang bahuku dan disitulah aku tersadar kalau aku sedang gemetar.

"Arin.. kamu kenapa??" pertanyaan lainnya yang tidak bisa kujawab karena pikiranku yang terselimuti kabut takut.

"Maaf" ucapnya pelan sambil melingkupkan kedua tangannya diatas tanganku yang berada diatas pangkuanku.

"Daijoubu.. Daijoubu.." bisikku lebih pada hipnoterapi yang selama ini selalu kulakukan disaat aku panik ataupun takut.

Berulang kali kulafalkan kata-kata penenang dari semua bahasa yang kutahu hingga akhirnya aku bisa merasa tenang. Selama itu pula Kak Julian tidak pernah melepaskan genggamannya dari tanganku. Disatu sisi aku ketakutan setengah mati dengan sikapnya sore ini, tapi disatu sisi aku menyukai perhatiannya untuk membuatku kembali tenang. Walaupun sumber ketakutanku adalah dia sendiri.

"Kamu udah baikan?" tanyanya ketika aku sudah berhenti bergumam.

"....." pertanyaannya tidak kujawab dengan kata-kata melainkan dengan anggukan kepala setelah menarik napas yang sangat panjang yang bisa kutarik.

"Kita makan malam dulu ya... nanti aku antar kamu pulang ke kontrakanmu.." ucapnya lagi dan dia mulai menjalankan mobilnya. Jangan tanya tahu darimana dia kontrakanku, karena kalau pun aku bertanya jawabannnya sudah pasti dari Mas Kiki.

"Gak usah.. aku langsung pulang aja.. soalnya kunci rumah sama aku.." jawabku menolak idenya untuk makan malam diluar.

"Emang cuma 1 kunci rumah kalian??" tanyanya penuh selidik

"Iya.." jawabku bohong. Tentu saja masing-masing dari kami punya 1 kunci.

"Gak usah bohong.. lebih baik kamu jujur aja sama aku.. kenapa kamu nolak makan malam sama aku hari ini?" ucapnya sambil menepikan mobilnya di pinggir jalan.

"Gak ada alasan spesifik.. cuman lagi pengen langsung pulang aja.." jawabku sejujur mungkin.

"Oke... dan kenapa kamu pengen langsung pulang? Bukannya tadi kamu lagi senang-senang sama temen kamu? Apa kamu marah karena aku bawa pulang kamu secara paksa kayak tadi?" pertanyaannya sungguh banyak dan itu membuatku semakin lelah.

"Aku cuman lelah aja kak.. adrenalinku tadi udah kepake banyak banget.. jadi sekarang aku kelelahan.." ucapku setengah-setengah. Sebenarnya kelelahan itu hanya sebagian kecil dari alasanku tidak ingin makan malam bersama. Aku hanya takut. Takut untuk kembali takut pada dirinya.

"Maaf.. tadi aku gak bermaksud buat nakutin kamu.. aku hanya gak suka liat kamu senyum ke cowok lain, padahal kamu belum pernah senyum padaku.." jelasnya sambil menerawang ke depan

Jelas aja.. kita aja baru ketemu kemarin.. mana bisa gue senyum ke orang baru.. pikirku menjawab pernyataannya yang absurd itu.

"Jadi.. kamu tetap mau pulang? Gak mau makan malam dulu nih?" tanyanya setelah lebih dari 15 menit kami berdiam diri didalam mobil.

"Iya" jawabku singkat padat dan jelas

"Oke.. kalau gitu besok aku jemput lagi ya.. kita makan malam bareng... gimana?" tanyanya saat mobil kembali melaju dijalanan ibukota yang mulai padat merayap.

"Gak usah... beri aku ruang sebentar untuk memikirkan ini semua kak.. semua ini terjadi begitu tiba-tiba.. aku.. tidak tahu mau berkata apa lagi.." ucapku terpotong-potong karena memang sedang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Semua begitu tiba-tiba. Dan aku lelah untuk memikirkannya lagi

"Oke.. aku kasih waktu 3 hari dari sekarang.. lusa aku jemput kamu dan kamu harus mau makan malam denganku.." perintahnya membuatku ingin membantahnya

"Tidak ada tapi-tapian.. aku sudah memberimu ruang Rin.. dan ingat 2 bulan lagi kamu akan menjad istriku dan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya.. aku butuh mengerti kamu.." ucapnya lagi dan kini aku tak bisa berkata apa-apa. I lost my word.

"Sudah sampai.." ucapnya memecah keheningan saat kami tiba di depan kontrakanku. Benar-benar tepat info dari Mas Ki

"Terima kasih.." ucapku sambil membuka pintu mobilnya dan berlari menuju pintu tanpa menghiraukan panggilannya.

つずく

Arin's Love Story (END)Where stories live. Discover now