Selesai sholat ashar disalah satu masjid yang kami temui dipinggir jalan, kak Julian mengarahkan mobil ke kafe populer akan minuman kopinya. Setelah memarkir mobil dan berjalan bersisian memasuki kafe tersebut, kami berdua mengantri di depan kasirnya untuk memesan minuman. Kalau biasanya aku akan mencoba untuk memesan minuman berkafein itu, namun kali ini aku memilih untuk cari aman saja. Setelah menyebutkan pesanan masing-masing dan membayar tagihan yang lagi-lagi kak Julian yang membayarnya, kami menunggu nama kak Julian dipanggil untuk pesanannya. Tak berapa lama nama kak Julian dipanggil dan minuman kami berdua telah tersaji. Sambil membawa minuman itu kami mencari meja yang agak jauh dari kerumunan yang sore ini memang memadati kafe ini.
"Jadi kakak mau ngomongin apa??" tanyaku setelah akhirnya kami duduk di meja bundar untuk 2 orang di luar jendela. Karena cuaca sore ini sedikit mendung sehingga tidak terlalu panas makanya kami memilih untuk duduk diluar.
"Sebelum itu.. apa kamu memang biasa minum greentea??" tanyanya mengomentari pilihan minumanku
"Gak selalu sih kak.. hanya kadang-kadang kalau lagi malas minum kopi.." jawabku sambil menyeruput kembali minumanku
"Kalau gak salah waktu itu kamu juga minum greentea kan?? Yang di kafe kantor pas kakak paksa pulang kamu..." ucapnya sambil mengingat-ingat kejadian dimana aku benar-benar ketakutan terhadap sikap dinginnya
"Yap.. soalnya greentea disana lumayan enak.. gak terlalu manis dan rasa greenteanya berasa.." jawabku sambil kembali menyeruput minumanku
"Kakak sendiri suka minum espresso??" tanyaku mengomentari minumannya yang terkesan tua itu
"Yaa gitu deh.. lagian kalau minum kopi lebih enak espresso atau americano kan.." jawabnya sambil dengan santainya menyeruput minuman mengerikan itu
"Kenapa dengan ekspresimu??" tanya keheranan melihatku memperhatikan caranya meminum kopi tersebut
"Gak pait kak??" aku balas bertanya
"Semakin pait semakin enak kan.." balasnya santai
"Ihh kakak sama aja kayak Mas Kiki.. sukanya yang pait-pait.." ucapku sedikit bergidik mengingat memori mengerikan itu.
"Memangnya kamu pernah nyoba??"
"Pernah sekali.. waktu itu dipaksa Mas Kiki buat nyoba.. abis itu aku gak mau nyoba lagi.. ihhh paitt.." ucapku sambil bergidik mengingat memori pait tersebut.
"Hahahahaha" bukannya bersimpati dia malah tertawa terbahak mendengar ceritaku itu.
"Teruss.. yang mau kakak obrolin itu apa?? Jangan bikin aku makin penasaran deh.." ucapku ketika tawanya berhenti. Mendengarnya tertawa membuat moodku naik seketika.
"Hmm.. kamu percaya takdir???" tanyanya tiba-tiba dengan wajah seriusnya
"Kakak pernah nanya itu minggu lalu kalau gak salah kan?? Dan aku jawab setengahnya.. karena aku yakin setengah dari takdir itu adalah hasil kerja keras manusia itu sendiri.." jawabku sedikit terpesona dengan wajah seriusnya itu.
"Kalau begitu kamu percaya kalau kita bertemu kembali karena takdir? Dan kakak sedang mengusahakan takdir yang setengahnya itu??"
"Bertemu kembali?? Memangnya kita pernah bertemu sebelumnya?" aku kembali mengingat-ingat wajah laki-laki yang sering datang dan pergi dikehidupanku dari dulu hingga sekarang. Namun nihil aku tidak mengingat siapa pun dengan kriteria wajah semenarik kak Julian
"Kamu tidak mungkin mengingatnya... pertama kali kita bertemu kamu masih SD.. ingat perbedaan umur kita terpaut jauh.. dan aku maklum kalau kamu tidak mengingatnya.."
"SD?? Perbedaan umur kita kan 7 tahun.. berarti kalau aku SD, kakak SMA??"
"Kok kamu tahu perbedaan umur kita 7 tahun??" tanyanya heran mendengar penjelasanku
"Pak Yusuf yang ngasih tahu.." jawabku santai sambil sekali lagi menyeruput minumanku.
"Owh.. sepupu rese itu.. terus apa lagi yang kamu ketahui tentang aku??" kini dia malah bertanya padaku tentang info yang kutahu tentang dia
"Umur kakak yang 33 tahun, perbedaan umur kita yang 7 tahun, kerjaan kakak, ternyata Pak Yusuf sepupu kakak, dan kakak satu SMA sama Mas Kiki.. hanya itu.." jawabku sambil mengingat-ingat info yang kutahu
"Cukup fundamental ya info yang kamu tahu.. selain itu apa kamu gak berminta mencari tahu lebih dalam tentang aku??"
"Nanti saja.. sekali jalan.. lagi males stalking orang..hehehe" jawabanku sepertinya dianggap aneh oleh dia karena dia hanya menggelengkan kepalanya
"Terus.. maksud kakak kita bertemu kembali karena takdir itu apa??" lanjutku ketika tidak ada yang bersuara selama 5 menit
"Tentunya karena kamu tahu aku satu SMA dengan Kiki pastinya kamu tahu dong semasa SMA Kiki sering banget ngajak temennya main kerumah??"
"Yaa.. teruss apa hubungannyaa??" tanyaku mulai kesal dengan alur pembicaraan yang terlalu bertele-tele ini
"Masa kamu gak ingat siapa pun yang datang kerumah??" tanyanya balik dengan nada takjub
"Semasa SD aku sama sekali tidak tertarik dengan lingkup pertemanan Mas Kiki.. jadi mana aku tertarik sama siapa aja yang datang.."
"Jelas.. aku sering liat kamu didapur menyiapkan minuman untuk teman-teman Kiki padahal waktu itu kamu udah pake jasa pembantu, tapi kenapa kamu tetap menyiapkan minuman untuk kami??"
"Maksud kakak?? Kalau gak salah ingat aku menyiapkan minuman itu karena disuruh sama Mas Kiki yang kebetulan melihatku sedang membuat minuman untuk diriku sendiri.. jadi sekalian aja daripada nanti dia menyuruh-nyuruh disaat aku sedang santai.."
"Nahh itu adalah moment pertemuan pertama kita Rin.. aku membantumu membawa minuman itu ke ruang tamu agar kamu tidak repot.. ingat??"
"Tidak.. terlalu banyak ingatan tidak penting semasa SD, jadi mungkin moment pertemuan itu ikut terhapus dengan memori tidak penting lainnya.." jawabku santai sambil kembali menyeruput minumanku.
"Okelah.. aku gak bisa nyalahin kamu juga kalau kamu lupa sama moment itu.. tapi pertemuan ke sekian kalinya adalah ketika kamu masuk SMP dan mulai kerepotan dengan tugas-tugas MOS kamu. Kalau gak salah waktu itu aku sempat menjadi tukang ojekmu selama seminggu kamu ospek karena Kiki gak sempet dan kedua orang tua kamu juga sibuk.. ingat??"
"Hmmmm..." gumamku sambil mengingat moment mengerikan bernama MOS semasa SMP itu. Aku ingat kalau aku kerepotan karena tugas yang aneh-aneh dan keharusan datang pagi dan pulang telat sehingga sering kali meminta Mas Kiki untuk mengantar jemput. Namun bukannya dia yang melakukan tugasnya sebagai seorang kakak, dia malah menugaskan sahabatnya yang sering kulihat mengunjungi rumah.
"Ahhhh... kakak cowok tinggi berambut coklat kemerahan yang sering main kerumah itu?? Kok gak mirip ya??" tanyaku sambil memperhatikan fisiknya yang sekarang jauh berbeda dengan dia yang dulu sering berkunjung kerumah.
Cowok yang dulu sering berkunjung ke rumah memiliki postur tubuh tinggi kurus dengan rambut coklat kemerahan dan bermata coklat terang serta memiliki sifat penyayang dan lembut. Sedangkan cowok yang kini duduk didepanku memiliki postur tubuh yang berbeda jauh, untuk tinggi badannya mungkin lebih tinggi dari yang dulu karena aku yang notabenenya cewek berpostur tinggi hanya sebatas dagunya saja. Untuk ukuran tubuhnya kini dia memiliki tubuh yang tegap, tidak kurus seperti dulu. Untuk matanya, aku yang dirundung rasa penasaran langsung memajukan badanku sehingga mataku langsung menatap matanya dan menilai warna matanya, masih sama berwarna coklat terang yang memiliki aura penuh kasih dan menjanjikan kenyamanan disana. Aku langsung menarik tubuhku menajuhinya dan dengan sendirinya aku tersenyum karena masih menemukan jejak cowok yang sangat kukenal dulu.
つずく
YOU ARE READING
Arin's Love Story (END)
Teen Fiction'Teman abang? gak salah denger tuh? gue bakalan nikah sama temen abang gue sendiri?' hal itulah yang sering terlintas didalam pikiranku ketika mengetahui perjodohan tak berujung yang selalu dilakukan oleh abang dan ibuku. hingga akhirnya mereka memu...