Bag. 16

4.3K 183 1
                                    

"Mata kakak masih sama seperti yang dulu.. mata yang kusukai.. walaupun selebihnya jauh berbeda.. termasuk warna rambut kakak dan sifat kakak.." ucapku sambil sekali lagi menyeruput minumanku yang hampir habis.

"Kamu tahu.. kata-katamulah yang membuat kakak jatuh cinta padamu.. walaupun saat itu kamu masih SMP dan aku mengerti tidak mungkin aku menyukaimu yang bahkan kamu sendiri belum mengenal apa itu cinta, tetapi karena perhatian dan kata-katamulah aku berani menaruh hatiku padamu.. mungkin kamu tidak sadar, betapa berharganya pujianmu terhadap mataku dan warnanya yang terlalu cerah untuk ukuran orang Indonesia ini. Aku begitu mengagumimu yang begitu polos sehingga tidak berani untuk mendekatimu lebih dari sekedar teman abangmu.."

"Tapi ketika aku lulus dari SMA dan memutuskan untuk kuliah, disana aku bertaruh apakah perasaan ini akan tetap sama seperti dulu saat bertemu denganmu kembali atau kah ini hanya sekadar rasa sayang seorang abang kepada adiknya. Maka dari itu aku mengambil kuliah yang jauh dari gapaianmu maupun abangmu, dan memutuskan untuk kuliah diluar negeri. Namun sepertinya takdir berbicara lain, abangmu tetap saja memberikan informasi terkait dirimu di grub pertemanan kami, sehingga mau tak mau aku semakin merindukanmu. Selama kuliah aku selalu membayangkan sosokmu akan menjadi apa setelah dewasa. Seperti apa rupamu, seperti apa sifatmu, seperti apa perubahan fisik yang kau alami. Mungkin ini semua terdengar gila dan tidak waras, tapi percayalah aku selalu memimpikanmu didalam tidurku sampai terkadang aku merasa bahwa aku sudah tidak waras lagi."

"Rasa sayang ini semakin tumbuh Rin, aku sama sekali tidak bisa mencegahnya. Padahal lingkungan kuliahku dipenuhi oleh sosok gadis yang menawan, tapi aku sama sekali tidak tertarik pada mereka. Yang selalu terbayang padaku adalah kelakuan polosmu semasa SMP. Karena aku tidak berani untuk meminta fotomu ketika kamu SMA. Awalnya aku rasa ini hanya perasaan rindu terhadap adik yang telah lama tidak kutemui, namun ternyata aku salah, aku benar-benar telah mencintaimu bahkan sejak kamu masih SD. Kenapa aku tahu? Karena aku panik setengah mati ketika tahu kamu kecelakaan mobil saat SMA. Saat itu rasanya aku ingin meninggalkan semua urusanku dan langsung terbang ke Indonesia untuk menemuimu yang mungkin saat itu sedang kritis."

"Tapi Kiki melarangku. Dia bilang kamu dalam keadaan koma selama seminggu namun selain itu semuanya baik-baik saja. Saat aku bersikeras ingin mengunjungimu, Kiki malah membuatku tidak berkutik dengan alasannya. Dia bilang menginkanku untuk sukses dengan jalan pilihanku terlebih dahulu baru boleh menemuimu dan ketika menemuimu adalah saat aku akan melamarmu. Selain untuk moment itu Kiki tidak mengizinkanku untuk melihatmu, bahkan dia tidak memperbolehkanku untuk sekedar melihat fotomu. Kiki sadar aku sudah jatuh cinta padamu bahkan jauh sebelum aku sadar, dan dia tahu jalan terbaik untuk itu semua adalah pernikahan. Maka dari itu aku menyetujui syaratnya."

"Namun tak dapat kupungkiri ada kekhawatiran kalau kamu akan menikah dengan laki-laki lain yang kamu pilih, namun Kiki selalu berhasil membuatku percaya kalau kamu tidak akan mencintai laki-laki manapun. Entah apa yang membuatku percaya saat itu. Hanya bermodalkan kepercayaan seperti itu aku berusaha mati-matian agar dapat kembali ke Indonesia dan menemuimu. Dan akhirnya takdir kembali mempertemukan kita di pagi hari itu. Saat itu aku belum sadar kalau itu kamu, karena aku sama sekali tidak melihat jejak seorang Arin yang kukenal dulu. Saat kamu mempersilahkanku masuk dan bertemu dengan Kiki saat itu juga aku tahu kalau itu kamu. Dan ketika melihatmu telah siap dengan seragam kerjamu aku kembali jatuh cinta padamu. Makanya aku berani melamarmu malam itu juga. Dan aku sedikit marah karena kamu berhasil menipuku sore itu. Karena aku tidak pernah berpikir seorang Arin yang kukenal akan melakukan penipuan seperti itu.." jelasnya panjang lebar dengan nada suara selembut mungkin. Seperti sedang mengenang kenangan super manis dan indah yang sulit untuk dilupakan dan terlalu indah untuk dibagi. Aku sebagai pendengar hanya bisa mendengarkan dengan takjub dan bahagia. Entahlah rasanya mendengar kisah kak Julian membawa kebahagian yang mendalam didalam hatiku.

"Tadi kakak bilang terbang langsung ke Indonesia?? Memangnya kakak dimana saat itu??" tanyaku setelah beberapa menit kami terdiam

"Aku melanjutkan sekolah di Australia dan meneruskan perusahaan papa. Tapi setelah tahu syarat yang diajukan Kiki, aku berusaha mati-matian untuk diakui dan mendapatkan pengakuan dari kolega papa sehingga dipercayai untuk menjalankan cabang perusahaan yang ada di Indonesia tepatnya Jakarta."

"Hoooo..." gumamku semakin takjub. Ada ya orang yang bener-bener melakukan segala hal demi orang yang dicintainya.

"Kakak seperti stalker.. " ucapku lagi setengah ketakutan ketika semua ceritanya terserap diotakku yang sedikit lemot ini.

"Maaf yaa.. aku pun sebenarnya ingin melakukan semuanya sesuai urutannya.. tapi Kiki melarangku karena dia tahu kamu sekarang sudah menjadi muslimah yang berusaha taat pada aturan agama. Jadi dia memaksaku untuk bersabar. Walaupun itu sangat susah.." ucapnya dengan nada kesal

"Inilah pilihan hidupku kak.. sejak kecelakaan itu aku berusaha untuk menjadi umatnya yang patuh kembali. Aku hanya takut jika suatu saat aku dipanggil kehadapannya tidak dalam keadaan yang baik." Balasku dengan sedikit merenungkan kejadian kecelakaan maut yang hampir membuatku meninggal itu.

"Sampai sekarang kalau aku ingat tentang kejadian itu dan ketidakmampuanku, aku menjadi kesal dan sedih. Seolah-olah aku mengerti akan rasa sakitmu. Maaf kalau saat itu aku tidak bisa menjengukmu disaat semua teman-teman Kiki menjengukmu.." ucapnya dengan nada sedih

"Tenang aja kak.. semua itu sudah berlalu, luka yang kudapati juga sudah mulai memudar.. jadi aku baik-baik saja.." balasku dengan senyuman tercetak diwajahku.

Obrolan kami dikafe ini terhenti oleh adzan magrib. Kami memutuskan untuk menunaikan sholat magrib disalah satu masjid yang kami temui diperjalanan menuju tempat makan malam. Selesai sholat magrib kamu langsung melaju menuju sebuah restoran cepat saji karena aku bilang lagi ingin makan burger. Selama makan malam banyak hal yang kami obrolkan. Disatu sisi aku mulai membuka hati dan pikiranku kalau kak Julian tidaklah buruk untuk menjadi pasangan hidup. Ceritanya terdengar nyata dan seketika itu juga aku percaya pada ceritanya. Bagaimana aku sanggup menolak cinta seorang laki-laki yang sudah begitu banyak berkorban demi bertemu denganku? Tentunya aku tidak sekejam itu untuk mengabaikannya kembali.

Tapi sekali lagi, aku masih takut untuk membiarkannya menemui jati diriku yang lemah itu. Untuk sekarang sepertinya aku akan menyembunyikan hal tersebut. Sampai tiba waktunya aku benar-benar membuka pintu itu dan membiarkannya masuk kedalamnya.

"Baiklah Rin.. sampai bertemu besok ya.." ucapnya saat mematikan mesin mobil di depan kontrakanku

"Besok?? Memangnya besok ada agenda apaan kak??" tanyaku bingung sambil melepaskan seatbelt.

"Lah?? Kan katanya mau liat-liat perlengkapan rumah baru.." jawabnya dengan nada keheranan

"Kapan aku setujunya?? Perasaan aku gak ada setuju buat kegiatan besok kok.." balasku

"Yaudah kalau gitu ganti aja.. besok mau nonton??" tanyanya

"Pass dulu deh kak.. besok mau seharian dirumah.. soalnya kemarin-kemarin jadwal padat banget.. jadinya capek.." jawabku menolak ajakannya.

"Oke deh.. selamat istirahat ya.." ucapnya dan dia langsung melajukan mobilnya menjauhi kontrakan.

Maafkan aku kak. Bukan maksud ingin menolak ajakan kakak, tapi aku masih butuh waktu untuk menenangkan debaran jantung yang sudah tidak karuan sejak mendengar cerita kakak. Disatu sisi aku bahagia kak, tapi disatu sisi lagi ada sebuah perasaan yang tidak kuketahui yang membuatku khawatir, membuatku tidak tenang. Sebelum aku tahu apa nama perasaan ini aku masih harus menjaga jarak dengan kakak. Maaf ya kak.

つずく

Arin's Love Story (END)Where stories live. Discover now