Bag. 22

4.1K 151 0
                                    

Kami bagaikan perangko dan amplop, yang tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Saling membutuhkan tapi juga saling gengsian. Ketika butuh bantuan tidak ada yang mengatakannya langsung, tapi kami selalu tahu jika salah satu dari kami butuh bantuan. Dulu aku tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama, tapi sejak bertemu dengannya keyakinanku itu goyah. Entahlah mungkin dia yang biasanya disebut cinta pertama. Semua momen putih abu-abu kami jalani bersama, bermain bersama, belajar bersama, tinggi-tinggian nilai, berangkat menuju tempat les pun bersama. Seperti kebiasaanku ketika hujan, aku selalu menunggu angkot atau taksi lewat di bawah halte didepan sekolahku, dan dia seperti kebiasaannya juga selalu menjemputku dengan mobilnya disana. Entah sudah seperti rutinitas bagi kami berdua, aku menunggu dan dia datang. Tidak pernah sekalipun kami keluar dari sekolah secara bersamaan.

"Okeyyyy.. selesai Rin.." teriak Kak Rei dari balik kameranya dan teriakan itu juga yang menghentikan kilasan memori tersebut dari otakku.

"Okeeyyy.." sahutku dan berjalan menuju Kak Rian yang bergerombol dibelakang layar

"Abis ini kita ambil bagian Julian ya... Rin lu ganti baju gih..." suruh Kak Rian ketika aku sudah berkumpul bersama mereka

"Okeeyy.. tapi gue beli minum dulu yaa.. lupa bawa tadi dari rumah.." ucapku dan melangkah keluar taman

"Gue temenin.." sahut Kak Rian dan dia langsung menyusulku.

Kami berjalan dalam diam, tidak ada yang membuka percakapan. Awalnya aku ingin membuka percakapan,namun aku tidak dapat menemukan kalimat yang pas dan seru, hingga akhirnya suara keras tersebut kembali menyeretku kedalam mimpi terburukku sepanjang hidup.

CKIITTTT.... BRAK

Suara rem mendadak yang disusul oleh suara tabrakan menghentakku ke kejadian sekitar 7 tahun yang lalu. Sore hari itu sehabis hujan dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju tempat les, bersama dengan dia. Kami mengobrol panjang lebar dan tertawa seperti biasanya, hingga tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan melebihi rata-rata menuju arah mobil kami. Kalau saja saat itu dia tidak waspada mungkin aku dan dia sudah berada di dunia lain saat ini. Untung saja dia sanggup mengelak dari tabrakan maut tersebut, namun untuk menghindari hal tersebut dia membanting setir mobil ke arah kiri yang akhirnya menyebabkan kami menabrak pembatas jalan. Suara rem yang dipaksakan, suara tabrakan itu, dan rintihan panik seseorang disebelahku menjadi suara terakhir yang kudengar sebelum akhirnya aku pingsan.

"In.. Rin... Arinn.." seruan itu menyentakku dari mimpi buruk itu.

"Iya???" sahutku kaget.

"Sepertinya gak baik-baik aja nih.." ucap Kak Rian dan baru kusadari kalau badanku gemetar setelah dipeluk olehnya.

"Jangan takut.. semua baik-baik aja.. tidak ada yang terluka... semua baik-baik aja.." bisik Kak Rian ditelingaku dengan lembut. Tanpa bisa kucegah air mata itu mengalir begitu saja. Airmata ketakutan.

"Sebaiknya kita kembali ke studio dan menenangkan diri.. " ucapnya kembali setelah 3 menit memelukku

"Jangan dipaksakan.." katanya sambil menggendongku ala princess ketika aku tidak juga melangkahkan kakiku, refleks aku menggenggam bajunya dengan erat. Sepertinya trauma tersebut belum hilang sepenuhnya apalagi pagi ini kenangan masa SMA terus bergulir di otakku menyebabkan ingatan itu lebih kuat dari sebelumnya.

"Arin kenapa??" teriakan beberapa orang terdengar begitu kami tiba di set.

"Biar gue yang bawa dia kedalam.." ucap seseorang dan aku merasa aku berpindah tempat.

Tak lama kemudian aku bisa merasakan ketakutanku memudar. Begitu banyak hipnotherapy yang kuucapkan pada diriku sendiri agar tenang dan akhirnya berhasil setelah waktu yang tidak kutahu pastinya berapa lama. Kutarik napas berulang kali agar memastikan adrenalin itu kembali normal. Ketika kesadaranku sudah kembali normal barulah aku menyadari dimana aku duduk.

Arin's Love Story (END)Where stories live. Discover now