*****
Hanya sesuatu yang selalu mengitari pikiranku...
*****
Aku ingat beberapa hal yang selalu aku tanyakan kepada ayah. Kenapa aku harus menjadi baik? Apa yang akan kudapatkan bila aku menjadi baik? Bagaimana bila aku pada akhirnya akan mati bila terus menjadi baik?
Aku masih ingat saat itu ayah hanya terdiam dan menggenggam tanganku erat. Beberapa ruko telah kami lewati namun ayah masih bergeming. Melambungkan semua pertanyaanku ke udara.
Hingga langkah kami akhirnya terhenti di sebuah taman yang memiliki sebuah danau buatan disana. Ayah kemudian duduk terlebih dahulu dan membawa tubuh mungilku di atas pangkuannya. Mendekap tubuhku dan menumpukan kepalanya di atas bahu kananku.
"Kamu tau, gak Davka?" ujar ayah yang membuatku teralihkan sementara dari sebuah daun yang berada di genggamanku.
"Tau apa, yah?" tanyaku penasaran.
Ayah menunjuk sebuah lingkaran yang bersinar terang di atas langit. "Kamu tau itu apa?"
Aku menolehkan ke arah objek yang ditunjuk oleh ayah. Kedua mataku menyipit kala cahaya objek yang terlalu terang itu seakan menusuk kedua mataku. "Matahari, yah."
"Davka tau? Matahari harus apa biar dia bisa bersinar?"
Aku menggelengkan kepalaku. Jelas saja saat itu aku masih berusia 5 tahun dan aku tak begitu mengerti mengapa matahari bisa selalu bersinar seterang itu.
"Matahari butuh beberapa hal untuk menghasilkan cahaya itu. Dia butuh hidrogen dan helium."
"Dia dapet hidrogen dan helium itu dari mana yah?"
"Tentu saja dari dalam dirinya sendiri. Punya banyak hal itu."
Aku menoleh ke wajah ayah dengan mengernyitkan kedua alisku. "Bagaimana kalau habis?"
"Dia akan kehilangan tenaganya dan akan mati perlahan. Begitulah bintang bekerja. Matahari juga bintang."
"Kenapa dia mau bersinar, yah? Kan dia bisa sakit terus mati," sahutku.
Ayah memelukku lebih erat lagi. "Begitulah alam bekerja. Kalau matahari itu dengan egoisnya diam dan tidak bersinar, gak ada kehidupan di bumi ini. Gak ada sapi, gak ada kuda, gak ada ayah, gak ada bunda, gak ada——," Ayah menyolek ujung hidungku. "Kamu, Davka. Anak ayah yang nyebelin," lanjutnya sembari mengelitiki seluruh tubuhku. Dan kami sama-sama tertawa di taman yang sepi itu.
Sejak saat itu, aku selalu menanamkan pada diriku untuk selalu menjadi anak baik, menjadi seorang Davka yang rela bersinar dengan sangat terang tanpa peduli kalau suatu saat nanti aku akan mati, seperti bintang.
Hingga tiba-tiba ayah menjadi sosok yang sangat dingin. Saat itu satu hal yang kutahu. Tetap mencintai ayah. Karena hanya itu hal yang tersisa. Ayah berteriak di depan bunda, memaki bunda, dan memukul bunda.
Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat. Tapi bunda selalu tersenyum kepadaku.
Aku juga ingat saat itu aku tengah berbaring berbantalkan paha bunda dengan tangan kanannya yang mengelus puncak kepalaku. Saat itu ayah sedang pergi entah kemana dan menyisakan kami di rumah.
Hatiku terasa perih saat mengusap lembut sudut bibir bunda yang membiru. "Bunda."
"Iya, sayang?"
"Davka benci ayah."
Aku dapat melihat kedua mata bunda yang melebar saat aku mengatakan hal itu. Dapat kutangkap raut wajahnya gang menunjukkan kekecewaan.
"Davka sayangnya bunda gak boleh ngomong gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya ✔
Teen Fiction"Seharusnya lo gak begini. Seharusnya-" "Seharusnya seharusnya seharusnya. Berhenti bilang seharusnya karena gak semua hal berjalan sesuai logika lo." *** [Completed] Higest Rank #193 (5 Desember 2017)