Alam, Anya dan Malam

73 16 22
                                    

Sesungguhnya malam ini tidak bisa lebih sempurna lagi. Alam mengajakku menonton secret stage Mawar saja sudah lebih dari cukup. Maksudku, what could top that?

Alam dan Martin pun membawaku naik ke arah Lembang. Aku yang sudah di-book olehnya malam itu hanya bisa duduk manis di atas Martin tanpa protes. Hanya mencoba menahan dingin yang semakin lama semakin menusuk kulitku yang hanya dibalut hoodie tipis.

Waktu sudah lewat tengah malam ketika Alam berhenti untuk parkir sebuah warung kecil di pinggir jalan.

"Ngopi dulu yuk" Alam melepas helmnya dan menggandengku ke dalam. Aku tidak tahu ada apa dengan dia hari ini yang terus-terusan menyeret tanganku tanpa permisi dahulu.

Alam membawaku ke taman belakang warung itu yang menyuguhkan pemandangan malam Bandung.

Kami duduk di kursi plastik kecil yang berjejer terpisah meja plastik setinggi betis orang dewasa di pinggir tebing yang dipagari bambu dan karung berisi tanah.

Ditemani oleh satu piring pisang goreng, kopi hitam dan udara dingin khas Lembang, aku menggosokan kedua tanganku.

Tiba-tiba Alam berdiri melepas jaket jeansnya lalu memakaikannya di sekitar pundakku. Sementara badannya sendiri hanya terbalut kaus tipis.

"Eh gapapa kak gak usah. Nanti Kak Alam malah kedinginan" kataku menolak, khawatir dia sendiri kedinginan dan jatuh sakit. Alih-alih menjawabku dia malah tersenyum.

"So funny"

Aku yang kebingungan hanya menatapnya aneh. Maksudku, jawabannya tidak ada hubungannya dengan yang aku tanyakan, kan?

"Pertama kali Wira bawa lo ke studio. I can feel that you are something else" Alam membuka mulutnya lalu berhenti sebelum melanjutkan lagi.

"Saat Raya dan gue mulai menjauh dan akhirnya, yaa- kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya" Alam membentangkan tangannya kemudian aku mengangguk pelan mencoba untuk menerawang arah percakapan ini.

"Satu hal yang kamu gak tau Nya, melihat kamu di tertawa, bercanda sama Wira setiap hari... anehnya gue merasa-"

Alam menggeleng dan tertawa kecil beberapa kali lalu menundukan kepalanya. Sedetik kemudian aku mendapatinya kepalanya menghadap ke langit dan bibirnya berdecak tidak percaya.

"What am I doing?" katanya, sambil memandang lurus ke mataku dengan tatapan penasaran.

Jujur, saat ini aku tidak tahu harus berkata apa. Sebagian dari diriku merasa kaget setengah mati. Tetapi bagian lain dari diriku merasa lega karena aku merasa bahwa aku akan segera mencapai akhir dari permainan ini dengan Alam yang ia mulai semenjak kemunculan Raya kembali.

"If this is your idea of a dinner, I wondered how exactly you won Raya?" candaku sambil mengeratkan jaket Alam di badanku dan tersenyum jenaka.

Anehnya Alam tidak menanggapi candaanku alih-alih wajahnya bergerak lebih dekat ke arahku. Aku bisa merasakan keraguannya saat dia memundurkan kembali wajahnya kemudian tersenyum kecut.

"Oh well- I have my own moves" balasnya. Disitu aku merasa dia menahan diri untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Namun kutepis pikiran itu.

"Good for you" balasku sambil menyeruput kopiku.

"Want to see it?" balas Alam dengan ekspresi menantang.

Aku mengangkat bahuku.

"I'll look straight into her eyes" Alam menatap mataku lekat-lekat.

"I'll just stay like this for a couple more seconds until-" Karena tidak nyaman dengan Alam yang menatapku -kurasa sampai seperti bola matanya akan keluar- maka aku mengalihkan pandanganku.

"Until she looks away-" lanjutnya dengan nada penuh kemenangan.

"And then I'll say.

I have imagined this scene in my head over and over again"

Aku terdiam kembali menatap matanya ragu-ragu. Kudapati kepalanya sedang mendongak ke langit malam bertabur bintang.

"She'll ask,.." Alam berhenti sejenak.

Aku yang sudah tidak sabar akhirnya membuka mulutku.

"What?"kataku dan Alam bersamaan.

Ia tersenyum seakan dia tahu kalau aku akan menyerah dan bertanya kepadanya.

"And I'll answer you and the view"

Alam berhenti berbicara sebentar lalu menatapku lebih lekat dari sebelumnya.

"I love it

....

....

I love you"

Aku terkesiap secara tidak sadar. Walaupun aku tahu posisi kami hanya bersimulasi tetapi kata-kata Alam rasanya sangat nyata. Aku menepiskan semua memori bercampur emosi yang berputar pesat layaknya sebuah film yang dimainkan dengan kecepatan berkali-kali lipat lebih cepat di kepalaku. Alam yang sedang bekerja dengan kayu di studionya tiap Sabtu pagi, Alam yang selalu mengutak-atik isi kotak perkakasnya, Alam tampil dengan bass kesayangannya di pangkuan setiap Sabtu malam di kafe itu, Alam dengan Raya-Alam dengan Raya-Alam dengan Raya--

Alam diseret oleh Swara kemana-mana karena Raya, tatapan mata Alam yang lembut setiap kali melihat Raya, senyum manis Raya untuk Alam, tawa Raya dan Alam yang melebur menjadi satu dari lantai tiga, dua-tiga kali ketika Sabtu plus aku dan Raya menonton di bioksop alternatif tengah malam setelah Sabtu, Raya dan Alam selalu memilih tempat duduk bersebelahan; tangan melekat satu sama lain; kepala Raya yang bersandar di dada Alam, dan... betapa aku berharap aku ada di tempat Raya.

Layaknya badai yang menyerang tenggorokanku, aku tidak dapat mengeluarkan satu suara pun.

"I love you Nya"

Wuss, satu pusaran badai kembali menerjang tenggorokanku.

"Apa sih kak!" tepisku spontan saat aku menemukan suaraku.

"Oh, Anya, this is not one of my moves" wajah Alam bergerak lebih dekat ke wajahku.

Saat itu dunia rasanya berhenti. Wajah Alam semakin mendekat menutup jarak di antaraku dengannya. Sekujur tubuhku kaku tidak tahu harus merespon bagaimana.

Hembusan hangat nafas Alam menyapu pipiku. Ingin rasanya aku benar-benar menghentikan waktu pada saat itu. Kehangantannya menjalar seperti listrik menuju tengkukku lalu punggungku. Tangan Alam menyentuh belakang leherku dan bibir kami pun bertemu. Kurasakan sedikit menthol di bibirnya yang mungkin berasal dari rokoknya. It was sweet and not rushed. Seperti sesuatu yang ingin dia ingin lakukan sejak lama.

Akhirnya Alam milikku. Bukan si keparat Raya itu.

Itulah yang ada di benakku kala itu. Pengakuan Alam yang begitu mendadak dan tidak kusangka tapi sungguh-sungguh kunantikan.

Egois? Mungkin iya. Pathetic? Lebih mungkin lagi. Jahat?

Ah-Jika kalian tahu cerita bagaimana sebenarnya Alam berpisah dengan Raya mungkin kalian akan berpikir berbeda lagi.

Tapi sudahlah masa bodoh! Semua hal ini sudah tidak masuk akal untukku

"I am sorry" katanya setelah bibir kami berpisah.

"Why would you?"

"I should've asked"

"Lam-

It's okay,


I do too"

Sabtu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang