By : Someone who desperately needs help

19 0 0
                                    


Dikala malam menjemput,

Dan kenangan membaur bersama angin,

Tubuhku terseok dalam lautan darah,

Melepaskan sang pembawa kehidupan,

Jiwaku tenggelam, terhanyut dalam lautan air mata.

Aku memang bukanlah sesosok yang mereka kira.

Aku hanyalah wanita biasa yang tidak menyukai riasan dan terlihat anggun, melainkan aku lebih memilih topeng untuk menutupi mukaku yang sudah lesuh, tercabik-cabik oleh duri-duri kehidupan yang keras.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa"

"Satu kalimat berjuta makna ya"

"Sungguh, aku hanya ingin diam"

"Diam? Lihat hatimu, sampai mengering itu lukanya"

"Mau bagaimana lagi? Sudah kucoba buat menyembuhkan, tapi lukanya makin besar saja"

"Berubahlah"

"Letih, aku udah capek diinjak-injak. Aku sudah capek terluka, aku sudah capek untuk mencintai"

"Kau capek diinjak-injak? Kalau begitu tunjukkan ke mereka bahwa kau bukan budak"

"Ku tanya balik, apa kamu pernah ngerasain hal yang sama? Tau rasanya di perbudak? Tau tidak rasanya dirantai? Tau tidak rasanya di kurung dan ditinggal pergi entah kemana, hingga pemilikmu datang kembali hanya untuk di cambuk, melepas amarahnya. Kau tau rasanya menunggu hal yang tak pasti? Kau tau rasanya ditusuk berkali-kali hingga kau pasrah dengan keadaanmu sambil berharap kau mati? Apa kamu tau rasanya itu semua? Ketika dikecewakan, ketika hari spesialmu kau di telantarkan, ketika kau berbahagia kau di lempar dari jurang hingga kau tenggelam dalam lautan darah? Ketika kau ingin tertidur namun tidak bisa, karena bisikan-bisikan omong kosong yang mencabik-cabik harga dirimu? Ketika kau dijambak harga dirinya di depan semua orang?"

"..Tidak"

"Aku tidak menyesal dengan perbuatan mereka, aku mengakui kekalahan, aku mengakui aku sangat menyerah dengan keadaan, aku tidak bisa melawan, aku hanya bisa menjadi wanita yang kau lihat sekarang ini"

Aku memandang dengan penuh makna sekali lagi, menatap kedalam matanya, berbicara sejuta makna melewati darah yang mengalir dari hatiku. Aku berdiri dengan penuh perjuangan, dirinya menatap bingung, seakan-akan bertanya untuk apa aku berdiri kembali dengan keadaanku yang sangat lemah dan rapuh. Terseok-seok aku melangkah, "Aku pamit duluan ya" "Mau kemana?" "Mau menjemput teman" "Teman?"

"Iya, temanku yang sedang beristirahat"

"Bagaimana caranya kamu menjemput temanmu itu?"

"Titip salamku kepada sang rembulan, tolong bilang terima kasih atas kenangan dan dampingannya, maaf bila aku selalu merepotkannya"

Aku melangkah dan terus melangkah, meninggalkan dia dalam tanda tanya.

Aku adalah sahabat rembulan,

Aku berteman dekat dengan kegelapan,

Musuhku adalah mentari,

Aku yang bermandikan merah, aku yang berbalut biru, aku yang bermata hitam

Izinkan aku pergi wahai kekasihku.

Aku menjulurkan tanganku kepada temanku yang berjubah hitam

Aku datang, aku menjemputmu

Izinkan aku memelukmu, bawa aku bersamamu

Bersatu dalam angin, melepas kenanganku

Tangan hitam memegangku, tersenyum dia, menyambut kedatanganku

"Bawa aku jauh.. Jauh ke kegelapan yang sejati"

Menjemput Sang Kekasih JiwaWhere stories live. Discover now