Prolog

188 11 0
                                    


Pandangan anak itu mulai mengabur. Sejak tadi kaki dan paru-parunya dipaksa bekerja keras. Langkahnya pun mulai gontai. Jalan sempit di antara gedung-gedung bertingkat kumuh, membentuk lorong yang makin terlihat menyempit dalam pandangannya. Anak berusia sekitar 14 tahun itu meremas dadanya sambil terus berlari. Jika ditanya, jujur... dia sudah tidak sanggup lagi. Paru-parunya seperti akan meledak sebentar lagi, tapi dia tidak bisa berhenti. Suara langkah-langkah kaki masih membayang di belakangnya.

Dua cabang jalan menghentikan langkahnya sejenak, mungkin dua detik. Mengikuti insting, anak laki-laki itu memilih berbelok ke arah kanan. Matanya melebar begitu dilihatnya jalan di depannya ternyata berundak panjang. Kau akan mati sebentar lagi, begitu kata batinnya. Bodoh, instingmu itu selalu salah. Dia ingin berbalik, tapi langkah-langkah itu terdengar mengikutinya.

Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia bukan anak cengeng, ayahnya tidak pernah mengajarkannya begitu. Tapi sungguh, untuk kali ini saja... dia sangat ingin menangis. Sambil tertatih ia kembali memaksa seluruh anggota tubuhnya bergerak. Mendaki satu per satu undakan di depannya. Benar kata batinnya, dia akan segera mati. Kehabisan napas atau tertangkap oleh orang-orang di belakang sana, dibunuh lalu organ-organ tubuhnya diambil dan dijual di pasar gelap.

Aku akan mati...

Aku akan mati...

Aku akan mati...

"AKH—Hmmpp..." atau opsi kematiannya yang ketiga adalah... mati di tangan penculik lain.

Anak lelaki tersebut mencoba berontak sementara tubuhnya terus diseret ke belakang. Mulutnya dibekap sebuah tangan besar yang terasa begitu... tunggu, halus? Dia tidak bisa berteriak. Ah, tapi percuma saja jika dia berteriak. Siapa yang akan menolongnya? Ini kawasan kumuh yang terkenal dihuni penjahat-penjahat pinggiran kota Seoul. Lagi pula gerombolan orang yang mengejarnya pasti akan mendengar. Mati saja kau!

"Emphh..."

"Ssttt... diam. Mereka semakin dekat."

Rontaan bocah remaja awal itu sontak terhenti. Suara itu berbisik tepat di samping telinganya. Suara bariton yang terdengar lembut. Tubuhnya melemah perlahan, membiarkan sosok itu merengkuh tubuhnya dari belakang. Membiarkan pemilik suara bariton lembut itu menggiringnya, hingga keduanya meringkuk—berjongkok di sela sempit bawah undakan. Gelap dan terasa lembab di sana.

Di atas tangga terdengar bunyi kaki-kaki berderap, berisik sekali. Apa mereka memakai alas sepatu kuda? Sempat-sempatnya bocah dalam rengkuhan itu berpikir begitu. Biarkan saja. Mungkin itu hiburan sebelum dia mati. Ya, setidaknya kini dia dapat pencerahan akan mati karena paru-parunya meledak. Karena rasanya sudah benar-benar sesak dan panas di dalam sana.

Dengungan orang-orang di atas semakin menjauh. Begitu pun derap-derap 'kaki kuda' itu makin tak terdengar. Namun sesekali masih ada teriakan "Ke sana" dan "Ke sini". Tampaknya mereka belum menyerah untuk menemukan si bocah incaran.

"Aku akan melepas tanganku, tapi janji jangan berteriak," bariton lembut itu kembali bersuara, mengajukan penawaran.

Tanpa pikir panjang bocah itu mengangguk. Perlahan tangan yang membekap mulutnya terlepas. Ia tolehkan kepalanya ke samping kiri, seketika netranya menangkap dua bentuk mata kucing paling indah selama hayat penglihatannya. Di bibir sosok itu terbentuk seulas senyum. Oh, tidak. Malam ini dia benar-benar akan mati.

Apa malaikat maut memang semanis ini? tanya batinnya sebelum semuanya berubah semakin gelap.

***

"Hei, kau sudah sadar?"

Dia mencoba membuka mata. Ah, silau. Matanya lantas memicing, berusaha menyesuaikan retinanya dengan cahaya yang menerpa.

"Kau bisa mendengar suaraku?"

Apa dia sudah mati? Sejak tadi ia terus saja mendengar suara bariton lembut itu meski samar-samar. Itu suara malaikat manis—ah, maksudnya malaikat maut, 'kan?

"Baiklah, aku tinggal pencet tombol ini dan mereka akan datang."

Bahkan kini ia bisa mendengar jelas suara malaikat man—maut itu. Pasti ia sedang memanggil teman-teman sesama malaikat maut. Tuhan benar-benar tidak adil. Diusia yang belum genap 14 tahun, ia sudah harus bertemu dengan malaikat maut-manis berseragam sekolah. Ia bahkan belum sempat merasakan mimpi basah. Oke, tunggu sebentar...

Apa malaikat maut memakai seragam sekolah saat bertugas?

"Apa aku sudah mati?" pertanyaan mainstream itu keluar juga dari mulutnya.

"Apa?"

"Kau malaikat?"

Yang ditanya malah mengekeh pelan, membuat bulu-bulu roma si bocah meremang. Bukan, bukan. Bukan karena takut. Tapi... bagaimana ya menjelaskannya? Intinya, dia ingin mendengar suara kekehan yang menggetarkan itu lagi.

Malaikat berseragam sekolah itu meletakkan sesuatu di telapak tangan si bocah lelaki. "Ini jimat penyelamatku, kau saja yang simpan. Jaga baik-baik, oke? Aku harus pulang sekarang, kakakku sudah menunggu. Sebentar lagi dokter datang. Aku juga sudah membuat laporan ke kantor polisi, mereka bilang akan menghubungi orang tuamu. Ada yang membuat laporan kehilangan anak dan ciri-cirinya sama sepertimu."

Si bocah tak berkedip mendengar penjelasan panjang sang 'Malaikat'. Namun bukan kalimat demi kalimat sosok itu yang menjadi fokusnya, melainkan suara yang keluar dari pita suaranya. Juga kesibukan di sela-sela ia memberikan penjelasan, gerakan mata kucingnya, serta senyum yang sesekali muncul dari bibirnya. Malaikat-nya itu sudah menggunakan hoodie (kedodoran) dan menggendong sebuah ransel. Mengambil beberapa langkah ke arah pintu, ia lalu berhenti.

"Ah... dan kau belum mati. Aku juga bukan malaikat." Dia menggeser membuka daun pintunya, "Selamat tinggal, Adik kecil," dan akhirnya ia benar-benar menghilang di balik pintu.

Barulah si bocah mengedipkan matanya, seperti baru tersadar dari keterpanaan. Dan memang begitulah kenyataannya. Sebelah tangannya yang menggenggam sesuatu terangkat. Menampakkan seutas kalung tali berwarna hitam melilit di telapak tangannya. Ada bandul perak berbentuk malaikat bersayap tergantung di sana.

Benar. Si suara bariton lembut itu memang bukan malaikat maut. Dia adalah malaikat penyelamat. Malaikat penyelamatnya. Malaikat-nya.

"Terima kasih. Aku berjanji akan menjaganya dengan baik dan mengembalikannya padamu. Tunggu saja, kita akan bertemu lagi. Suatu saat nanti... Cheonsa Hyung."

***


Thanks,

Love,


MissCho13

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STIGMA: The Broken Angel (Bangtan Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang