Sudah dua tahun berlalu sejak kepergian Rabu dari kota ia dibesarkan. Selama dua tahun itu Rabu mencoba untuk mecari jati dirinya dan juga berusaha untuk menyembuhkan patah hatinya. Dua tahun berkelana ke tempat-tempat yang ia inginkan membuka pandangannya mengenai banyak hal. Hidup sebagai seseorang yang tidak dikenal banyak orang ternyata menyenangkan. Tidak ada kamera yang terus mengikutinya kemana pun ia pergi. Untuk pertama kalinya, setelah berkarir selama sepuluh tahun di dunia hiburan, Rabu dapat merasakan sebuah kebebasan untuk melakukan apapun yang ia inginkan dengan hidupnya.
"Rabu!"
Suara teriakan seorang laki-laki membuyarkan Rabu dari lamunannya. Tanpa disadari ia Sudah sampai di bagian luar bandara. Laki-laki itu melambaikan tangannya agar menarik perhatian Rabu. Seulas senyum terkembang di wajahnya, walaupun sudah jelas senyuman itu tertutup masker yang ia gunakan. Gadis itu segera mempercepat langkahnya untuk mencapai tempat laki-laki itu berdiri.
"Lama tidak berjumpa," sambut Rabu sambil mengulurkan tangan untuk memeluk laki-laki di hadapannya. Tanpa menunggu lagi, keduanya segera beranjak dari tempat itu.
Sesampainya di mobil, Rabu segera melepaskan kacamata dan masker yang menutupi wajahnya. Untuk memecah keheningan, Rayi menyalakan radio. Suara familiar seorang laki-laki segera menyapa pendengaran keduanya. Setelah menyadari suara siapa, Rayi segera mematikan radio. Rabu masih bergeming, tidak memberikan reaksi apapun.
"Kenapa dimatiin radionya?" Tanya Rabu setelah beberapa saat.
Rayi menatap gadis asuhannya dengan tatapan heran namun tidak berkata banyak. Ia hanya menyaksikan jemari lentik itu menyalakan kembali radio dan suara laki-laki itu kembali memenuhi mobil. Setelah memastikan tidak ada jawaban dari Rayi, gadis itu menutup matanya, mengingat sosok pemilik suara yang menjadi alasannya pergi meninggalkan kota ini.