[3] "Harus ya, Renan?"

1.4K 152 18
                                    

vote dulu.
komennya jangan lupa.

👽👽

Renan bangkit dari posisinya. Meninggalkan Alya yang masih saja terdiam. Lelaki itu memilih pergi untuk memastikan keadaan Nadia.

“Lah, ngapain lo disini, Re?"

Lagi-lagi Renan harus menelan kenyataan pahit. Ia baru sampai di kelas pujaan hatinya itu. Namun Abi juga ada disana. Dengan tangan yang sedang mengusap lembut kepala pacarnya.

“Gue cuma mastiin Kak Nadia nggak kenapa-napa. Nanti malah Eja kena imbasnya dari lo, Bang." bohongnya. Tentu saja. Ia tahu betul kalau Abi bukan seseorang yang suka mencampuri masalah orang lain.

“Widih, santai... Lagian ini salah Nadia juga kok. Pake acara nampol si Devina segala, " sindir Abimanyu. Matanya menatap geli sang pacar yang sedang cemberut.

“Ih, Abi... Aku tuh nggak terima aja kalo Laura di jambak sama Devina." jelas gadis itu. Abi mengangguk paham sebagai balasan.

“Iya, Sayang... Tapi kamu tau ‘kan gimana Devina? Aku kalau lawan dia juga nggak berani." ujar Abi sambil terkekeh.

Nadia makin menekuk wajahnya. Hal itu membuat Abi menarik pelan sebelah pipi gadis itu.

Sudah, sudah. Renan sudah muak. Ia bahkan ingin muntah. Lelaki itu berpamitan pada dua sejoli yang sedang melakukan drama tersebut. Kemudian melangkah pergi.

Ketika melewati ruang musik, Re menghentikan niatnya untuk kembali ke kelas. Isak tangis seorang gadis mengetuk hatinya tiba-tiba. Ia membuka pintu ruangan tersebut dengan hati-hati. Jelas sekali kalau ia melihat Alya disana. Yah, Hanindita Alya. Gadis yang tak pernah berhenti mengejarnya.

Gue harap lo bukan nangis karena gue, Ay... batinnya.

Re mendorong tubuhnya untuk masuk. Mendekati gadis yang sedang duduk didepan piano besar milik sekolah.

Lo kenapa? tanyanya dalam hati.

“Masih ada mapel, jangan bolos." tegur Renan kemudian.

Alya menarik ujung kain kerudungnya untuk menghapus sisa-sisa air mata. Lalu menoleh ke arah Re dengan senyum lebar. Well, gadis itu pintar sekali menebar kepura-puraan.

“Iya, Re... Gue balik ke kelas kok sebentar lagi." balasnya. Tentu dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya.

“Oh, oke. Gue duluan."

--

Sudah dua jam ini Renan mengikuti mata pelajaran yang sangat membosankan baginya. Kali ini dirinya sendirian. Bara sedang menghilang tak tahu kemana. Sedangkan Majendra masih sibuk mengurus Devina di UKS. Ia mengarahkan pandangan ke barisan depan. Satu-satunya gadis berjilbab di kelas itu belum juga muncul. Padahal Renan dengan jelas mendengar kalau Alya akan segera masuk kelas.

“Renan!"

“Re!"

Duk

“Aduh!"

Sebuah penghapus papan mendarat mulus mengenai kepala. Membuat sang empunya meringis kesakitan. Pelakunya tak lain adalah guru Sejarahnya sendiri. Lelaki paruh baya itu menatap Renan galak.

“Sakit tahu, Pak!"

Pak Mukhlis mendecih. Kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Lebih sakit saya! Kamu ini saya panggil malah sok budek!"

Re menelan ludah kasar. Ia tertawa pelan sebagai jawaban. “Bapak manggilnya nggak ikhlas sih. Makanya saya nggak dengar."

“Kamu itu di kasih tahu gurunya malah ngelawan ya!"

MBB [3] : Bad Boy For a Good GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang