Part 28

3.4K 162 3
                                    

Bahkan, cinta mampu membuat kita berlaku konyol. Berteriak, membuat keributan di tempat tenang, misalnya.

Jo segera menyalakan motornya setelah mendapat sebuah pesan singkat dari Natty sesaat sebelum perempuan itu terbang ke luar kota. Menggunakan kecepatan penuh di Sabtu yang masih menunjukkan pukul lima pagi.

Helm yang sedari tadi terpakai ia lepas dan sangkutkan di atas kaca spion. Mengunci ganda motor besar berwarna biru tua yang setia menemaninya selama beberapa tahun belakangan.

Kakinya melangkah lebar-lebar menuju pintu masuk. Tergesa-gesa, membuat para pelayan was-was memerhatikan gerakannya. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya. Baru kali ini, ia merasa gugup hanya untuk menjemput sang dambaan hati.

"Hellen...."

Meski pelan, si pemilik nama masih bisa mengenalinya dengan jelas. Hellen terkesiap. Mengusap mukanya yang sudah kusut sebab tertidur beberapa menit di kafe setelah berhari-hari melawan kantuk. Matanya juga sembap, dan Jo tidak yakin penyebabnya adalah orang lain.

Jejakan kakinya tertatih. Seolah, tubuh gagah lelaki itu bisa roboh kapan saja. Sorot matanya meredup. Seolah, satu perempuan yang duduk tak jauh darinya adalah titik terlemah dalam hidupnya. Napasnya berlomba-lomba, seolah udara yang dihirup tidak mampu membuatnya bernapas lega.

Perlahan, ia mendekat. Mengambil duduk tepat berhadapan dengan Hellen yang kini membuang muka.

"Aku nyari kamu ke mana-mana. Aku pikir... kita gak akan ketemu lagi."

Hellen mengambil sebuah headset dari saku celananya. Memasangnya, menutup kedua telinganya untuk tidak mendengar apa pun perkataan dari Jo. Bukankah mendengar pun semua akan berakhir sia-sia?

Lalu, ia menyetel lagu rock dari band terkenal Amerika yang ia bahkan tidak mengetahui siapa penyanyinya. Menguatkan suara sampai batas maksimum.

Jo berdecak. Kepalanya berputar-putar, mencari alasan terlogis, mencari pembahasan yang tidak sensitif, serta tidak memperburuk keadaan.

"Aku dan Natty pernah pacaran. Tapi kita udah lama putus, sampai akhirnya Natty datang lagi setelah kamu ada di hidupku."

Jo tidak perlu menceritakan kisah cintanya dengan Natty 'kan?

"Ternyata, kedatangan dia menghancurkan semuanya. Mama sesuka hati menjodohkan kita, karena berpikir kalo kita masih saling cinta."

Hellen mendengarnya. Musik sekeras apa pun, meski sudah memekakan telinganya, tetap memberikan ruang yang luas bagi suara pelan Jo. Bahkan, setiap katanya terdengar dengan jelas. Mereka menerobos daun telinga tanpa diminta.

"Tapi aku gak tau, kalo semua bakalan berakhir gini. Dengan kamu kabur-kaburan dari rumah, pergi entah ke mana, sampe buat aku, Chelsea, Bu Emi temen-temen dan semua asisten rumah tangga kamu khawatir."

Apa nyokap bokap gak khawatir juga?

Hellen melebarkan matanya sejenak atas penuturan Jo yang satu ini. Terperangah sekali. Apa ia tidak salah mendengar? Teman-temannya menaruk rasa khawatir kepadanya? Atau... semua hanya kemunafikan belaka? Dan mengenai orang tuanya... ia pasrah.

Hellen menggelengkan kepalanya. Tidak, ia pasti salah dengar. Tidak mungkin, orang-orang yang selalu menyindirnya, mengaku membencinya, bahkan ingin mengusirnya dari kelas justru mengkhawatirkannya.

"Kadang, sesuatu terasa mustahil hanya karena sudut pandang yang berbeda. Mereka benar-benar peduli sama kamu," tutur Jo.

Hellen memalingkan wajah. Kali ini memberanikan diri menatap manik mata Jo dengan tajam. "Gak penting. Gue gak butuh mereka. Gue gak butuh lo. Gue bisa hidup tanpa kalian."

Jo menegak ludahnya. Setelah berparagraf kalimat yang ia ucapkan, bujuk rayu yang ia haturkan, Hellen membalasnya dengan ucapan sinis yang amat menyesakkan.

"Gue ke sini buat cari ketenangan, bukan keributan." Ucapan Hellen membuat keduanya bernostalgia kala Jo tidak sengaja menemukan perempuan itu menyesap rokoknya di sebuah rooftop. Pertemuan yang tidak disengaja, yang menjadi awal benih-benih cinta tumbuh.

Jo tersentak setelah ia mengedipkan matanya, sedetik kemudian Hellen sudah tidak ada di hadapannya. Lalu, dengan gesit ia berlari menuju Hellen yang sudah berdiri tepat di pintu masuk.

Kaki jenjangnya berfungsi baik untuk saat seperti ini. Dengan cepat, Jo mampu menghalangi Hellen untuk keluar dari ruangan. Beberapa pengunjung yang hendak masuk pun terpaksa beralih ke pintu lain. Para karyawan yang sedang menghidangkan makanan juga menghentikan gerakannya. Menunggu adegan drama yang mungkin, bisa menjadi hiburan di pagi hari.

"Awas!"

"Gak mau."

"Lo maunya apa sih?!"

"LO! GUE MAUNYA LO, HELLEN!"

Hellen terperangah. Jo benar-benar sudah gila. Berteriak di depan umum, hingga ruangan menjadi senyap. Seolah, hanya mereka berdua yang boleh berbicara.

"Cowok gila!"

Jo tertawa sarkastik. "Gue gila karna lo. Apa lo mau tanggung jawab?"

Tanpa sadar, Jo telah mengganti sapaannya untuk Hellen. Terkesan tidak tahan lagi dengan sikap keras kepala pacarnya. Eh... apakah mereka masih disebut pacaran?

"Sinting! Mck. Lo tau gak sih kita ada di depan umum!" Hellen berdecak. Habis sudah kesabarannya.

Tak lama kemudian, datang dua orang berbadan tegap. Menghampiri mereka dengan wajah garang. Mengenakan seragam berwarna putih-biru lengkap dengan topi berwarna biru.

"Ada apa ini ribut-ribut?"

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

"Ini semua gara-gara lo! Gila, baru kali ini gue masuk kantor polisi."

Jo tertawa. Mengacak rambut Hellen sampai berantakan, namun Hellen segera menepisnya.

"Ketawa sekali lagi gue tendang lo ke Bangkok!" ucapnya kesal. Berpindah tempat, menjauh dari Jo.

Jo meredakan tawanya. "Gue rela dipenjara, asal sama lo."

Hellen berdecak. Meninggalkan Jo dari ruangan kecil yang hanya berisikan sofa kecil, meja serta dua gelas air putih tersebut. Menuju meja salah seorang polisi yang tadi berbicara serta menghakiminya.

"Kapan kita bisa keluar dari sini, Pak?"

Polisi berkumis tipis tersebut menunjuk-nunjuk dagunya. "Oh... nanti. Kalau orang tua kalian datang."

Orang tua?

"Setau saya ini bukan tindak kriminal, kenapa harus pake orang tua segala sih?!" tanya Hellen kesal.

"Emang gak mau mama sama papa datang?"

Hellen mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Sepasang suami istri bergandengan tangan memasuki ruangan.

"Ma---"

Ucapannya terhenti. Rasanya, lidah terlalu kelu untuk mengucapkan satu kata pun. Tidak ada lagi mama yang memakai baju ketat, yang ada hanyalah wanita dewasa berpakaian formal dan longgar. Tidak ada guratan amarah papanya, yang ada hanyalah seorang pria yang tersenyum ramah.

Tuhan, apa ia sedang bermimpi?

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang