Part 30

7K 239 8
                                    

Every story always end with a happy ending. If it's not a happy thing, then it's not end yet. - Anonymous.

Orang-orang berlalu lalang menikmati berbagai macam makanan yang dihidangkan di atas meja. Nasi beserta lauk, sup kepiting, kebab, sandwich, serta bermacam-macam menu makanan lainnya sungguh memabukkan siapa pun yang berada di pesta itu.

Tidak peduli dari kalangan mana, mereka terus saja mengambil setiap menu yang belum dicicipi. Bahkan, tidak sedikit yang menambah sampai berkali-kali. Bukannya marah, sang pemilik pesta justru tertawa lebar dan mempersilakan para undangan untuk menikmati sepuasnya.

Namun, dua insan yang kini bertatapan cukup lama tampaknya tidak tertarik sama sekali dengan suasana pesta. Seolah, dunianya hanyalah orang yang ada di hadapannya sekarang. Seolah, dunia hanya milik berdua, yang lain ngontrak.

"Om Mubdi ngundang aku dan keluarga. Tuh, mereka di sana." Jo menunjuk orang tuanya beserta Jessica yang kini bercakap-cakap dengan mama papa Hellen.

"Mereka kenal?"

Jo mengangguk. Menggenggam tangan Hellen dan menuntunnya duduk di sebuah tempat sepi. "Dunia sempit banget ya? Ternyata, papa kita temenan pas SMA. Dan... mama kita satu kantor dulunya."

Oh benarkah?

Hellen tidak menyangka. Bahkan jika otaknya belum waras seperti kemarin, ia akui jika keduanya pantas berteman, sebab sama-sama memiliki mulut yang... lancip. Tapi ia urungkan, karena tampaknya kedua ibu tersebut sudah berubah, untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

"Cocok."

Hanya itu tanggapannya. Wajahnya dipasang sedatar mungkin, membuat Jo mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Masih marah?"

Hellen menggeleng. Sejujurnya, setelah mengetahui berita kepindahan Natty dari orangnya langsung, melihat Natty merelakan hatinya patah, mengetahui perjuangan Jo dari orang tuanya, cara Jo mengemis kepada ayahnya, seluruh kemarahannya sempurna hilang. Hanya saja... mulut terlalu kaku untuk bicara.

"Terus kenapa diam aja?"

Hellen mengangkat bahu. Ia sendiri juga tidak tahu, mengapa dirinya mendadak menjadi pendiam, sementara hatinya menyimpan sejuta kebahagiaan yang ingin ia luapkan.

Jo menghela napas. Memandang langit biru dari jendela. Melihat belasan ekor merpati terbang melintasi langit. "Kamu tau gak, kenapa burung merpati pasangannya cuma satu seumur hidup?"

Hellen menunjuk-nunjuk dagunya. Berpikir keras. Padahal, yang ia tahu, pertanyaan ini sangat mudah, sampai anak SD mampu menjawabnya. Tapi mengapa ketika Jo yang bertanya ia seperti harus memutar otak untuk mencari jawaban?

"Karna... gak ada yang mau lagi sama dia?"

Jawaban bodoh. Hellen merutuki kebodohannya dalam hati. Penuturan aneh itu mengalir begitu saja dari mulutnya.

Jo tidak tertawa mengejek seperti biasanya. Ia hanya tersenyum seraya mengacak rambut Hellen yang sudah disalon. "Bukan."

"Jadi?"

"Karena... ketika dia udah nyaman sama yang satu, dia tau, cuma pasangangannya itu yang bisa bikin dia bahagia."

Hellen mendengarkan dengan seksama, layaknya seorang murid yang berusaha memahami penjelasan gurunya mengenai suatu teori.

"Sama seperti kita, manusia. Kalo udah nyaman sama seseorang... akan sulit mengganti posisinya, apalagi menghapusnya."

Jo amat pandai merangkai kalimat kiasan. Hellen baru mengerti, ke mana arah pembicaraan ini. Hellen membalas genggaman Jo erat, lebih erat dari biasanya. Menatap mata Jo dalam. Melihat kejujuran terpancar di dalamnya.

"Dan aku... udah nyaman sama kamu."

Jo menarik napas.

"Maafin aku, belum bisa menjadi alasan kamu tertawa. Maafin aku, udah bikin kamu berantakan---"

"Hidup gue emang udah berantakan, Jo," potongnya.

Jo berdecak. "Jangan dipotong dulu kenapa sih? Aduh... sampe mana tadi Len? Kamu sih, aku jadi lupa."

Hellen menutup mulutnya menahan tawa. Kali ini saja, ia tidak ingin merusak suasana dengan tawanya yang membahana. "Sampe bikin gue berantakan."

"Oh iya, itu. Pokoknya... aku sayang kamu. Mungkin, orang-orang bilang kamu itu setan, iblis. Tapi bagiku... kamu malaikat terindah yang pernah Tuhan ciptakan."

Hellen terpukau sesaat namun berusaha mendatarkan kembali ekspresinya. Bersedekap dada sambil menatapnya tajam kembali. Menggeleng. "Lo harus tau, ada pepatah yang bilang... minta maaf itu mudah. Tapi, memaafkannya gak semudah membalikkan telapak tangan."

Jo mengangguk paham. Ia sadar, atas segala kesalahannya. Kesalahan yang disebabkan hanya karena hal sepele.

"Tapi..."

"Tapi apa?"

Hellen meraih wajah Jo. Membingkainya dengan kedua telapak tangannya. "Gue lebih rela makan hati karna terlalu sering memaafkan orang yang gue sayang, daripada harus kehilangan dia selama-lamanya."

Hellen tersenyum. Berbeda dengan Jo yang belum sepenuhnya mengerti maksud perkataan Hellen. Mungkin, pikirnya, setelah terlalu sering mendapatkan kalimat kiasan darinya, Hellen jadi pandai merangkai kata-kata seperti itu juga.

Tapi, jauh di dalam hatinya, Jo hanya berharap kesempatan kedua. Hanya itu.

"Gue juga sayang sama lo, Jonathan Calvien Winata. Jonathan yang ngeselin, kutu buku, cowok kulkas yang bikin greget, juga Jo-nya Hellen yang rela uring-uringan cuma buat nyari perempuan yang gak ada apa-apanya ini."

Jo terperangah. Kali ini, ia berharap jika apa yang didengarnya tidak salah.

"Kamu... serius?"

Hellen terbahak. Terasa lucu saat melihat wajah bingung bercampur gugup Jo saat ini.

"One thing you should know about me. Gue emang suka bercanda, tentang apa pun. But when i say i like something... i really mean it."

Mendengar itu, Jo langsung mendekap Hellen kuat-kuat. "Beneran?"

Hellen mengangguk.

Lalu, pelukan itu ia lepas begitu saja.

"Kok dilepas?"

"Aku cuma mau mastiin, beneran kan? Kita pacaran lagi nih?"

Hellen mengangguk. "Iya, Jo. Lo dan gue... kita pacaran."

"Enggak!"

"Eh?"

"Orang pacaran harus pake aku-kamu dong!" protesnya.

"Hahahah, iya iya."

Jo tersenyum puas. Kembali menarik Hellen untuk mendekapnya. Namun, suara teriakan dari pusat pesta membuatnya harus menghentikan aksinya.

"Woi yang di sana! Jangan pacaran aja dong!"

"YEEE JANGAN IRI LO CHEL!"

Hari ini, Hellen mulai menyadari banyak hal yang selama ini tidak pernah terlintas di pikirannya. Bahwa percaya adalah modal utama sebuah hubungan. Bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling susah, namun tentang siapa yang paling kuat bertahan, seberat apa pun cobaan yang menghampirinya.

Hellen bersyukur memiliki semua orang yang hadir di dalam hidupnya.

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang