Aku diam, memilih dan memilah kata-kata yang tepat untuk di keluarkan. Ah... mungkin kali ini harus menekan ego dulu. Minta maaf. Sepertinya itu jalan keluar terbaik. Dita selalu luluh dengan permintaan maaf. Semoga kali ini juga begitu.
Tapi bagaimana dengan harga diriku. Masa' iya, aku harus melakukan adegan-adegan lebay kayak di telivisi. Dimana sang cowok mesti berlutut dan minta maaf. Oh shit!!! No way. Biasa sajalah.
Entah nanti kalau kepepet. Sekarang pakai jurus lama sajalah. Kelemahan wanita kan ada di telinganya. Coba dirayu-rayu dulu siapa tahu berhasil. Toh, aku kan sudah bertahun-tahun hidup dengan Dita. Sudah tau titik lemah, titik beku dan titik didihnya di mana. Haks....
"Ma, tidak akan mencium bau surga, wanita yang minta cerai," ucapku sok ngustadz.
"Orang yang berzina, hukumannya adalah rajam sampai mati. Tau kan?" ucapnya dengan datar tanpa menoleh. Aku bergidik, membayangkan di rajam.
" Ya itu kan bagi yang tidak bertobat," sahutku mencoba mengelak.
"Oh sudah tobat?" tanyanya sinis.
"Iya," jawabku mantap seolah meyakinkan. Padahal diriku saja tak yakin.
"Karena ketahuan, kalau tidak kan, keterusan. Aku nggak mau tau pokoknya aku mau bercerai titik," ucapnya sengit. Ternyata jurus lobi-lobi cantik pakai gaya ustadz tidak mempan. Berarti harus ganti siasat.
"Yakin? Mama udah nggak sayang lagi sama aku?" tanyaku memelas.
Dia tidak menjawab. Dari remasan tangan di pangkuannya, terlihat jika dia sedang mencoba berdebat dengan batinnya.
Sama ketika melamarnya dulu. Dia tak segera berkata 'ya'. Hanya meremas tangannya sebagai tanda ia sedang berpikir keras. Karena waktu itu ada orang lain yang lebih baik dariku juga mendekatinya. Namun sayang meskipun lebih baik dia tidak lebih beruntung dariku.
Nah kalau sudah begini, baru deh masukkan jurus rayuan maut ala Andre. Tidak apa-apa deh, lebay-lebay dikit. Demi keutuhan rumah tangga. Harga diri? Persetan dengan itu semua. Saat ini ada yang lebih darurat.
"Ma, maafkan aku ya. Aku ngaku salah. Aku khilaf," ucapku sambil berlutut di depannya dan memandang kedua matanya. Serasa tiba-tiba ada pemain biola di dekatku. Bermain dengan nada ngik... ngok... ngik...ngok. Kok terasa sumbang. Segera aku usir bayangan itu.
"Ma, tolong maafkan aku, ya. Jangan minta cerai. Bagaimana nasib Aya? Mama nggak sayang sama dia?" lanjutku, mengeluarkan jurus pamungkas. Air matanya mengalir lagi. Dia sangat menyayangi Aya. Aku menariknya dalam pelukanku. Dia pasrah, tidak menolak.
"Ma, aku janji aku ga akan mengulanginya lagi. Maafkan aku, ya," pintaku sekali lagi dengan tulus. Dita masih tidak menjawab. Hanya isakan tangis yang terdengar.
"Ya?" tanyaku sekali lagi memastikan.
"Janji, ga akan mengulangi lagi? Dia melepas pelukannku dan melihat dalam ke arah mataku.
"Janji," jawabku mantap,"tapi Mama juga harus janji, Mama tutup tokonya. Fokus di rumah aja ngurusin aku dan Aya. Biar tetep cantik dan wangi" lanjutku. Dia menghela napas berat, tampak keberatan. Heeehhh... ternyata aku tidak lebih berharga dari tokonya. Tapi tidak, jangan sampai emosi. Misi penyelamatan rumah tangga tidak boleh gagal.
"Ma, aku butuh kamu," bujukku dengan tulus berharap dia mau mengerti.
"Kalau begitu, pakai karyawan saja. Nanti tokonya di ubah kayak model swalayan. Dan ingat, harus di rumah kalau aku sudah pulang kerja. Pakai asisten di rumah tangga juga boleh. Tapi untuk urusan makanan tetep harus Mama yang nyiapin. Gimana? Setuju?" Aku mencoba menawarkan solusi.
"Tapi..." Dia masih keberatan.
"Kali ini tidak ada tapi-tapian. Ini perintah suami."
Dia mengangguk, ada senyum tipis di bibirnya. Yes!!!! Sukses. Berasa kayak ada orang yang menaburkan bunga di kepala.
Aku memeluknya sekali lagi. Siluman gagakku yang manis. Akhirnya kita baikan juga. Aku mengajaknya masuk.
Dia langsung menuju kamar, aku mengekor.
"Eh... untuk malam ini, Mas tidur di kamar Aya," ucapnya mencegahku masuk ke kamar sambil menyilangkan kedua tangan di dada, dan betdiri tepat di depan pintu
"Kan sudah di maafin?"
"Maaf sih, maaf, tapi aku butuh bukti, bukan janji," tukasnya sengit.
"Sampai kapan?" tanyaku gusar melihat tingkahnya.
"Sampai masa iddah selesai," jawabnya datar.
"Masa iddah?"
"Iya. Mas nggak boleh dekat-dekat sama aku sampai aku tiga kali suci," jelasnya sambil menutup pintu dengan kasar dan mengucinya.
Ya ampun, kalo benar dia menghukumku dengan dengan pemberlakuan masa iddah seperti aturan agama yang diterapkan pada wanita-wanita yang bercerai, Haduuhh.... bisa karatan aku. Padahal setahuku baru tiga hari yang lalu dia baru selesai haid.
Memikirkan hal itu, membuat perut terasa lapar. Akhirnya aku pilih pergi ke luar dan membeli dua bungkus nasi goreng.
-----------
Pagi ini aku bersiap pergi ke kantor. Kulihat dari tadi Dita tidak ada di kamar. Biasanya sepagi ini dia sudah berperang di dapur. Kucari dia ke seluruh ruangan. Ternyata dia ada di halaman samping. Telfonan dengan seseorang.
Dari hasil aku menguping, nampaknya dia sedang ngobrol dengan seseorang yang sedang memberi ceramah. Terbukti dari jawabannya yang cuma 'oh gitu' atau kadang 'ya ya ya'.
Kubiarkan saja, langsung menunju meja makan untuk sarapan. Membuka tudung saji dan... selamat!!! Tak ada makanan yang tersaji. Bahkan nasi gorengku yang tinggal sebungkus juga raib. Ini pasti ulah siluman gagak semalam. Pasti ia lapar seharian tidak makan. Sialan!!
Aku menutup tudung saji dengan kasar, sehingga menimbulkan bunyi kemletak yang keras.
"Gak bisa pelan-pelan apa?" tukasnya tanpa rasa berdosa.
"Gini ini yang bikin suami, nggak betah. Makanan saja tidak ada," sahutku kesal. Dalam keadaan lapar, emosi gampang tersulut.
"Aku emang nggak masak. Aya juga tidak ada. Lagian mulai hari ini aku diet," ujarnya santai sambil meraih remote televisi dan memindahkan chanel dengan asal.
"Diet?? Kamu yang diet kok, aku yang nggak makan?" tanyaku sewot.
"Makan saja di kantor, itu sudah aku siapkan," ucapnya sambil menunjukkan dua kotak makan yang terletak dia atas kulkas.
"Kok dua?" tanyaku heran.
"Buat sarapan dan makan siang," jawabnya pendek. Kirain buat aku dan Mayang. Haks...
Aku malas mendebatnya lagi. Segera aku sambar hape dan dompet. Namun tidak dengan kotak makanan itu.
"Kok nggak di bawa?" tanyanya heran. Karena aku tak menyentuh kotak makanan yang sudah ia siapkan.
"Nanti makan di kantin," sahutku pendek sambil memasang sepatu.
"Terserah kalau mau kelaparan," ucapnya santai.
Kok perasaan tidak enak ya, dompet terasa tipis. Kubuka untuk melihat isinya. Kemana raibnya kartu-kartu ATM dan uangku? Hanya tersisa satu lembar dua puluh ribuan.
"Jangan kaget, kartu ATM dan kartu kredit sementara aku ambil alih," jelasnya datar melihat ekspresiku yang mungkin terlihat depresi.
"Tapi, Ma mana cukup uang segini?" protesku, tak terima.
"Makanya bawa!" perintahnya sambil mendelik.
Aku berbalik tetap tidak mau, gak ada kartu ATM toh, ada internet banking atau sms banking.
"Oh ya, lupa. Jangan berpikiran untuk pakai sms dan internet banking, ya. Passwordnya sudah ku ubah," tandasnya diiringi senyum kemenangan.
Sial!!! Kayaknya siluman gagak mendapat hidayah setelah mendengarkan ceramah tadi. Siapa penceramah tadi itu? Akan aku buat perhitungan. Awas, ya!!!!!
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikmatnya Bercinta Dengan Sekretarisku?
Romance@cover by Badriklisiansyah Hmmm... aku heran orang-orang menganggapku pendiam. Mungkin karena tak banyak bicara. Sesungguhnya aku hanya belum menemukan lawan bicara yang pas termasuk istriku, walaupun beratus hari sudah kulewati dengannya. Dia sama...