ALL ABOUT MY GRANDPA

73 18 0
                                    

Suatu hari yang mengembirakan datang, gue akhirnya lulus tk dan beranjak ke sekolah dasar. Disana gue udah sebagian, hafal dengan raut muka mereka, yang satu kelas dengan gue dulu waktu tk. Karena sekolah sd gue itu berada dekat dengan tk gue, yah, bisa dibilang juga masih satu komplek, jadi, lulusan tk gue kebanyakan sekolah di sd yang sama dengan gue. Hari pertama masuk sekolah sd. Gue dianter sama kakek gue, oh ya gue belum ngenalin kakek gue. Kakek gue namanya "Makroni" bukan makanan ya. Kalo yang makanan itu namanya makaroni. Gue dan dia akrab banget, dan gue sering banget main sama dia. Sembari bermain bersama gue, sesekali dia juga menyanyikan, atau melantunkan tembang- tembang jawa yang membuat hati gue adem, dan sesekali gue tertidur mendengar dia menyanyi, karena sangking merdu suaranya.

Oh ya!, kakek gue dulu bekerja di pasar menariki uang setoran pemilik ruko, dan orang yang masuk ke dalam pasar. Tapi, kakek gue bukan preman, dia petugas dinas yang disuruh sebagai penarik iuran rutin di pasar. Namun, yang gue heran, dia kuat mengayuh sepeda ke tempat ia bekerja, yang jaraknya sangat jauh, sekitar 20km dulu. Akan tetapi, lama kelamaan karena usianya mulai tua, dan pola masa mudanya yang merokok, akhirnya dia berhenti menjadi pegawai pasar. Dia lebih memilih menghabiskan masa tuanya untuk anak- anak dan cucunya.

Sembari gue di bonceng, gue suka di dongengin oleh dia, cerita ramayana lah, cerita mahabarata dan cerita- cerita pewayangan lainnya. Sampai sekarangpun, gue masih inget apa yang ia ceritain. Dia pribadi yang bersahaja dan ramah terhadap semua orang, sehingga semua orang hormat kepadanya. Apalagi dia dulu juga seorang ketua rw di desa. Dengan otot-otot tuanya, dan tulang- tulang rentanya, dia tetap setia menghantarkan gue ke sekolah setiap hari. Tapi, tiba suatu hari yang gue gak pernah habis pikir. Ketika waktu pulang sekolah, kakek gue pada waktu itu meminta gue untuk membonceng dia pulang dengan menggunakan sepeda turonggo tuanya.

Tanpa gue berfikir apa- apa, gue mengiyakan keinginannya, karena gue gak tega dengan kondisinya pada saat itu. Apalagi dia juga memiliki berbagai macam penyakit seperti asma, darah tinggi, kolesterol dan lain sebagainya. Padahal, kalau dipikir- pikir lagi, pada saat itu gue masih belum terlalu bisa menaiki sepeda, apalagi dengan sepeda turonggo yang tinggi, dan ada alat penyiksa selangkangan, yang kadang ngilu kalo kita duduk disana. Gue naik ke atas sepeda besar itu, mirip naik tank yang kita harus manjat ke atas, agar bisa masuk ke ruang kemudinya. Sayangnya, di turonggo nggak ada pelontar meriamnya, adanya lampu kecil yang kadang nyala, kadang nggak, dan lambang burung mengkilap yang ada di atas slebornya. Sementara gue naik dan duduk di sadel sepeda, kakek gue yang berada di belakang menjadikan dirinya sebagai pijakan di tanah. Setelah semua sudah oke, gue akhirnya mencoba kayuhan pertama gue, dengan sedikit mengeluarkan tenaga, gue menggapai kayuhan sepeda tersebut, sejauh ini semua berjalan lancar. Akan tetapi, ketika kayuhan sepeda berada di bawah, gue harus berurusan dengan alat penyiksa selangkangan, yang membuat gue menderita meter demi meter perjalanan.

Penyiksaan pun semakin di perparah, ketika gue nggak sengaja mengereem mendadak, dan membuat kakek gue mendorong gue kedepan sehingga bertemulah selangkangan gue dan alat penyiksa itu sampai berbunyi sroot..... udah kayak diparut deh selangkangan gue. Kemudian gue merasakan ada hembusan angin sepoi- sepoi menyejukkan lewat bagian bawah gue, dan ketika gue memegang celana gue, ternyata celana gue robek di bagian selangkangan. Sungguh menderita pada hari itu, ketika hari pertama bersekolah, seragam baru, dan alat- alat tulis baru yang seharusnya sebagai momen indah menjadi berantakan, akibat pengalaman pertama gue bererusan dengan turonggo. Namun, tak selang beberapa lama ketika gue mengayuh sepeda lagi, dan malapetakapun muncul, ketika gue yang masih bocah mencoba menghindari truk yang ngebut dan hampir mengenai stang sepeda turonggo yang gue kendarai. Secara spontan gue membanting setir ke kiri dan pada saat itu juga di depan gue sudah nongol tiang listrik warna hitam yang di cat putih tengahnya. Akhirnya, tabrakan tak terelakkan lagi, gue dan kakek gue menabrak tiang hingga terpental dari sepeda.

Walaupun tidak terlalu jauh, namun rasa sakit akibat kejadian itu membuat gue takut naik sepeda. Sembari gue membangunkan diri, dan menahan rasa sakit. Gue membantu kakek gue untuk berdiri. Di situ Sandal swallow merah yang kakek pakai pun terlepas dari kakinya dan rusak.

"Kek gimana apa gak papa ?" tanya gue sembari membersihkan pakaiannya

"Udah gak papa, hahaha" Tertawa sambil menunjukkan gigi ompongnya.

"Lho kek giginya mana ?"tanya gue kaget.

"Heh?" sambil meraba raba bibirnya.

"Bentar kek aku cariin, mungkin kejatuh di semak- semak". Kata gue mencoba membuat dia tenang.

Setelah beberapa lama gue mencari di semak akhirnya gigi kakek ketemu. Seperti biasa, gigi itu di rubungi oleh semut. Dengan perasaan rada- rada jijik mengambilnya, gue memberikannya ke kakek.

"Nih kek" kata gue sembari gue membersihkan semut2 yang menempel di giginya.

"makasih wa" memandang gue dengan mata sayu dan senyum manisnya.

Akhirnya pada hari itu gue, dan kakek pulang setelah melalui banyak sekali penderitaan. Dan, kami berdua sepakat untuk tidak memberitahukan kejadian ini ke semuanya.

Kenyataan pahit yang gue alami pada waktu itu, menurut gue bukan lah hal yang membuat gue depresi pada saat ini, tapi itu hal yang membuat gue ingat akan kakek gue, dan itu menjadi hal yang gue bisa lakukan membalas budi dia yang selalu menemani gue saat gue sedih maupun bosan, dia bisa berarti lebih dari teman, menurut gue dia adalah sobat, soulmate dan seorang yang menjadi inspirasi buat gue sampai sekarang. 

NB : kakek gue meninggal pada 2005 dan itu merupakan hari dimana gue kehilangan seseorang yang berharga lagi di hidup gue.

LONJONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang