3. Pertemuan Perdana

3.2K 294 27
                                    

"gimana semalam ?"

Veranda hanya menghela nafas sedih. Matanya bergetar menahan air matanya yang akan turun untuk kesekian kalinya.

Shania yang berada disebelah veranda hanya diam melihat reaksi sahabatnya ini. Sedikit memberi usapan lembut dan memberi senyuman bulan sabit diberikan Shania untuk meringankan hati satu-satunya sahabat yang dia miliki selama hampir 3 tahun masa putih abu-abunya.

"lo masih punya gue V" hibur Shania.

Veranda sedikit tersenyum mendengarnya. Setidaknya sedikit tersenyum mampu menutupi sedikit kebohongan hidupnya yang kosong. Percuma memiliki sahabat tanpa kasih sayang langsung dari keluarga.

Suasana kantin sekolah internasional Brasta Larenza yang ramai membuat Shania dan Veranda bosan. Sekolah yang menerapkan standart pendidikan seperti negara Eropa ini pasti membuat orang-orang awam bangga jika mempunyai kesempatan bersekolah disini walau hanya 1 hari. Tapi itu tidak berlaku bagi Shania dan Veranda, justru bagi mereka sekolah ini adalah bencana karena siswa-siswi disini memiliki sense tersendiri dalam memilih teman

Kau harus memilki uang, tas dengan bermacam brand terkenal, kau pintar, gaul dan segala tete bengeknya supaya ingin diakui bahwa kau adalah seorang yang keren disekolah ini.

" Ve ! Steve itu lagi jalan kesini"

Veranda hanya melirik malas pada lelaki yang dimaksud Shania. Steve Augusto.

Lelaki berkepala sedikit plontos itu berjalan dengan senyum maut playboy khas miliknya bersama dengan boneka stitch berukuran kecil ditangannya. Dan tak bisa kita lupakan bahwa dibagian belakangnya diikuti oleh cecenguk alias kacung-kacung pecundang Steve.

"itu ngapain dah cangkang kecoa kemari !? Ganteng kagak, sok ganteng iyee" celetuk Shania yang sangat tidak menyukai wajah Steve yang menurutnya kampret-able.

Veranda hanya mengindikkan bahunya mengabaikkan perkataan Shania dan kenyataan bahwa Steve sudah duduk dihadapannya.

"happy birthday My Jessie. Sorry lupa ngucapin semalam soalnya aku sibuk nyari kado buat kamu" kata Steve sambil memberikkan boneka stitch berukuran kecil itu pada Veranda.

Veranda hanya mendengus malas dan mengajak shania pergi dari kantin mengabaikkan Steve yang sudah meneror dia dengan perhatian-perhatian khas lelaki playboy sejak kelas X hingga mereka sekarang kelas XII hanya untuk memilikinya yang mungkin saja dijadikan barang taruhan atau bahan praktek tidur dikamar.

"ck ! Lagi dan lagi gue diabaikan kek gini" kesal Steve.

"udahlah bos. Dari pada lo ngejar manusia songong kek Veranda, lebih bagus lo pepet tuh anak kelas X namanya Nadse"

Steve hanya berdecak kesal saat para pembantunya menyuruh dia untuk menyerah pada Veranda.

***

Veranda menghentikkan laju taksi yang ditumpanginya di loby apartement mewah dipusat kota. Mengunjungi sepupu sebaya yang telah lama tak dia kunjungi dan sedikit berbagi cerita dengan seseorang yang selalu membuatnya sedikit mengurangi rasa sedihnya selain pada Shania.

Tepat di lantai 21 Veranda keluar dari lift. Berjalan dengan jantung sedikit berdebar entah karena perasaan apa. Veranda berhenti dipintu kamar 435, sedikit menghela nafas membuang perasaan kalutnya , dia mulai memasukkan password kamar yang sudah dia ketahui dari awal.

"Jeje.." Veranda sedikit bingung dengan keadaan ruang tamu apartemen yang kosong dan sedikit berantakkan. Bekas-bekas makanan ringan dan berkaleng-kaleng bir berceceran disetiap sudut ruang dengan tv dibiarkan menyala begitu saja.

Veranda Dan NaomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang