Sarapan

21 16 4
                                    

Sudah tiga hari semenjak obrolan singkat diruang tengah. Selama itu juga Phantom dan Jeris tidak pernah mengeluarkan sepatah kata setiap kali bertemu atau berpapasan.

Pagi ini, entah kerasukan apa, Phantom terlihat sibuk menyiapkan sarapan yang seharusnya dikerjakan oleh koki pribadi di rumah itu.

Jeris yang baru saja keluar kamar menatap heran pemandangan dilantai satu. Phantom mengenakan celemek putih, sibuk menata makanan diatas meja makan.

Seolah sadar ada yang memperhatikannya, Phantom melihat ke arah Jeris berdiri. "Turun."

Seperti sedang dihipnotis Jeris menurut saja dan turun ke bawah mendekati meja makan. Dia melongo menatap makanan disana. Sederhana memang, sandwich dari roti gandum, susu kurma, pisang bakar keju dan pie. Itu semua menu sarapan kesukaan Jeris.

"Lo yang buat ini?" Tanya Jeris tidak percaya.

"Hm. Duduk" Phantom melepas celemeknya. Dia duduk berhadapan dengan Jeris.

Jeris mencomot pisang keju, "Kemana koki yang biasanya masak?"

"Dia lagi ulang tahun, gue suruh dia pulang." Phantom menyeruput susu kurma.

"Lo tau darimana dia ulang tahun? Dia bilang?"

"Dulu dia pernah bilang. Ulang tahun dia bareng sama ulang tahun Mama. Jadi gue selalu inget."

Jeris mengangguk-angguk. "Eh! nyokap lo ulang tahun? Lo gak mau nemuin dia?"

Phantom menatap Jeris sebentar, lalu kembali menyuap sandwich ke mulutnya. "Enggak. Kan udah ada lo, calon ibu dari anak-anak gue." Ucap Phantom sambil mengedipkan sebelah matanya.

Jeris hampir tersedak mendengar itu. Dia menatap Phantom sinis. Phantom hanya terkekeh kecil.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal nyokap lo, gue kok belum pernah ketemu dia sih. Pas tunangan kita juga gak ada kan?"

Sebenarnya Jeris tidak ingin menanyakan hal itu, karna dia tidak peduli. Tapi, untuk menghabiskan sepiring pisang bakar keju yang enak ini, Jeris harus cari cara untuk tetap duduk di meja makan.

"Nyokap gue pergi, sama laki-laki lain. Dan gue gak tau dia dimana sekarang."

Jeris yang baru saja ingin menyuap pisang langsung terhenti. "Serius?"

"Lo mau ngajakin serius sekarang?" Phantom kembali menggodanya.

Jeris berdecak kesal. Seharusnya memang lebih baik dia tidak peduli pada apapun tentang cowok menyebalkan ini.

"Makasih sarapannya." Jeris hendak beranjak dari kursinya. Pisang bakarnya belum habis, tapi berada berlama-lama dengan Phantom akan membuatnya naik darah.

"Tunggu, gue mau ngomong sesuatu." Kali ini Phantom terlihat serius.

Jeris menaikan satu alisnya, dia duduk kembali "apa?".

Phantom berdeham, "di kampus pasti udah banyak yang tau tentang pertunangan kita. Gue mau kita bersikap selayaknya dua orang yang saling mencintai di depan umum. Hanya di depan umum."

Jeris menatap malas sekelilingnya. Dia sangat benci berpura-pura. Sedangkan Phantom, dia anak orang kaya, ganteng dan cukup terkenal. Pasti sering sekali menutupi sisi gelapnya demi terlihat baik di depan umum. Cih, menjijikan.

"Gue mohon pengertiannya, meskipun lo gak pernah menginginkan pertunangan ini."

"Bukan gue, tapi kita. Kita sama-sama gak menginginkan ini." Ucap Jeris ketus.

Phantom menghembukan nafasnya kasar.

"Apa imbalannya untuk gue?" Jeris menatap serius, "Pura-pura mencintai orang yang lo benci itu gak mudah, harus ada imblannya."

Phantom melongo. Tidak percaya Jeris akan menyetejui. "anything" Ucap Phantom dengan senyum riang.

Jeris menaikan alisnya lalu mengangguk. "Gue akan pikirin imbalan yang pantas." Dia beranjak ke kamarnya. Menurut Jeris, senyum Phantom terlalu manis untuk ukuran cowok brengsek. Sial! Kenapa bisa semanis itu?

Phantom menatap punggung Jeris dari jauh.
"Gue tau lo baik, sama kayak Jimy."

***

Tom and JerryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang