Dinginnya malam menemani Vannia saat ini, dengan tambahan cokelat panas di genggaman tangan kanan sebagai pelengkap. Manik onyx miliknya menerawang jauh menatap ke arah lautan bintang yang membentang di atas kepalanya.
Posisinya saat ini; berbaring di halaman belakang rumahnya, dengan tubuh terbalut selimut tebal bercorak polkadot abu-putih. Belah bibirnya merapalkan beberapa kalimat berbahasa asing dengan mata yang masih menatap langit gelap diatasnya.
"Lingsir wengi"
"Sliramu-"
Tap!
Tepukan halus Vannia terima di bahu kirinya. Vannia perlahan menolehkan kepalanya ke arahnya.
"Ica! Ngagetin aja kamu." Ica hanya terkikik pelan sebagai balasan, lantas ia membaringkan tubuhnya di samping Vannia. "Hehe, ngapain sih disini? Kurang kerjaan aja." Ica berucap kesal dan mengerucutkan bibirnya.
"Enak ya, Ca, jadi kamu, bisa pergi kemanapun sesuka kamu, tanpa ada yang ngekang. Aku kan pengen..." Ica memutar bola matanya jengah mendengar perkataan Vannia. Dengan menggebu-gebu ia membalas ucapan Vannia,
"Ih kamu lupa, ya? Kamu 'kan bentar lagi sama kayak aku! Gimana sih." Vannia hanya terkekeh pelan sembari tangannya bergerak menggaruk belakang kepalanya kikuk.
Akhirnya mereka berdua berbincang-bincang dengan posisi seperti itu kurang lebih dua jam lamanya. Vannia terdiam. Tatapan matanya berubah menjadi sayu, helaan nafas pelan terdengar darinya. "Ca, aku udah ngorbanin semuanya nih. Janji kamu harus segera dilakuin loh!"
Ica dengan pelan menggenggam tangan Vannia, manik hazelnya menatap Vannia dengan tatapan meyakinkan miliknya. "Kamu tenang aja, Van, kita pas-"
Brak!
Tubuh Vannia juga Ica seketika menengang sesaat setelah mereka mendengar suara dobrakan pintu. Genggaman tangan keduanya semakin mengerat ketika suara teriakan terdengar saling bersautan.
"VANNIA! KAMU DISINI KAN?!"
"VANNIA!"
"C-ca, gimana nih?" Vannia berujar ketakutan, keringat membanjiri sekujur tubuh Vannia, badannya pun ikut bergetar dengan hebat. Tangan Vannia mencengkeram bahu Ica dengan keras. "Ca...hiks..A-aku harus gimana?!"
Batin Vannia bimbang, di suatu sisi ia ingin sekali ikut bersama Ica, karena memang sedari dulu ia menginginkan hal itu. Tapi disisi hatinya yang terdalam, ia tidak ingin melakukan hal ini, karena ia sadar, dosa besar akan ia tanggung, lalu Tuhan akan membencinya.
Berkata jujur, Ica tau apa yang Vannia rasakan saat ini. Ia paham dengan jelas kegelisahan hati Vannia. Tapi, Ica dengan sangat ingin beraikap egois untuk saat ini saja. Ia hanya tidak ingin untuk dikecewakan sekali lagi. Sudah cukup dulu ia dikecewakan oleh kedua orang tuanya.
Ica berpikir dengan keras, kepalan tangannya semakin menguat, bahkan beberap kali ia memukul-mukul tanah berumput yang ia duduki dengan perasaan gusar. Matanya memindai sekelilingnya, yang dapat ia lihat hanyalah rumput-rumput liar yang tumbuh memanjang, pohon yang berdiri dengan kokoh, dan tali disudut halaman. Eh, tali?
Sebuah ide licik Ica dapatkan, senyumnya mengembang-lebih tepatnya senyum separuh yang tampak mengerikan, kilatan matanya pun berubah menjadi tajam begitupun manik mata hazelnya yang berubah menggelap.
"Vannia Shalsabilla." Suara Ica memberat, dengan intonasi datarnya. Ketika ia memanggil Vannia dengan nama panjangnya, itu menandakan bahwa ia berubah menjadi sosok lain dirinya.
Seakan terhipnotis dengan tatapan tajam Ica, tubuh Vannia yang sedari tadi bergetar dengan hebat kini menjadi tenang. Vannia memandang manik gelap Ica dengan pandangan kosong.
"Kamu lihat tali diujung sana?" Ica menunjuk tali di sudut dengan pandangan mata yang masih menatap dalam Vannia. Kepala Vannia bergerak dengan matanya yang mengikuti arah telunjuk Vannia. Kemudian ia mengangguk perlahan.
"Kamu pakai tali itu, lalu naik ke pohon di sebelah sana. Aku tunggu kamu di balik pagar."
"Oke, kamu tunggu aku, ya?"
Setelahnya Ica bergegas keluar dari sana, begitu pula Vannia yang dengan segera mengambil tali dan mengikuti perintah Ica untuk naik ke pohon. Sebelum ia melakukan hal itu, Vannia berbalik, menatap pintu belakang, dimana orang-orang yang mencarinya belum menjamah pintu itu. Setelahnya ia tertawa dengan keras, masa bodoh apabila orang-orang itu mendengarnya.
"Selamat tinggal, ayah, ibu, hihihi"
**
Sosok wanita itu sedari tadi menangis histeris dengan tangannya yang memeluk boneka kelinci usang bewarna merah jambu. Keadaan sekitar yang gelap membuat ia susah untuk melihat sekitar.
Beberapa lelaki di depannya berjalan dengan sedikit tergesa, mengandalkan senter di tangan mereka, mereka menyusuri rumah gelap itu dengan harapan dapat menemukan sosok Vannia.
"N-nak, kamu dimana...maafkan ibu nak." Lirih Ibu, sosok adik disampingnya mencoba menenangkan kakaknya.
"Pak! Kita belum membuka pintu itu, saya yakin anak anda ada di dalam sana!" Salah seorang lelaki paruh baya yang ikut mencari menunjuk pintu kayu usang di depan mereka. "C-cepat buka! Saya yakin anak saya ada disitu!"
Ayah dengan tergesa memutar knop pintu yang sialnya terkunci. Dengan bantuan para lelaki disana, ia mendobrak pintu kayu tersebut hingga terbuka dengan lebar. Ia melihat selimut juga cangkir berisi coklat yang ia yakini milik putrinya. Namun ia tidak menemukan dimana anaknya itu berada. Sedetik setelahnya pekikan terdengar, juga tepukan cepat juga tidak sabaran ia terima di pundak. Dan setelah itu, hal yang sangat ia benci ada di depan matanya.
"P-pak! A-anak anda?!!!-"
**
"Ica!"
Vannia berlari dengan tergesa menghampiri Ica yang menunggunya. Nafasnya tersegal-segal karena ia baru saja berlari dengan kencang menghindar dari tempat itu.
Selepas mengatur nafasnya ia memeluk tubuh Ica erat, "Yeaaaaaah! Akhirnya kita bisa berdua selamanya!"
Mereka berdua tertawa dengan riangnya dengan tangan yang saling memeluk satu sama lain dengan erat.
"Kita cari teman lain yuk! Aku punya kenalan nih, rumahnya cuma berjarak 6 blok dari rumah kamu. Kita ajak dia juga yuk?"
"Ayo!"
Berminat jadi teman kami?
22 januari 2018-
Vote dan comment?
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman baru?
HorrorHalo! Aku Raisha, tapi kamu boleh panggil aku Ica deh. Mau jadi temenku, gak?