Adanya kamu dibawah senja yang sama, menjadikanku bisa melihat dua keindahan Tuhan dalam satu pandang. Hei, senja dapatkah kau tanyakan pada awan dimana bidadariku berada, karena ia jauh lebih berharga dibanding engkau senja. Yang menghilang begitu saja terbawa angin saat saling ingin. Oh fana, dimana lagi engkau sembunyikan mawar surga. Dan kemana lagi kan dikejar kalau terus berpencar tidak dalam garis edar.
Saat seperti ini kamu sungguh lucu, melebihi badut yang jadi serdadu. Ini petak umpat kan. Aku yang menjaga dan selalu mencarimu dan kamu hanya mencari tempat sembunyi agar tidak diketahui. Atau ini yang namanya saling mengisi.
Tetap jadilah pagi dan malamku, hitam dan putihku, serta embun dan senjaku. Karena melibatkanmu dalam duniaku adalah sebagian jawaban Tuhan atas segala doaku kepadamu. Kita pun menginginkan sebab saat akibat terlibat sangat erat, seperti bumi yang mengingini hujan dibulan juni. Kalau pun tidak ditinggali semi, meredalah sebagai rintik ditengah hari, karena jauh sebelum itu kamu tampak berarti. Berjabatlah dengan sanubariku, memeluk segala angan-anganku, dan jadilah nyata saat aku dihulu rindu. Dari dan untuk ini hanya kepadamu. Meski berupa semu dan hanya kelabu, catatlah pesanku sebelum kamu berlalu.
Saat kamu lebih mementingkan cara-cara untuk membenciku, aku diam. Saat kamu mencoba untuk tidak peduli lagi, aku hanya diam. Walau sebenarnya aku tahu tentang caramu itu. Itu keputusanmu dan aku pun tidak ingin mengacaukannya selagi kamu bahagia akan hal itu.
Aku memulainya lagi dari awal, seperti sebelum mengenalmu, seperti awalan tiada namamu. Kembali ke orang yang lugu tanpa cinta. Menikmati duniaku sebagaimana dulu, yang hujan pun belum mengerti warnaku. Dan aku pula masih jadi perahu ditepi pantai, belum menjadi pinisi yang berlayar mengarungi badai.
Dengarlah, aku bukan robot atau alat yang sengaja dibuat untuk patuh kepadamu. Aku punya cara untuk hidupku, tidak melulu tentang tawa dan senja-senjamu. Hanya saja aku pernah menyerpih hatimu, sampai-sampai terbuta karena mengingini api yang sebenarnya tidak pantas ku miliki. Pandanganmu tentangku hanya seperti semilir angin, sekejap saja meneduhkan lama-kelamaan terlewatkan.
Haruskah ku jujur terhadapmu apabila masih tergurat wajahmu dalam benakku. Masih mengkhawatirkanmu dalam diamku, walau balasmu hanya berupa kesengajaan menjatuhkanku lagi dan lagi. Berulang kali berurusan denganmu, akan semakin membodohiku. Kamu punya cara yang cukup baik untuk mengembangkan lagi kepedulianku, dengan pesanmu yang selalu membuat rindu, meski segalanya itu palsu.
Terkadang aku cuma berpura-pura saja membohongi perasaanku, berpura-pura menulis dengan tawa. Namun, disisi lain aku merasa hampa tiada kalimat yang mampu terjaga hanya berurai airmata. Saat ingin jadi tidak peduli pun, sebenarnya aku terus mencarimu terus berulang kali memantaumu. Tapi, berulang kali pula yang kudapat cuma sendu. Cerita ini tidak sudi kata akhir, karena keluh tak memandang satir, dan ini pun tersurat karena gurat maknanya pekat.