Part 1

366 13 5
                                    

Bagi Jia, menjadi anggota PMR berarti memikul tanggung jawab besar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagi Jia, menjadi anggota PMR berarti memikul tanggung jawab besar.

Hari itu adalah hari pertamanya bertugas saat upacara. Jia kebagian tempat jaga di belakang barisan kelas XI Ilmu-ilmu Sosial. Sejak upacara dimulai, matanya tak henti mengedar ke arah senior-seniornya. Memastikan mereka cukup sehat untuk terus mendengarkan pidato tanpa ujung Pak Sumarno, kepala sekolah mereka. Badannya seketika menegak saat seorang siswa bertubuh kurus menghampirinya sambil memegangi perut.

"Kenapa Kak?" ia mendekat.

"Gue nggak enak badan. Bisa tolong antar ke UKS?" cowok itu memandang Jia dengan matanya yang sayu.

Jia memperhatikan cowok itu. Rambutnya tebal dan sedikit ikal, menimbulkan kesan berantakan. Warna kulitnya putih tetapi tidak merona. Bagian wajahnya malah terlihat pucat. Badannya tidak terlalu tinggi. Tertulis 'Jackson' di bagian badge nama siswa pada baju seragamnya yang tidak dimasukkan ke celana.

Berandalan, Jia menyimpulkan. Akan tetapi, ia tidak seharusnya pilih-pilih dalam menolong orang.

"Ayo Kak aku antar," Jia menggandeng lengan Jackson karena memang begitulah prosedurnya.

Sepanjang perjalanan singkat mereka menuju UKS, ia merasa Jackson terus-terusan memperhatikannya. Memindai Jia dari ujung rambut sampai ujung kaki seperti sedang menilainya. Ia merasa sedikit risi, tetapi memilih diam.

"Jia," panggilnya hati-hati. Sepertinya Jackson baru membaca badge namanya. "Lo kelas sepuluh ya?"

"Iya," balasnya dingin.

"Oh, pantas gue nggak kenal. Biasanya anak PMR yang jaga 'kan kelas sebelas."

Jia tidak menanggapi.

"Kelas sepuluh berapa? MIA apa IIS?"

"MIA," jawab Jia seadanya. "Sepuluh MIA tiga."

"Anak Sains, ya. Berarti lo pinter dong. Keliatan sih," tutur Jackson lagi yang terkesan seperti merayu.

Jia tidak tahu kalau orang sakit ternyata bisa bersikap semenyebalkan ini. Untunglah mereka sudah tiba di UKS. Ada dua pasien di sana. Kalau ditambah Jackson jadi tiga. Satu orang menempati satu-satunya kasur, sementara yang lain duduk di sofa. Banu, senior Jia yang kebagian berjaga di ruang UKS, menyambut kedatangan mereka dengan mulut menganga.

"Jackson!" ia berseru. "Dasar sinting. Beraninya ngerjain junior terus!" 

Dahi Jia mengernyit. Tangannya otomatis melepas gandengannya pada lengan Jackson. Cowok itu tertawa meledek, lalu duduk di bagian sofa yang masih kosong.

"Jangan gitu Ban. Itu namanya diskriminasi," timpalnya setelah puas tertawa. "Gue beneran sakit kok."

"Lo selalu sakit, setan!"

Dua seniornya itu malah sibuk saling lempar ejekan. Membuat Jia serta-merta merasa kesal. Dari pembicaraan Jackson dan Banu, ia sudah dapat menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kak Jackson pura-pura sakit?"

Pertanyaan setengah menuduh dari Jia membuat keduanya lantas menoleh kepadanya hampir bersamaan. Alih-alih memberi jawaban, Jackson malah tersenyum dengan cara yang menyebalkan. Sementara itu Banu malah menggumam tak jelas.

"Hmm gini Jia. Ini tugas pertama kamu jadi wajar kalau kamu nggak tau. Tapi orang ini," Banu menunjuk Jackson. "Suka pura-pura sakit ke petugas PMR supaya nggak harus dengerin pidatonya Pak Sumarno."

Sontak, Jia melayangkan tatapan membunuh kepada Jackson. Lagi-lagi, yang ia dapat hanya cengiran jahil.

"Jangan ketipu sama wajahnya yang pucat karena setelan muka dia memang begitu. Dia udah dimasukin black list sama anak PMR yang lain. Makanya dia selalu cari target baru," lanjutnya.

"Jangan bilang 'ketipu' Ban," sela Jackson. Ia menoleh ke arah Jia. "Itu kesannya kayak membodohi. Padahal 'kan dia udah melaksanakan tugasnya dengan baik. Ya nggak Jia?"

Apa tadi itu pujian? Atau permintaan maaf yang tersirat? Yang jelas Jia sama sekali tidak merasa dipuji apa lagi terhibur. Mendapat pembelaan dari orang yang barusan membohonginya malah terasa menjengkelkan. Ia mendengus kesal.

"Tau ah. Kak Banu, aku balik jaga ya," pamitnya buru-buru.

"Jia, makasih loh," Jackson masih mencoba untuk berdamai.

Jia sengaja mengabaikannya. Pintu ruang UKS sekarang tertutup. Ia bergegas kembali ke lapangan. Berharap tidak perlu berurusan dengan cowok aneh bernama Jackson itu lagi.

***

Di depan Jackson, teman-teman sekelasnya tengah asyik bermain sepak bola. Kelihatannya seru. Ia ingin sekali bergabung. Sayangnya tidak bisa. Ia telah berhenti memainkan segala jenis olahraga yang menguras tenaga seperti itu sejak SD. Kehadirannya di jam olahraga pun, seperti biasa, hanya sebagai formalitas.

Jackson hanya dapat mengikuti kegiatan senam lantai yang membosankan. Gurunya hanya akan menyuruh Jackson memperhatikan saat beliau memberi contoh teknik sepak bola atau olahraga lainnya, lalu memanggil Jackson untuk mencobanya satu kali demi memberi penilaian. Ya, hanya sekali. Sisanya bakal seperti ini. Jackson akan duduk di pinggir lapangan. Menonton teman-temannya bermain sepak bola atau basket sampai ia ketiduran.

"Heh, ngapain lo?"

Banu, yang badannya basah dan bau oleh keringat setelah bermain selama satu babak penuh, duduk di sebelahnya.

Jackson mengantungi obat semprot hidung miliknya. "Nyimeng."

"Orang gila."

"Makasih."

Sejenak mereka terdiam menatap kawan-kawan mereka yang lain. Menikmati angin pagi.

"Anak PMR yang kemarin cantik juga Ban," Jackson mengerling penuh arti.

"Jia?" Banu terkekeh. "Jangan mimpi lo bisa dapetin dia."

"Ya. Cewek independen gitu mana mau sama cowok lemah kayak gue."

"Bro, gue bercanda lagi," nada suara Banu berubah serius. "Lo naksir dia?"

"Mungkin," Jackson masih ragu. "Ada tips buat deketin dia?"

"Gue pribadi sih nggak kenal deket sama Jia tapi..." Banu mengusap dagu, kemudian sekonyong-konyong menjentikkan jari. "Waktu pelantikan PMR gue belajar satu hal tentang dia."

"Apaan?"

"Tantangan," ucapnya sok tahu. "Dia suka tantangan."

Biar merasa tidak yakin, Jackson mengangguk beberapa kali. Ia duduk menyilangkan kaki. Memandang kembali ke lapangan, tetapi isi kepalanya memikirkan hal lain.

"Tantangan ya."

Dokter untuk JacksonWhere stories live. Discover now