Bab 1. Sebuah Game Baru

141 8 9
                                    

Jam weker berbunyi di pagi hari seperti biasanya membangunkanku. Aku menggerakkan tanganku dengan malas untuk mematikan jam tersebut. Setelah jam itu mati, aku tetap tak memiliki tenaga untuk bangun dari tempat tidur. Alasannya? Karena aku bergadang semalaman menyelesaikan laporan praktikum ilmiahku sepanjang 8 lembar.

Terdengar suara membuka kulkas dan suara orang menyalakan kompor gas dari bawah. Ah, paling itu hanya Vina- Tunggu! Vina?!

Meski tak memiliki tenaga sama sekali, aku tetap memaksakan tubuhku berlari kebawah. Tepatnya kearah dapur yang berada dibagian belakang rumah. Disana kulihat seorang gadis berusia 14 tahun yang mengenakan apron diatas seragam SMPnya sedang mengaduk telur. Aku berlari kearahnya dengan pikiran agak berantakan dan merebut adonan telur itu.

"Tunggu kak, apa yang kau lakukan?" tanya gadis itu yang adalah adikku, Vina.

"Aku yang seharusnya berkata begitu! Apa yang kau lakukan?".

"Tentu saja aku memasak sarapan?" jawabnya ringan.

"Apa kau ingat apa yang terjadi terakhir kali kau memasak?!" bentakku pelan, setelah itu mengalihkan perhatianku pada adonan yang dia buat, "kau tidak memasukkan sesuatu yang aneh kedalam sini'kan?".

"Apaan tuh kak? Jahat banget pendapatnya! Tentu saja aku tidak memasukkan hal yang aneh kedalamnya!" jawabnya santai.

"Kalau begitu, apa saja yang kau masukkan kedalam sini?".

"Bawang putih 2 biji, bawang merah 2 biji, jahe 1 buah, kenci 2 lembar yang dipotong, dan juga susu coklat.".

"..."

Tak ada yang bisa kukatakan. Apa yang sedang dia buat? Itu bahkan bukan bahan-bahan normal membuat makanan dengan telur!

"Kenapa kau menambahkan bawang putih dan bawang merah?".

"Karena mereka baik untuk kesehatan, juga rasanya cukup enak." jawabnya tanpa rasa bersalah. Oke, aku setujui perkataan ini. Untuk saat ini.

"Kalau begitu, bagaimana dengan jahe?".

"Jahe bisa menghangatkan tubuh dan memberi aroma yang bagus." jawabnya lagi dengan santai. Aku juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan perkataannya.

"Kalau kenci?".

"Sebenarnya aku ingin memakai muncang, tapi karena kehabisan aku memakai kenci. Bentuknya mirip soalnya.".

"..."

Setiap jawabannya benar-benar tak ada yang salah. Tak ada yang salah tapi...

"Sudahlah... Biar aku saja yang membuat sarapan. Kau santai saja di ruang makan.".

"Heeh... Tapi aku ingin membuat sarapan hari ini. Dan lihat! Kakak bahkan belum bersiap ke sekolah, lebih baik aku yang membuat sarapan sementara kakak bersiap-siap.".

'Lebih baik aku telat ke sekolah daripada harus opnam di rumah sakit selama seminggu' adalah apa yang kupikirkan, tapi tak mungkin aku mengatakan itu. Setelah beberapa rayuan untuk makan malam nanti, akhirnya aku bisa membujuknya meninggalkan dapur.

Mengingat waktu ke sekolah tinggal 40 menit dan aku belum bersiap-siap, aku hanya membuat roti bakar dan telur mata sapi sebagai sarapan ditemani susu untuk Vina dan kopi untukku. Aku membawanya ke ruang makan dan memberikan Vani bagiannya.

Kami makan berdua seperti ini hampir setiap hari karena kedua orang tua kami sering sekali pergi keluar kota untuk urusan bisnis. Ah, aku baru ingat. Aku memungut sebuah surat yang terjatuh dari tas Vina kemarin. Aku mengeluarkannya dari sakuku, itu berada disana sejak kemarin.

Tidak Ada Cheat di Dunia LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang