I

208 32 18
                                    

"Anne Marie, melaporkan." Rekaman berhenti.

Anne Marie menoleh ke belakang. Melihat TKP yang sudah disegel garis polisi.

"Mengerikan, ya." Itu suara kameramen, partnernya.

"Ya, mengerikan, dan aneh."

"Aneh?" Kameramen itu memasukkan kamera ke dalam tas.

"Kau tak lihat bagaimana kondisinya?"

"Oh, iya juga sih." Lalu mereka masuk ke mobil van. Meninggalkan para polisi yang sibuk di TKP, berdesakan dengan orang-orang yang mengerumuninya.

Pukul 7 pagi waktu setempat, ketika hujan salju mereda, seorang pria menemukan jasad pacarnya sendiri. Tertimbun kumpulan salju dalam keadaan membeku. Ketika dilakukan penggalian, tersingkap kondisi jasad yang telah memucat, tubuhnya diselimuti es tipis. Ia memakai gaun terusan sederhana berwarna putih, ada bunga palsu di tangannya yang telungkup di atas dada.

Penyelidikan lalu dikembangkan. Polisi tak ingin media lebih cepat dari polisi, mereka cenderung stress jika terjadi kepanikan masal gara-gara media atau pihak-pihak sipil yang menyebalkan. Theo dan Penelope termasuk ke dalam golongan itu, sebelum atasan mereka yang cerewet mengeluarkan perintah, mereka segera menyisir lokasi sekitar TKP. Target penyelidikan mereka ada di dua puluh rumah di kiri dan kanan dari TKP. Itu berarti meliputi rumah-rumah penduduk, apartemen, kafe, dan sejumlah pertokoan.

"Yang memiliki CCTV di depan rumah hanya ada lima belas lokasi, di penthouse dan beberapa toko," ujar Penelope sambil merekamnya.

"Baik, sepertinya kita sudah menyisir sayap kanan." Theo mengambil rokok dan pemantiknya. "Saatnya berbalik." Penelope mengekor di belakangnya.

"Oke, kita berpencar seperti tadi, kau pergi berkeliling mencari titik CCTV dan mewawancarai orang-orang di bagian kiri jalan, aku ke kanan." Penelope mengangguk, Theo bergegas ke bangunan di belakangnya.

Theo menengok ke papan nama dari piringan besi yang digantung tak jauh dari tembok. Tulisan yang berbunyi Avalanche Cafe ditulis dengan cat coklat yang kentara jika dilihat dari jarak lima belas meter.

"Masuklah, Tuan!" Seorang pria berkumis melengkung membuka pintu masuk. "Kafe ini memang belum buka, 'tapi aku tahu kalau aku harus melayani polisi."

"Ah, baiklah, maaf mengganggu." Theo masuk dan pintu mengayun tertutup, bel di atasnya bergemerincing.

Ia memandang sekeliling ruangan, merekam keadaan fisik interior kafe yang ia masuki. Seluruh tembok di ketiga sisinya hanya memperlihatkan bata dan sisa-sisa keprok yang semennya dicat putih dan sepertinya sengaja dibakar.

"Duduklah di manapun, Tuan, kau mau minum? Gratis, kok."

"Ah, tak usah, aku kemari hanya untuk sedikit pertanyaan," ujar Theo sambil menghampiri konter.

"Silakan."

"Boleh kutahu namamu?"

"Jonas." Ia mengucapkannya dengan Yonas.

"Kukira namamu Avalanche." Theo memiringkan kepala, Jonas terkekeh.

"Jadi, dari dataku ada yang menyebutkan bahwa semalam,gadis yang ditemukan meninggal itu sempat memasuki kafe ini?" sambung Theo.

"Benar, aku sendiri yang melayaninya," jawab Jonas. Theo segera mengetik jawaban Jonas.

"Apa dia sempat berbicara yang aneh-aneh? Atau apapun?"

"Oh, yang pasti dia memesan anggur. Banyak, tidak, banyak sekali lebih tepat untuk menyebutkannya." Theo mendengar sambil mengetikkan sebaris kalimat 'memesan anggur'.

"Dia kuat sekali. Ia tetap diam dan sama sekali tidak mabuk padahal wajahnya sudah memerah, ia berkeringat sekali padahal di luar sedang hujan salju yang lumayan lebat.

"Saat kafe sudah sepi pelanggan dan para pegawai pulang--jujur saja, aku memulangkan mereka lebih awal selain karena hujan salju adalah karena kebanyakan mereka bekerja paruh waktu atau masih sekolah, mereka harus segera beristirahat.

"Jadi, ketika sudah sepi dan hanya tinggal aku, aku menyarankan gadis itu untuk segera pulang. Namun, saat itulah ia mulai meracau--memaki."

"Seperti apa?" sambung Theo.

"Lelaki berengsek! Kau! Dasar kau daki sialan! Bisa-bisanya kau ya! Dasar lelaki sialaaaaan!" Jonas memukul-mukul meja.

"Seperti itu?" Theo mengernyit.

"Ya, lalu ia berbicara sendiri, ia menceritakan semua kisah romansanya padaku. Termasuk suatu masalah yang membawanya ke sini untuk mabuk."

"Kau tahu masalah apa itu?"

"Oh, dia cukup bisa mengendalikan diri, ia tak mau menyebutkannya. Lalu aku menyuruhnya pulang dan membayarnya besok saja. Hujan salju di luar semakin lebat dan tampaknya gadis itu harus menaiki taksi. Aku agak sangsi akan ada taksi lewat sebenarnya, tapi seperti itulah yang terjadi."

Theo mengangguk-angguk sambil ketak-ketik di ponsel. "Lalu dia keluar kafe dan kau tidak tahu ia ke mana, esok harinya, tiba-tiba gadis itu sudah menjadi patung es di luar sana?"

"Tepat, Tuan. Setelah ia pergi dari kafe, aku ke dapur dan ruang penyimpanan bahan makanan. Aku rutin melakukan cek, jadi aku harus mempersiapkan bahan apa saat esok harinya atau terpaksa menghapus menu."

Theo mengedarkan pandangannya lagi, lalu menemukan CCTV di pojok ruangan yang ia prediksi mampu menyorot satu ruangan itu.

"Lalu, bisakah aku memintamu menyiapkan rekaman CCTV? Aku tahu ini agak tidak sesuai prosedur, surat penggeledahan belum keluar, jadi aku hanya memintamu untuk menyiapkannya saja."

"Tentu, Tuan. Namun, ada yang aneh, aku agak ragu apakah CCTV itu merekam kejadian semalam," ujar Jonas. Theo kembali memandang sebelum menghela napas berat.

Warna merah yang menandakan CCTV itu merekam tidak terlihat sama sekali.

"Tenang saja, Tuan, kuharap rusaknya CCTV itu baru pagi ini, pokoknya aku akan menyiapkan rekamannya."

"Baiklah, tolong ya."

Theo mohon undur diri diiringi senyum hangat Jonas. Tepat saat ia memutar knop pintu, ia teringat sesuatu dan kembali berbalik.

"Pertanyaan terakhir, Tuan. Bagaimana kau tahu kalau aku polisi?"

"Oh, kau lupa merapatkan mantel hangatmu," jawab Jonas, "dan lagi, di luar sedang terjadi sebuah kasus, ada banyak polisi di sana, sepertinya itu sudah cukup meyakinkanku bahwa kau polisi tanpa perlu melihat lencanamu."

"Oh, maaf, aku tadi lupa mengeluarkan lencanaku, ya ...."

Jonas tersenyum lagi. "Sebaiknya kau merapatkan mantelmu, Tuan. Di luar dingin sekali, sepertinya hampir nol derajat, ya?"

Theo mengangguk, "terimakasih." Lalu ia menarik pintu dan melangkah ke luar. Pintu otomatis terayun menutup.

Ia melihat van polisi sudah datang, dan seorang pria yang berstatus saksi dari penemuan mayat pacarnya sendiri di ajak masuk ke bagian belakang mobil van. Tak perlu berlama-lama, Theo segera menuju lokasi selanjutnya.

[*]

SaljuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang