Prolog

17 4 0
                                    

 Seorang gadis berambut ikal kecoklatan yang dikuncir kuda berjalan menghampiri gadis lainnya yang saat ini masih duduk di mejanya dan tengah mengemasi barang-barangnya ke dalam tas.

  " Ray, jadwal kuliah lo juga udah habis,kan? Yuk, pulang."

Gadis yang dipanggil mendongak, kemudian menunjukan wajah menyesal.
  " Aduh, sorry, ya, Mar. Gue hari ini dijemput sama Pijar."

Marie mengernyit, " Lah, lo kan dilarang pacaran sama dia?"

  " Bukan dilarang juga, sih." Raya bergerak menyandang tasnya.

  " Terus kalau ibu lo ngelihat, bukannya malah diceramahin nanti?"

  " Ah, gampang. Kalau itu nanti aja dipikirin." Raya tersenyum manis dengan sebelah alis diangkat, tak terlalu peduli.

" Lo yakin, Ray?" Marie kembali mengulang pertanyaannya.

Raya mengangguk mantap. Senyuman lembut terlukis dibibir.
  " Gue yakin, Mar, seratus persen."ujarnya.

Marie menghela nafas, hanya dapat pasrah dengan pilihan temannya itu. Lagipula gadis itu yang akan menjalani bukan dia.

  " Tuh, dia sudah menunggu. Gue duluan, ya?"

Dan tanpa menunggu tanggapan dari Marie, Raya sudah berjalan lebih dulu menuju gerbang kampus dimana seorang lelaki tengah menunggunya dengan sepeda gunung berwarna hijau dengan corak tulisan kuning. Mereka tampak berbincang sebentar sebelum Raya menaiki boncengan sepeda. Si lelaki pun melajukan sepeda meninggalkan kampus.

.
.
.
.
.
.
.

  " Kamu gak malu aku jemput pake sepeda butut ini ke kampus?" Pijar, lelaki yang sedang mengendarai itu, bertanya ragu.

Raya tertawa, menjawab santai pertanyaan sang kekasih. " Enggaklah. Kamu kayak gak kenal aku aja."

  " Yah, tapi anak-anak kampus pada ngeliatin tadi."
Pijar agak menunduk, rasa rendah dirinya mencuat begitu mengingat pandangan anak-anak kampusnya Raya padanya.

  " Udahlah, cuekin aja. Tujuan kamu itu kan aku, bukan mereka." Raya mengayun-ayunkan kakinya, sudah biasa dengan sifat rendah diri pacarnya itu yang tiba-tiba muncul.

  " Tapi, Aya-"

Greb

Namun akhirnya raya agak kesal juga. Ia menyentuh pundak Pijar, membuat lelaki itu menoleh. Raya pun menunjukkan senyum tipisnya.

  " Jar, ini bukan karena kamu keberatan aku minta jemput, kan?"

Mata Pijar langsung melebar, dengan cepat ia menyergah, hampir berteriak.

  " Nggak mungkinlah!"

Gerakan tiba-tiba lelaki itu membuat sepeda itu oleng, dan hampir jatuh kalau saja Pijar tidak cepat tanggap dan kembali ke posisi semula.

  " Mana mungkin aku nolak kalau itu buat kamu. Lagian, kita juga jarang ketemu,kan?"ucapan Pijar berubah mencicit begitu diakhir kalimat.

Mendengar hal itu senyuman Raya melebar,
  " Bagus, aku juga gitu, jar. Kalau begitu setiap sempat, kamu jemput aku,ya?"

Melihat pacarnya yang kegirangan, mau tak mau Pijar ikut tersenyum.
  " Hmm... iya deh."

Sreg!

Tiba-tiba sepeda oleng lagi karena Pijar sibuk menoleh ke belakang tanpa memperhatikan jalan berlubang di depan. Dan sepeda mereka benar-benar jatuh tertelungkup menimpa mereka berdua.

  " Raya! Kamu gak apa-apa?!" Pijar berseru panik, cepat-cepat memeriksa keadaan Raya.

Raya hanya menggeleng, tersenyum geli melihat tingkah berlebihan pacarnya.
  " Gak, cuma luka gores sedikit, kok."

  " Seharusnya aku hati-hati tadi." Raut wajah Pijar berubah sendu, penuh rasa menyesal.

  " Ini juga salahku, kok. Harusnya aku gak ngajak kamu bicara tadi. Udah, kita lanjut aja." Raya kemudian membantu Pijar mendirikan sepeda.

Pijar masih tampak panik, namun segera menaiki sepeda diikuti Raya. " Kita ke apotek dulu, ya , beli obat luka buat kamu?"

Raya akhirnya tak bisa menahan tawanya melihat tingkah lucu cowoknya itu. Sedangkan Pijar hanya mengerut bingung, bercampur kesal.
  " Kok kamu malah ketawa?!"

  " Habisnya kamu lucu, jar."

  " Lucu apaan?! Aku panik begini!"

Raya pun berusaha menghentikan tawanya dan menggantinya dengan senyuman hangat yang selalu digunakannya saat Pijar panik seperti sekarang ini. Senyuman itu pun berhasil menentramkan hati Pijar dan membuatnya tenang.

  " Aku beneran gak papa, sayang. Lanjut aja jalannya. Nanti lukanya aku obatin di rumah aja."

  " Beneran, nih?"

  " Iya!"

Pijar pun menghela nafas dan kembali melajukan sepedanya dengan kecepatan sedang. Di belakangnya, Raya memperhatikan setiap suasana yang tampak pada sore hari kota Jakarta.

Orang-orang masih ramai memadati jalanan, baik itu para karyawan kantoran ataupun siswa-siswa sekolahan. Tidak mempedulikan langit yang mulai menunjukkan lentera jingganya, berbanding terbalik dengan Raya yang menikmati pemandangan itu diiringi  bunyi goesan sepeda dan siulan yang sesekali di keluarkan Pijar.
Perlahan ia memejamkan mata, senyumnya mengembang.

Sungguh, bagi Raya asal itu bersama Pijar, ia rasa semua akan baik-baik saja.

.
.
.
.

Ckitt...

Sepeda gunung Pijar pun berhenti di depan pagar sebuah rumah minimalis yang dengan cat putih gading. Raya turun dari sepeda, sedangkan Pijar memperhatikannya dengan penuh perhatian hingga akhirnya kekasihnya itu benar-benar berdiri dengan tegap.

Tatapan mereka pun beradu. Pijar langsung menunjukkan senyuman manisnya, menampakkan sepasang lesung pipinya.

  " Aku pulang dulu."

  " Iya. Hati-hati bawa sepedanya, jar."

  " Iya, Aya." Pijar melempar senyum manis lalu melajukan sepedanya meninggalkan gerbang rumah Raya.

Raya pun berjalan menuju pintu rumah. Rumahnya itu hanya rumah sederhana yang memiliki halaman kecil dan berdempetan dengan rumah warga lainnya.

Di depan pintu rumah, sang ibu sudah menunggunya dengan raut wajah masam. Raya hanya membalas dengan senyum lebarnya.

  " Bu, aku pulang!"serunya riang.

  " Jangan pikir ibu gak lihat, Raya. Kamu pulang sama laki-laki itu lagi,kan?"ujar ibunya.

  " Namanya Pijar, bu." peringat Raya. " Aku emang pulang sama dia kok."

Astuti menghela nafas melihat tampang tak bersalah si anak. " Kamu belum putusin dia?"

  " Aku gak punya alasan buat mutusin Pijar,bu."ujar Raya.

  " Tapi dia cuma lulusan SMA nak. Masa depan buat lulusan SMA itu sulit sekarang, gimana kalian bisa bertahan kedepannya?"

Raya tersenyum lagi, menatap sang ibu dengan sorot tegas, " Bu, aku mau jalani dulu yang sekarang. Kami udah pacaran selama tiga tahun, dan aku kenal baik siapa dia. Pijar itu baik, sopan, dan gak ada yang kurang sama dia." Ia berujar berusaha meyakinkan sang ibu.

  " Aku masuk dulu, ya, bu."
Raya lalu melenggang masuk ke dalam rumah dan berjalan memasuki kamar.

Sejak ia memasuki dunia perkuliahan, banyak sekali orang yang tidak setuju dengan hubungannya dan Pijar. Pijar hanya lulus SMA lah, Pijar gak sejajar dengan dia lah, Pijar gak bakal sanggup menghidupi dialah. Padahal manusia itu sederajat, dan yang terpenting ia bahagia bersama Pijar.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

  Tbc

Hai, hai^^

Ini karya keduaku. Mungkin agak aneh atau kurang srek gimana, ya...wkwk... Jadi, minta responnya, ya? ; )

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love is SimplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang