Abirah Larasati,
Yah, itu adalah nama gadis dengan tubuh mungil yang begitu menderita kehidupannya. Ia tinggal di rumah mewah milik tuan Wisma surya .Beberapa bulan silam, hidupnya sangatlah mewah, ayahnya seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama, semua kebutuhannya terpenuhi kala itu, tapi sejak hadirnya ibu tiri dirumahnya semua yang dimiliki keluarga Abirah di rampas habis oleh ibu tiri kejam itu, bahkan ayahnya hampir saja meninggal karena jatuh dari balkon lantai dua, dan sekarang ayahnya terbaring koma di rumah sakit.
Lalu kenapa Abirah bisa berada di tempat Wisma Surya? Jawabannya karena ibu tirinya menjualnya. Yah. Kejam. Memang kejam. Bahkan setelah ia merebut segalanya kini ibu tirinya itu menjadikan Abirah sebagai ladang uang.
Kini kehidupan Abirah sangatlah miris. Ia harus melayani Wisma sebagai seorang tuan . Sungguh ini semua sangat kejam. Belum lagi ia harus membiyayai uang rawat ayahnya.
Dan saat ini,
Perutnya berbunyi meminta asupan makanan. Sungguh ia lapar tapi seperti yang di bilang tuannya, Abirah hari ini tak dapat jatah makan.
¤¤¤¤
Teriknya matahari menyelinap masuk, membawa tidur nyenyak Abirah kembali ke dunia nyata.
Abirah menguap pelan. Dilihatnya jendela di sebalah kanan "sudah siang" katanya beranjak mengambil handuk di dekat kardus baju lalu pergi ke belakang untuk mandi.
Setelah selesai membersihkan diri, Abirah pergi menuju ruang makan, ia mendekati Wisma yang tengah sarapan.
"Inih" Wisma memberi nasi dan juga tempe goreng disana.
"Terima kasih" ucap Abirah lalu pergi membawa piring berisi makanan ke kamarnya.
Ah, iya, kalian harus tau, kamar yang ditempati Abirah bukanlah kamar mewah yang biasa ditempati orang-orang kaya, tapi kamar Abirah hanya bekas gudang kecil yang kumuh.
Ia memilih tidur di sana ketimbang dirinya terus-menerus tidur di kamar mandi seperti pertama kali menjadi budak . Tak apalah digudang itulah tempatnya mengaduh cerita pada malam yang sunyi.
¤¤¤¤
Wismaya suryana
Lelaki tampan, kaya, dan kejam.
Lelaki itu berusia 30 tahun, ia adalah seorang penulis terkenal dan juga modeling di salah satu Agensi ternama di indonesia. Namanya sudah booming di indonesia, tapi..mereka para manusia diluaran sana hanya melihat lelaki itu dari wajah tampannya saja tidak dari latar belakangnya.
Lelaki dengan nama Wisma itu kini telah pergi menjalani rutinitasnya sebagai modeling. Disaat dirinya pergi Abirah selalu saja bernafas legah, ia sangat takut dengan tuan yang membeli dirinya itu.
"Nona, mau aku bantu?" Tanya Bik Tami pembantu dirumah ini.
"Tidak usah bik, birah bisa sendiri kok" jawab Birah sembari menyiram tanaman di belakang rumah.
Beginilah pekerjaan abirah ketika tak ada Wisma, ia selalu menyiram tanaman di taman lalu membantu bik Tami melakukan pekerjaan rumah.
"Nona, pekerjaan saya sudah selesai, boleh saya pulang, saya harus menjemput cucu saya" kata bik Tami meminta izin.
"Boleh bik, salam dengan cucu bibik ya" kata Abirah dengan senyuman manis.
Setelahnya bik Tami pergi. Tinggal Abirah seorang diri dirumah ini, rasa sepi ini mengingatkannya kepada sang ayah.
"Maafin Abirah yah" gumamnya pelan lalu menghapus sedikit air mata yang menetes dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
¤¤¤¤
Lelah. Hari ini Wisma begitu lelah dengan sesi foto di studio atasannya hingga ia pulang larut malam.
"Birah" panggil Wisma namun tak ada jawaban.
"Birahh" panggil Wisma lagi sembari berusaha membuka kancing kemejanya.
"ABIRAH!!" Teriak Wisma karena tak kunjung mendapat jawaban. Abirah yang tengah tertidur terlonjak kaget mendengar namanya di panggil, ia segera keluar kamar menghampiri Wisma.
"I-iya tuan" ucap Abirah takut.
"Dari mana sajau kau! Ku panggil sedari tadi tidak menjawab! Hah!" Teriak Wisma kesal.
"Ma-maaf tuan, tadi saya ketiduran" jawab Abirah menunduk takut.
"Ketiduran? Enak sekali kau, dengar,aku membelimu bukan untuk memanjakanmu seperti ratu, tapi untuk memperbudakmu, mengerti!" Jelas Wisma mencengkram dagu Abirah dan menghempaskannya.
Abirah kembali terisak. Ia melihat punggung lelaki itu yang baru saja pergi dari hadapannya. Ia menangis dalam diam, sungguh ia ingin ini cepat berahir, ia tak sanggup, ini terlalu menyakitkan untuknya.