Untitled - PROLOG

25 3 0
                                    

Ini, Mona. Terhitung dua tahun aku mengenal Dafa. Dia, bisa membuatku tertawa dan menangis. Kita saling mengenal saat masa Orientasi siswa.

Dia, selalu marah jika aku dekat dengan Andi, kakak kelasku. Tanpa alasan yang jelas dia selalu bilang. "Aku gak suka."

Setiap ku tanya alasannya, dia selalu bilang, bahwa tidak ada satupun yang boleh menyamai ketampanannya. Padahal, Dafa yang kukenal dan kulihat tidak sebaik dan setampan Andi.

Dafa selalu mengikutiku kesana-kemari. Dia bukan ekorku, dia bilang, dia sedang bertugas.

Terkadang teman-temanku bilang jika Dafa menyukaiku. Aku hanya mengiyakannya saja. Aku bilang pada mereka bahwa aku memiliki bodyguard berbadan upnormal. Mereka tertawa, panggilan bodyguard tidak cocok dengan Dafa. Tapi, itu lah julukan yang kuberikan padanya. Karena dia, aku bisa merasa tenang.

Dia yang selalu bersamaku, pernah bilang. "Mon, aku gak suka kamu kok, tenang aja."

Aku cerita padanya, kalau aku menyukai Andi. Esok harinya ku lihat terdapat plester di beberapa bagian wajah Andi yang terluka. Aku marah, benar-benar marah padanya. Dia yang memukuli Andi?

"Bukan aku Mon." Mulutnya terkadang tidak dapat dipercaya hingga ku harus memastikannya sendiri.

Aku bertanya padanya, kepada Andi. Dafa yang melakukannya? Andi membenarkannya dengan nada sangarnya diikuti umpatan kasar. Dia memaki diriku, dia juga memaki nama Dafa dengan umpatan kasarnya.

Saat itu, untuk pertama kalinya aku datang ke kelas dengan air mata yang tak kunjung henti. Tidak bisa kutahan, aku benar membenci Dafa saat itu. Cinta sepihak selama dua tahun yang kupendam kini hancur menjadi kepingan yang melukai hatiku.

Dipojok belakang kelas dimana mejaku berada, Dafa mendatangiku. "Kenapa?" Dia terus bertanya seperti orang tak bersalah.

"Kamu, kenapa?"
Lanjut Dafa yang memaksaku untuk memperlihatkan wajah yang sedari tadi kututupi.

Batas kesabaranku lepas, Aku berteriak padanya untuk tidak menggangguku lagi. Tanpa sadar, semua orang dikelas itu memperhatikan ku.

Aku tidak dapat berkata jujur padanya, bahwa Andi baru saja membentakku dan umpatan kasar yang keluar langsung dari mulutnya karena perbuatan Dafa.

Jika aku berkata seperti itu, mungkin besok aku bisa melihat wajah Andi atau bahkan wajah Dafa yang penuh dengan luka.

Setelah kejadian itu, Aku dan Dafa tidak saling mengontak satu sama lain. Namun, karena hal itu aku sadar jika aku merindukan dia setiap harinya. Meski kita masih bertemu dikelas.

Dafa, memiliki banyak bayangan di pikiranku. Terkadang baik dan lembut, terkadang galak dan kasar. Dua hal itu hanya ada saat dia bersamaku. Terkadang aku merasa itu tidak adil untukku.

Orang lain yang mengenalnya hanya akan merasakan satu hal di antata dua hal tersebut. Aku sangat mengenalnya. Sekali Dafa berkata tidak maka itu tetap tidak. Sama halnya jika ia tidak menyukai seseorang. Sikapnya dapat terlihat jelas.

Bagaimana jika ia menyukai seseorang? Ah, aku tidak pernah melihat ia seperti meyukai seseorang. Aku berpikir bahwa dia seorang gay?

Dafa selalu bilang kalau ia tidak tertarik dengan wanita lain. Tanpa sadar aku bertanya. "Kalau, aku?"
Dia terdiam membisu, menatapku tajam.

Memiliki orang seperti Dafa disampingmu dapat dikatakan beruntung atau tidak beruntung. Tetapi Dafa selalu bilang, bahwa aku adalah orang paling beruntung di dunia ini karena ada dia disampingku. "Sebagai bodyguard?"
Kali ini dia tidak menatapku. Dia hanya tersenyun tipis.

Hubungan pertemananku dengan Dafa perlahan membaik. Aku tidak tahu itu dimulai sejak kapan. Tapi, aku dan Dafa kini kembali bercanda tawa seperti biasanya.

Dafa tidak meminta maaf padaku. Itu bukan gayanya. Aku pun dibuat bingung, karena bisa memaafkannya seiring berjalannya waktu.

"Daf, besok anterin ke toko buku yu."

Dafa selalu mengangguk. kata-kata yang selalu kudengar dari mulutnya, seperti;
"hayu." ; "iya." ; "gak apa-apa."

Dia tidak pernah berkata tidak bisa atau enggak mau. Sebanyak apapun alasan yang ku buat, tidak pernah membuatnya berkata seperti itu.

"Daf, aku gak bisa kekantin." Ucapku.

"Kenapa?"

"Lagi PMS, nembus." Balasku dengan raut sedikit cemas.

"Pake jaket aku aja."

Tanpa merasa jijik, Dafa selalu melakukan itu. Dia bahkan tidak malu untuk membelikanku 'roti jepang'.

Saat bel pulang berbunyi, dia menghampiri mejaku.

"dijemput bunda gak?". Tanyanya.

"Enggak, bunda lagi sibuk."

"pulang bareng ya."

Dafa tidak pernah marah jika aku membuatnya menunggu. Dia selalu berada di warung Bu ijah, belakang sekolah. Disana, tempat biasa Dafa membeli gorengan dan berbincang-bincang dengan temannya.

Dia lah Dafa, orang yang selalu kucari dan orang yang selalu kutunggu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang