Seminggu setelah Anna dan Sam pulang, Dawson dan Elena memiliki rutinitas baru. Setiap siang menjelang sore, terik matahari membakar punggung Dawson. Elena sudah menyuruh pria itu untuk mengangkat tubuhnya dari danau, untuk berhenti berenang. Namun Dawson selalu saja belum puas membasahi dirinya.
Di pagi hari, Dawson dan Elena menyiapkan sarapan, tentunya vegan breakfast untuk Lena dan telur, sosis, bacon untuk Dawson. Siang hari, Elena akan duduk santai sembari mendengarkan lagu favoritnya, di tepi danau di depan rumahnya. Sementara Dawson akan menghabiskan waktu siangnya untuk berenang di danau tersebut.
Malam, mereka akan bercengkrama bersama di lantai teratas rumah. Saling bertukar pikiran, cerita dan informasi dari obrolan penting sampai yang tak perlu diobrolkan. Setiap lelucon yang terlempar dari mulut Dawson, membuat Lena mengguling-gulingkan badannya merasakan perutnya yang sakit karena tertawa terpingkal-pingkal.
Mereka akan makan malam sebelum akhirnya Lena memutuskan untuk tidur. Dawson akan mengantarnya sampai bingkai pintu kamar Lena. Satu jam setelah Lena terlelap, Dawson akan menghabiskan satu atau dua batang rokoknya lalu menyusul Lena di alam mimpi.
.
.
.Lena menggoyangkan tubuh Dawson yang masih terbaring lelap di atas tempat tidur. Lena membisikkan nama Dawson, berharap Dawson segera membuka matanya. Lena meraba setiap sisi wajah Dawson agar bisa memencet cuping hidung Dawson yang runcing itu. Tak lama, Dawson meregangkan tubuhnya sembari menguap.
Dawson membuka matanya. Mata birunya memicing, menyesuaikan silau cahaya yang masuk ke matanya, "Hey." Sapa Dawson.
"Tebak." Ucap Lena.
(...)
"Kabar bagus?" Dawson mengucek-ngucek matanya pelan.
"Ya! Tepat hari ini, kau resmi berada tiga bulan di sini!"
Dawson mendudukkan dirinya, menurunkan kakinya ke lantai. Ia meraih kaus oblongnya dan lekas memakainya. Dawson menatap wajah Lena yang sedang berdiri di hadapannya, mata hijau milik Lena berbinar bahagia.
(...)
"Itu kabar yang biasa saja, Lena. Kau sepertinya senang sekali karena akhirnya kau bisa minum. Aku tahu itu." Kekeh Dawson.
Lena hanya tertawa kecil. Dawson merangkul bahu Lena, membawa gadis itu berdiri dan berjalan menuruni tangga, menuju dapur.
.
.
."Apa yang akan ku makan sekarang?"
"Ta-da, kubuatkan blackberry banana smoothie bowl. Selamat makan." Dawson membawa kedua tangan Lena, membuatnya memeluk mangkuk tersebut.
"Wow!" ucap Lena semangat.
Dawson tersenyum manis, "Oh ya, kau keberatan kalau aku membersihkan dulu badanku?"
"Tidak tidak. Pergilah, Dawson." Ucap Lena seraya menyiukkan sendoknya.
"Baiklah," Dawson melangkah menuju kamar mandi, namun ia lekas memutar kembali tubuhnya, "hm... kau mau kubuatkan makan malam spesial?"
"Kau menanyakan makan malam ketika aku sedang sarapan?"
Dawson menggaruk kepalanya, pria itu membuat sengiran kecil, "Maaf."
(...)
"Tentu saja jawabannya ya."
Dawson berdecak pelan, "Ah, kau." Lena hanya tersenyum kecil merespon ucapan Dawson.
"Baiklah, aku harus segera mandi."
"OK!" ucap Lena penuh semangat.
.
.
.Sore itu, Lena membaringkan tubuh malasnya di sofa yang panjang. Dawson menemaninya, pria itu menghabiskan waktunya untuk menjahit bajunya yang sedikit robek karena tersangkut pada ranting pohon sewaktu tadi mereka berjalan pulang dari danau.
Lena bersenandung merdu menyanyikan lagu favoritnya. Sudah tak terhitung, berapa jalan lagu itu diputarnya.
"Dawson?"
"Ya?"
(...)
"Apa menurutmu... ada yang mau hidup dengan gadis sepertiku?" tanya Lena sembari memainkan jemarinya, mengaitkannya satu sama lain.
(...)
"Lena... semua orang butuh pendamping. Kau orang yang sangat menarik, kau teman bicara yang menyenangkan. Kau pasti akan mendapatkan yang terbaik dan tepat."
"Maksudku... apa ada seorang pria yang mau menikahiku?"
(...)
"Tentu, Lena. Suatu hari nanti, kau hanya perlu menunggu dan jangan berhenti berdo'a."
"Hm...," Lena mendudukkan tubuhnya. Ia menyugar rambut pendeknya pelan, "Dawson, apa kau punya seorang teman spesial?"
Dawson terkekeh pelan. Ia mengembuskan napas panjangnya sebelum berkata, "Ya." Jawab Dawson singkat.
"Ayolah, ceritakan pada temanmu ini." Raut wajah Lena terlihat sedikit penasaran akan kelanjutan kalimat milik Dawson.
(...)
"Baiklah, baiklah," Dawson berdehem pelan, ia mengambil posisi duduk bersila, tangannya ia simpan di atas meja. Mereka saling berhadapan sekarang, "sahabatku, mm... namanya John."
"Dawson!" Lena mengernyitkan dahinya, alisnya pun mengerut kesal.
Dawson tertawa lepas. Lena membuang napasnya kesal, ia kembali berkata, "Maksudku, seorang pacar atau-" Lena meniupkan udara seraya menggeleng pelan, tiba-tiba matanya membelalak kaget, "atau... jangan-jangan kau dan John-"
"Tidak!" ucap Dawson seraya tertawa lepas, "bagaimana dengan kau, Lena?"
Lena memainkan mulutnya ke kiri dan ke kanan, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir, "Hm... terakhir kali aku berpacaran... mungkin ketika aku berumur sembilan belas. Aku hanya punya tiga mantan di sepanjang sejarah hidupku. Blue, Cho dan... Douglas."
"Mereka terdengar seperti anak yang populer di sekolah." Ucap Dawson.
"Tentu saja. Aku tidak akan pernah mau berpacaran dengan lelaki yang cupu." Ucap Lena pelan, sedikit berbisik seakan-akan tak boleh ada yang mendengarnya selain Dawson.
"Wah, jadi mereka semua seorang petarung?" kekeh Dawson pelan.
Lena mengedikkan bahunya seraya tersenyum manis, "Ya, seperti itulah."
"Hebat sekali," Dawson menggelengkan kepalanya seraya memberikan tepuk tangan saat mendengar ucapan Lena, "apa mereka menjagamu dengan baik?"
(...)
"Hm...," Lena memutar bola matanya ke atas, "tidak sebaik seperti yang kau lakukan."
"Ah, lihatlah... kau memujiku." Ucap Dawson.
"Hey! Aku baru sadar, kau lari dari topik pembicaraan!" Lena mengangkat telunjuknya seraya membuka mulutnya lebar-lebar. Gelak tawa Dawson mulai memenuhi ruangan, "ayo cepat katakan... kau dan John."
🌳..........🌳
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
DUST IN THE WIND
Romance🐾Completed🐾 Aku pikir, aku hanya perlu menutup mataku ketika aku ingin merasakan hadirmu. Tapi ini berbeda, betapa sulitnya itu dilakukan. Semuanya tak lagi terasa sama.