Mengalah pada waktu, bersembunyi dalam rindu. Ketika jasad beku dipeluk tanah, ia tetap sama dan menunggu hingga waktunya tiba.
"Aku selalu rindu," lili putih terletak diam di bawah naungan nisan. Guguran mimoji merah pekat, menumpuk di satu sisi pembaringan. "Bersama dengan setiap embusan napasku, kau tetap hidup dalam ingatanku."
Jika mati adalah pemisah paling kejam, Gintoki tak bisa melakukan apa pun selain diam. Takdirnya sudah kukuh ditulis pada daun kehidupan. Tak mengistimewakan sesiapa pun, semua berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kenyataan yang terpampang di hadapan mata sekarang sudalah jelas. Ia dan Hijikata telah berbeda alam. Yang satu sudah diam melepas semua, yang satunya masih tetap tinggal di dunia dan merasakan banyak kesakitan yang tertinggal.
Tak ada biru baja yang menatap lembut kala senja. Juga sudah hilang sentuhan kasih sayang setiap kali kantuk membuai ketika malam. Dekapan penuh proteksi, senyum tipis nyaris tak tampak, kepulan asap pekat nikotin ketika sesosok jangkung datang-semuanya hilang. Mau itu kehangatan, juga raganya. Hijikata Toushirou tak ada di sini. Tak lagi sedia mendampingi. Sejak tahun lalu, tubuhnya telah kaku ditinggalkan ruh dengan nama yang telah dijemput kematian.
Ketika musim gugur lalu senyum itu masih jelas ditangkap netra, untuk tahun ini dan ke depannya, Gintoki harus bertahan dengan setitik ingatan yang diam-diam kabur digerus zaman.
Rest in Peace
Hijikata Toushirou
05 Mei 2094 - 10 Oktober 3020
***
Edo, 17 November 3021.
Mobil kecil hingga ukuran besar tak lagi berjalan lurus atau belok di atas jalan raya. Mengurai kemacetan, jalur udara kini bukanlah milik pesawat terbang saja. Ada kendaraan roda dua juga roda empat. Mobil panjang, pipih bahkan serupa ikan laut terbasar atau sebut saja itu paus-untuk keperluan pariwisata. Menggaris cakrawala, meninggalkan jejak berupa kumpulan asap membentuk lintasan putih di atas langit biru.
Gintoki menghela napas, musim gugurnya kali ini benar-benar tak karuan. Dikejar skedul padat sesak, ia merasa seperti dicekik pekerjaan. Sarapan pagi ini hanya kopi hitam juga roti bakar. Tak sempat membelai lidah dengan lembut susu stroberi juga penekuk madu buatan sendiri. Takasugi Shinsuke, teman sejawat sekaligus rekan kantor Gintoki, sungguh kejam membuat ponselnya ribut berdering di pagi hari. Menampar paksa kantuk, juga membuat Gintoki mau tak mau harus bersiap kerja.
"Mesin waktu yang kita buat sudah siap diuji coba. Untuk dua malam ke belakang, aku memang sengaja tak memintamu lembur untuk membantu penyelesaian. Tapi masalah uji coba, aku tak mau tahu. Semua kuserahkan padamu."
Dengan arogansi melebihi tinggi badan, juga tanpa basa-basi apa pun yang menyertai. Takasugi berhasil membangunkannya dalam satu tarik embus napas tanpa jeda, juga tak membiarkan Gintoki untuk sekadar merespon menggunakan gumaman.
Mobil hitam merendah di udara, segera menyentuh tanah dalam beberapa detik ke depan. Gedung tinggi yang tampak angkuh dan perkasa, berdiri menjulang di tengah kota. Tempat kerjanya memang membanggakan. Bagi yang sudah diterima hingga bisa kerja di dalamnya, takkan malu mengaku ketika ditanya bekerja apa.
Proyek kali ini sebenarnya hanya milik Takasugi, Gintoki di sini hanya bekerja sebagai asisten yang membantu jalannya pembuatan mesin canggih yang katanya akan dibuat pertama kali hingga bisa dijadikan praktis untuk beberapa tahun ke depan.
Mengunci pintu mobil, kaki jenjang berbalut celana parka berwarna senja melangkah cepat menaiki anak tangga. Sampai di lantai empat, sebuah kartu identitas dipindaikan pada mesin penjaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKISAU
FanfictionSeperti angin besar tak tentu waktu, takdir kadang pula begitu. . Aku jatuh cinta padanya sedari lama hingga lupa tepatnya. Menempatkan diri sebagai teman dekat, aku harap tetap bisa memberikan kebahagian yang sama meski dengan jalan yang beda. . ...