Awal Pertemuan Kami
---
Tidak seperti orang-orang yang menyukai bulan Desember, aku lebih menyukai bulan November. Karena di bulan itu, dia hadir. Hadir di alam semesta, hadir juga di duniaku.
---
Suatu hari di penghujung bulan Oktober, rintik-rintik hujan mulai turun membasahi tanah kota Bogor. Aku memeluk beberapa buku yang tidak cukup jika aku masukkan ke dalam tas. Tapi tolong jangan berpikir aku siswi teladan yang membawa tas besar berisi buku-buku tebal sampai aku harus memangkunya sebagian. Justru aku memangku buku-buku itu karena tasku kecil dan aku merasa risih jika harus membawa tas jinjing.
Aku melihat jam yang melingkar di tanganku, masih ada satu setengah jam lagi sebelum jadwalku untuk les. Aku berlari kecil menghindari kubangan demi menyelamatkan flatshoesku dari air hujan yang menggenang di mana-mana. Letak sekolahku cukup strategis karena berdekatan dengan McDonald's yang selalu menjadi sumber kebahagianku dan tempat persinggahanku saat menunggu jadwal les, seperti saat ini, aku berlari ke arah McDonald's dan tepat saat mencapai pintunya, hujan deras turun.
Aku langsung mengantre dan berniat memesan kentang goreng berukuran besar serta segelas minuman bersoda berukuran sedang.
"Hey!" Tiba-tiba ada sebelah tangan laki-laki yang merangkul bahuku dari samping. Aku sangat mengenal tangan dan suaranya, Lino. Mantan pacarku sejak tujuh bulan yang lalu, tapi kini aku memanggilnya sahabatku. Iya, persahabatan yang dipaksakan.
"Lepas ga?" ujarku sambil menepis tangannya dari bahuku.
"Ga mau, maunya es krim."
"Apaan sih ah, lepas!" Kini bukan hanya tanganku yang berusaha menepis tangan Lino, tapi aku menggerak-gerakan tubuhku agar ia melepaskan tangannya. Namun Lino malah mengencangkan rangkulannya. Akupun menyerah, aku membiarkan Lino terus merangkulku.
Giliran kami memesan akhirnya tiba, aku menambah pesananku dengan dua cone es krim vanilla, satu untukku dan satu lagi untuk Lino. Aku jadi ingat saat pertama kali aku berkenalan dengan Lino. Kejadian itu, berlangsung dua tahun yang lalu tepatnya saat kami berdua masih kelas sepuluh.
Saat itu, tanggal 20 Oktober 2015, aku sedang di McDonald's dan menyuapkan kentang goreng ke dalam mulut sambil memperhatikan pasangan kekasih yang sedang bercengkrama dengan asyik. Aku mengenal mereka, Athaya dan Adrian, teman sekelasku. Mereka terlihat sangat cocok dan membuatku iri karena aku sempat menyukai Adrian ketika awal masuk sekolah.
Tiba-tiba ada laki-laki yang menyapaku dan berkata, "Banyak yang bilang, kentang goreng kalau dicolek ke es krim vanilla itu pasangan yang pas. Mau coba?" ujar seseorang yang kini berdiri di samping kursiku. "Memang agak aneh sih makan es krim dingin-dingin gini. Tapi ini enak kok," lanjutnya sambil menjilat salah satu es krim vanila yang berada di tangan kirinya.
Aku membaca badge nama pada seragamnya yang bertuliskan:
R. A. LINO P. W
Nama yang aneh.
"Daripada liatin orang pacaran gitu, mending makan es krim dari saya." Dia menjulurkan tangan kanannya yang memegang es krim. "Belum saya jilat sama sekali kok. Tadinya buat anak kecil yang nangis liat saya makan es krim pas lagi ngantre, ya saya beliin, eh ibunya malah marah sama saya, katanya anaknya baru sembuh. Kan mana saya tau. Jadi intinya, ini buat kamu."
Aku mengerutkan keningku, bingung.
"Itung-itung nolongin tangan saya yang mulai pegel nih," katanya. Aku tersenyum kecil, kemudian mengambil es krim itu.
"Makasih."
"Sama-sama, nah, kalau gini kan jadi bisa kenalan." Ia menjulurkan tangan kanannya, mengajakku bersalaman. "Nama kamu siapa?"
"April," jawabku sambil tersenyum dan menjabat tangannya.
"Namanya lucu, kayak saya," ucapnya lalu tersenyum memperlihatkan lengsung pipitnya. Manis. Aku akui dia manis. "Saya permisi dulu ya, semangat, April."
Aku berucap dalam hati, "Lah nama dia siapa?"
"Oh iya, saya Raden Atazma Lino Pramelano Warganegara. Hari Kamis nanti, kamu bakal ke sini lagi kan? Semoga kamu udah hafal nama saya ya."
Sejak saat itu, Lino selalu menemaniku menunggu jadwal les di hari Selasa dan Kamis, ia juga sering menyapaku di sekolah. Berkali-kali aku dan Lino pergi ke kantin bersama. Raden Atazma Lino Pramelano Warganegara. Nama yang bagus bukan? Awalnya aku tidak bisa menghafal nama itu, namun lama kelamaan, tanganku sering tanpa sadar menulis namanya di buku pelajaran matematikaku, buku pelajaran sejarah, bahkan di meja sekolah yang harusnya tak aku kotori.
Di tanggal 4 November 2015, aku dan Lino sedang menghabiskan waktu istirahat di kantin, aku bertanya padanya, "No, aku mau nanya," ujarku sambil membuka bungkus permen relaxa lalu mengemut isinya.
"Apa?"
"Kenapa nama kamu kok unik? Kok kepikiran?"
"Loh? Nanyanya sama ayah atau ibu saya dong," katanya sambil tersenyum geli dan memperlihatkan lesung pipitnya.
"Ya maksud aku tuh... Gimana ya?" aku tertawa sendiri sambil menggaruk tengkuk.
"Maksud kamu tuh, kamu pengen tau arti nama saya?"
"Iya gitu. Apa artinya?"
"Raden ya nama keturunan. Atazma itu, diambil dari nama ayah saya. Pramelano, dari nama kakek nenek saya. Warganegara itu memang keluarga saya di belakang namanya ada Warganegara. Kalau Lino... Itu tanggal lahir saya. Lima November, jadi intinya saya besok ulang tahun," ia tersenyum sambil memperlihatkan deretan giginya.
"Besok? Eh beneran?"
Dia mengangguk.
"Yah, aku belum beli kado No."
"Ga usah beli kado, kamu udah jadi kado buat saya."
"Maksudnya?"
"Kalau nanti saya minta kamu jadi pacar saya, kamu mau kan terima saya? Itu saya hitung jadi kado. Ga usah dijawab sekarang, saya ga suka tanggal empat," katanya sambil terus tersenyum. Wajahku memanas dan aku yakin warnanyapun merah padam seperti kepiting rebus. "Ingat ya, kamu ga usah beli kado, atau beli kue. Saya pengennya kado saya itu kamu."
Keesokan harinya, aku memberikan ucapan selamatku untuk Lino. Tapi sepanjang hari itu tidak terjadi apa apa. Tidak ada peristiwa "menembak" seperti yang aku pikirkan hingga semalaman aku tidak bisa tidur dibuatnya. Hanya ada peristiwa Lino dikerjai oleh teman-temannya, dan setelah itu tidak ada apapun. Jujur, ada rasa kecewa yang entah hadir untuk apa. Namun aku tetap berhubungan baik dengan Lino.
Tanggal 11 November 2015, di hari Rabu pagi, aku mendengar suara klakson motor di depan rumahku. Aku keluar dari rumah lengkap dengan seragam dan melihat siapa yang ada di sana. Ternyata, Lino. Dia membawa setangkai bunga mawar lalu menyapaku dengan senyum manisnya.
"Kamu ngapain di sini pagi-pagi?" tanyaku yang tak sanggup menyembunyikan senyum.
"Saya mau jemput kamu sama nagih kado saya."
"Maksudnya?"
"Saya suka sama kamu, saya pengen di tanggal kesukaan saya bakal jadi tanggal kesukaan kamu juga. Kamu mau jadi pacar saya?" Ia memberikan setangkai mawar merah itu padaku.
Aku mengambil mawar itu sambil mengangguk dan tersenyum. Indah ya?
Tapi semua itu hanya masa lalu. Sekarang? Aku hanya "sahabat" untuk Raden Atazma Lino Pramelano Warganegara.
Bersambung
--
Kesamaan nama dan tempat memang disengaja namun kisah ini hanya fiksi belaka. Terimakasih untuk inspirasi nama dari adik saya, Raden Atazma Lino Pramelano Warganegara dan sahabat saya Aprilia Firdausya.
Sabtu, 20 Januari 2018
14:52
Pada saat saya bernegoisasi dengan Lino.
KAMU SEDANG MEMBACA
LiNo (Lima November)
Short Story"Tidak seperti orang-orang yang menyukai bulan Desember, aku lebih menyukai bulan November. Karena di bulan itu, dia hadir. Hadir di alam semesta, hadir juga di duniaku." -Aprilia Firdausya- LiN...