Suara ringkik kuda terdengar di kejauhan, memecah malam yang mulai pekat. Sawitri meraih buntalan baju yang telah ia persiapkan sejak sore. Perlahan ia menyelinap keluar bilik kamarnya yang sempit, menuju pintu samping. Tekadnya sudah kuat untuk meninggalkan rumah dan kedua orang tuanya yang sudah mulai renta. Apa boleh buat. Ia tak memiliki kekuatan untuk menolak lamaran Adipati Raditia penguasa Kadipaten Watungunut, wilayah dimana Sawitri lahir dan dibesarkan.
Lelaki beruban yang telah memiliki satu istri dan belasan selir, terpukau dengan kecantikan gadis belia itu. Bak bunga mawar hari ketujuh, kecantikan Sawitri memang segera mengundang berbagai jenis kumbang, termasuk kumbang gaek yang telah melumat puluhan bunga itu. Gelimang harta yang ia janjikan untuk Sawitri dan kedua orang tuanya sama sekali tak membuatnya tertarik dan malah membuatnya bergidik dan jengah.
Tapi kata-kata Adipati adalah titah mutlak yang tak seorangpun bisa menentangnya. Apalagi kedua orang tua Sawitri, pasangan petani miskin yang tak berdaya. Seberapapun air mata Sawitri terurai sebagai tanda penolakan, hanya sorot mata sedih yang menjadi jawaban dari kedua orang tuanya.
Namun masih ada secercah harapan. Wirandanu, lelaki yang dicintainya bersedia membawanya lari malam ini. Walaupun sangat berat hati, Sawitri telah memutuskan meninggalkan kedua orang tuanya. Entah apa yang kelak terjadi, yang pasti Sawitri tak hendak menyerahkan dirinya menjadi selir ke 15.
Sawitri mengendap keluar, sesosok laki-laki telah tegak di atas kuda menunggunya di balik semak-semak. Dengan sigap Sawitri menyambut uluran tangan Danu, tubuhnya rampingnya segera melayang mendarat dibelakang Danu.Kuda coklat itu mulai melangkah perlahan, kemudian berlari, semakin lama semakin kencang. Sawitri memeluk pemuda itu erat-erat, bersama seluruh harapan dan rasa cintanya. Ia begitu ingin segera menjauh dari kepahitan hidup yang tengah mengancamnya. Harapannya adalah hidup sederhana dengan lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Memiliki gubuk kecil dan anak-anak manis yang meramaikan hari-harinya.
Sawitri tersentak dari lamunan. Terheran ia mengedarkan pandangan ke kanan kiri jalan. Kenapa arah kuda bukan keluar dusunnya? Kuda itu justru berlari ke arah pusat Kadipaten.
"Kangmas?"
Wirandanu menghentak tali kekang, kuda coklat itu memelankan larinya lalu melangkah perlahan."Kenapa kita ke arah Kadipaten?"
Pemuda di depannya itu menarik nafas perlahan. Tak ada kata-kata yang keluar, diam. Seperti kudanya yang mendadak diam tak lagi melangkah."Kangmas?"
"Sawitri, maafkan aku," lelaki itu berbisik. Tangan kanannya beralih menggenggan tangan Sawitri yang memeluk pinggangnya, "aku tak bisa..""Maksudmu Kangmas?"
"Adipati.. ba..baru saja mengangkatku menjadi hulubalang," Wirandanu terbata, "ia pun menghadiahi orang tuaku rumah dan sawah.."Sawitri terhenyak. Ia segera menangkap apa arti semua ini. Lelaki yang dicintainya itu tak sedang berusaha menyelamatkannya, tapi justru akan menyerahkannya. Ia akan menukarnya dengan jabatan dan harta benda. Dan mungkin juga telah menerima anak gadis Adipati, yang memang mengincar Wirandanu sejak lama.
Sawitri segera menyentakkan tangannya dari pegangan Wirandanu, melompat dari kuda. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terguling di tanah. Tapi ia segera menguasai diri, berdiri dan berlari menerabas semak pinggir jalan, ke arah hutan . Wirandanu tak menduga Sawitri bereaksi secepat itu. Segera ia membalik kudanya dan mengejar.
Sawitri marah dan merasa sangat getir, hingga tak mampu menangis. Bagaimana mungkin lelaki yang ia pikir sangat dikenalnya dengan baik bisa menghianatinya dengan kejam? Terdengar derap kaki kuda mengejarnya di belakang. Sawitri mengerahkan seluruh tenaganya berlari sekencang mungkin. Menerjang belukar seperti banteng terluka. Ia tak bisa berpikir apa-apa lagi selain berlari. Bulan hari ke 12 tertutup awan tipis, sehingga jarak pandangnya sangat pendek, tak sampai semester, selebihnya terlihat samar.
Tiba-tiba bulan separuh bayang itu tersembul dari balik awan. Sawitri terkesiap, mulut jurang telah menganga di depannya. Langkahnya terhenti, berdiri gamang di tepi jurang. Selendang merahnya berkibaran tertiup angin, menutupi sebagian wajahnya yang panik. Sementara suara derap kuda semakin mendekat. Apa yang harus dilakukannya? Menyerah dan dibawa laki-laki jahanam itu? Atau melompat ke jurang? Atau apa? Apa yang harus dilakukannya?
----
"Ma.. mama.." sayup sebuah suara membangunkannya. Sawitri tergeragap bangun dan duduk dengan nafas yang masih terengah. Seluruh badannya bersimbah peluh.
"Mimpi buruk lagi?" Mas Danu, suaminya, duduk di pinggir tepat tidur, "ini minum dulu," ujarnya sambil menyorongkan segelas air putih. Sawitri minum beberapa teguk, lalu menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengusir sesak di rongga dadanya.
"Mimpi apa sih? Perasaan beberapa hari ini kamu sering mimpi buruk."
Sawitri tak menjawab. Ia memejamkan mata perlahan. Perasaan aneh tiba-tiba mengepungnya. Kesunyian yang mencekam merambati hatinya. Dari kejauhan terdengar ringkik kuda. Semakin lama semakin keras.
(bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGAT
General FictionKisah Sawitri dari dua dunia yang berbeda. Yang tengah dihadapkan pada bibir jurang kehidupan, memaksanya untuk memilih dan membuat keputusan-keputusan terberat dalam hidupnya.