One And Last

43 8 0
                                    

Kepingan salju di musim kemarau memang indah. Seindah mimpiku saat ini. Di bawah rinai hujan es, kaki-kaki kecilku melangkah menjauhi sumber cahaya satu-satunya di taman itu. Gelap malam mulai memerangkap penglihatan.

Rasanya baru saja aku melihat cahaya. Namun kini lampu itu mati. Meninggalkan aku sendirian di kelamnya langit biru tua dengan bulan setengah lingkaran sebagai cahaya penuntun. Walau redup, tapi cukup untukku sendiri.

Tiba-tiba semua berubah.

Haluan pandangan berganti menjadi sebuah jurang yang sangat terjal. Bukan diriku yang mengendalikan laju kaki, seperti ada yang mengontrolnya dengan sesuatu, aku berjalan mendekati jurang itu hingga terperosok ke dalamnya. Akan tetapi, mengapa mimpi ini justru berlanjut hingga aku terpental sebab telah berguling-guling dan mencapai puncaknya saat kepala menghantam batu besar.

Mengerikan bagiku yang mengalaminya. Setelahnya aku terbangun.

Tidak banyak yang dapat ku perbuat setelah mata menatap nakas sebab tidurku miring ke kanan. Dan tentunya dengan sebuah jam yang menunjukan pukul lima pagi waktu setempat.

Ini bukan pertama kalinya aku bermimpi buruk.

Apa hari ini akan ada badai salju dan membuat seseorang terjun?

Ini prediksi abstrak dariku. Aku harus memperingati orang yang ku kenal.

"Kakak! Cepat bangun. Dan, masaklah sesuatu," titah suara di balik pintu dan aku yakin itu milik kembaranku yang menyebalkan setengah hidup.

Pintu kamar terbuka lebar bersama gebrakan tangannya. "Kamu bisa aja membuat pintu itu rusak, hati-hati." Aku memarahinya sebab ini sudah kesekian kali ia membuat pintu copot kusennya.

"Maka dari itu, masaklah." Matanya berkedip genit. Ingin sekali ku tabok kepalanya yang berisi video porno itu. Wajar sih, karena dia cowok tulen.

Gerutuanku menjadi irama pertama yang aku keluarkan setelah mandi. "Kenapa tidak dia saja yang lahir duluan. Mana mau aku punya adik yang tidak tahu diri,"

"Kakak harusnya bersyukur, jika aku yang menjadi anak pertama, mungkin saja aku akan menikahi kakak. Tapi, karena kakak lebih tua delapan menit, aku tidak mau. Aku lebih suka perempun yang lebih muda, dan ..."

Tidak kudengarkan lagi apa yang ia bicarakan. Dia incest atau bagaimana, aku tak tahu. Selalu saja, 'jika aku lebih dulu lahir, aku akan menikahi kakak' adalah kalimat yang ia ucapkan jika aku mulai mengasihani diri yang menjadi kakak.

Jangan tanya dimana orang tuaku. Sebab mereka selalu melakukan hal diluar nalar. Contohnya sekarang di luar rumah ini. Mengamati bagaimana embun tercipta, dan tentu saja mereka tak akan berhasil. Ini musim kemarau yang kecil kemungkinan akan banyak membuat embun pagi.

Tetap saja, aku bersyukur keluargaku harmonis, walau semena-mena terhadapku.

Rangkulan di pinggang membuatku memutar mata jengah. "Masak apa San-chan?"

"Yang pasti makanan layak konsumsi untuk manusia, dan tolong," sendok yang kupegang mengisyaratkan untuk membuatnya menjauhiku, "tangan busukmu. Menjauhlah." Dan prediksiku salah, dia tak menjauhiku, melainkan tambah lengket.

"Hidoi.... Ie. Jahatnya.... Nggak mau!" Suaranya menegaskan ia menolak menurutiku.

*hidoi - jahatnya*
*ie - tidak*

Padahal sebelumnya prediksiku berkata bahwa ia akan menjauh dan menjahiliku dengan cara lain. Mungkin ini bukan hari keberuntungan bagi seorang gadis bernama Sandiza Matarham ini.

When I Must Go (One shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang