Abirah masih menahan rasa sakit ditubuhnya. Dikamar bekas gudang yang ia tempati ini ia merenung membayangkan hari esok dan selanjutnya.
"ABIRAH!" Teriakan itu, suara dari Wisma sang pria kejam yang selalu menyiksa dirinya memanggil namanya.
Abirah takut. Ia tak sanggup berdiri tapi ia harus mencobanya. Abirah bangkit dari karpet hendak berbiri namun dirinya terjatuh, ia berusaha kembali hingga usaha yang ketiga ia kembali bangkit.
Dengan jalan sedikit tertatih Abirah mendekati Wisma yang tengah berkecak pinggang menatapnya tajam.
"Iya tuan" ucap Abirah parau.
"Ku kira kau sudah mati" ujar Wisma.
Abirah diam, seiingin itukah Wisma pada dirinya. Apa salahnya hingga diperlakukan seperti ini, Abirah menahan sesak didadanya.
Wisma mendekat. Tangannya mencengkaram rahang Abirah hingga wanita itu mendongak.
"Cepat bersiap, kita akan menikah setelah ini" ujar Wisma menatap lekat mata Abirah.
Abirah melotot. Ia akan menikah? Sungguhkah? Mengapa? Abirah hanya bertanya dalam hati.
Setelah Wisma melepaskan cengkramannya. Abirah terduduk di lantai, wanita itu sungguh tak percaya jalan hidupnya begitu miris.
Di balik tembok, Arthur mendengar pembicaraan antara Wisma dan Abirah. Entah mengapa hatinya begitu sakit mendengar itu, wanita yang setu tahun lebih berusaha ia jaga kini akan di pinang oleh tuannya. Berhakkah dia marah? Sungguh hatinya terasa sakit, ia mencintai gadis malang itu.
¤¤¤¤¤
Abirah mengenakan kebaya putih dengan jarik setelan di bawahnya. Ia mengenakan kebaya yang diberikan oleh Wisma beberapa jam sebelumnya.
Wisma keluar dari kamarnya mengenakan setelan jas yang kucel namun masih saja terlihat tampan.
Wisma berdecih melihat penampilan Abirah. Sungguh flat, tak ada yang menarik, ia tak menyangka bisa menikahi wanita seperti mayat ini, jika bukan permintaan keluarganya ia tak sudi menikahi wanita itu.
"Ingat, katakan iya di depan penghulu nanti" peringat Wisma. Yang di peringati hanya mengagguk pasrah.
Abirah, wisma dam Arthur. Kini mereka ada dalam mobil. Hening tak ada yang bicara suara musik pun tak ada.
Artur melirik Abirah sejenak. 'Cantik' gumam Artur dalam hati lalu memfokuskan pandangannya pada jalan. Ia berjanji akan menghapus rasa sakit dalam diri Abirah ia tak perduli jika abirah sudah menikah, yang ia perdulikan ia mencintai wanita itu.
Kosong. Fikiran Abirah malam ini kosong, ia tak bisa berpikir lagi, ia tak tahu harus apa, yang harus ia lakukan adalah mengikuti semua perintah Wismaya Suryana.
3 saksi dan penghulu serta pasangan yang akan menikah kini sudah berada di ruangan. Abirah melihat sekeliling, ia tak tahu ini dimana, ruangannya begitu kecil dan sedikit berantakan.
"Bagaimana, mempelai pria?" Tanya pak tua berpeci yang disebut penghulu itu.
"Cepat" jawab Wisma malas.
Wisma segera menjabat tangan penghulu. Dan dengan satu kali ucapan Wisma dapat mengukuti arahan dari penghulu.
SAH!
kini Abirah sudah sah menjadi istri dari Wismaya Suryana.
Pernikahan indah yang diharapkan Abirah sudah tak dapat terwujudkan. Dulu ketika dirinya masih dalam keadaan baik ia sangat menginginkan pernikahan indah layaknya wanita lain, tapi kini bahkan pernikahannya begitu buruk.
¤¤¤¤
Abirah berdiri di dekat kompor. Ia hendak memanaskan air untuk membuat kopi. Ia termenung, "akankah hidupnya lebih baik setelah menikah? Atau lebih buruk?" Pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Hingga ia melupakan bahwa air yang di rebusnya sudah mendidih sejak tadi.
Setalah mengaduk kopi untuk Wisma, Abirah segera pergi ke kamar Wisma untuk mengantar kopi.
"Lama sekali!" Teriak Wisma ketika Abirah baru saja masuk.
"Ma-maaf" ucap Abirah menunduk.
"Maaf katamu?! Tak ada maaf bagimu!" Seru Wisma menarik kopi dari tangan Abir dan menyiramnya tepat di telapak tangan Abirah.
Wanita yang baru saja menyandang status sebagi istri itu kini merintih sakit. Panas. Telapak tangannya sungguh panas karena siraman kopi panas tadi.
Buruk? Yah, ia akan mendapatkan nasib buruk setelah menikah. Dan itu sudah jelas dari prilaku Wisma di kamar tadi.