Gadis Tak Dikenal

73 3 0
                                    

Angin pantai berhembus bebas tanpa halangan, kadang menyapa wajah para pengunjung. Menerpa kulit wajah, menerbangkan helai-helai rambut dan kibaran jilbab yang menutup indahnya rambut. Berhamburan anak-anak dan orang dewasa yang sibuk bermain air pantai atau hanya melihat-lihat desiran ombak yang begitu indah. Pantai Panjang adalah objek wisata paling dominan dikunjungi oleh warga Bengkulu dan Tourist dari luar daerah maupun luar negeri. Sesuai dengan namanya, panjangnya terbentang sepanjang jalan, dan bisa dipastikan sepanjang perjalanan dipantai tak ada yang terlihat kosong meskipun bukan saat weekend.
Terlebih lagi ini akhir pekan, pantai panjang begitu ramai dan padat. Cuaca panas disore hari tak menghalangi pengunjung untuk mendatanginya. Sudah lama sekali Nabila tak berkunjung ditempat ini dengan sahabatnya, Chyntia. Tugas kuliah dan kegiatan organisasi yang lumayan padat membuat mereka jarang meluangkan waktu untuk sekedar jalan berdua. Terlebih lagi mereka mengambil konsentrasi kuliah yang berbeda. Nabila adalah mahasiswi sastra Inggris, sementara Chyntia adalah mahasiswi Seni.
Indahnya kebersamaan dengannya, seakan tak mampu digantikan oleh apapun. Kini Nabila duduk dihadapan gadis berdagu indah itu. Semakin dekat, semakin perih. Tapi biarlah waktu yang memberikan jawaban, ketika semua memang sudah Tuhan tetapkan. Kata-kata lelaki bijak yang pernah diberikan kepada Nabila sebelum akhirnya ia mengungkapkan perasaannya cukup memberikan pengertian bahwa semua terjadi karena rencana Tuhan.
“Setiap orang yang ditempatkan dalam kehidupan kita tidak pernah ada yang kebetulan. Mereka punya porsinya sendiri untuk mengajarimu sesuatu.” Itu ucapan David saat Nabila gundah dengan posisinya.
Iya, benar. Allah pun tahu, Allah pasti mengerti mengapa akhirnya semuanya menjadi begitu kompleks. Nabila bahkan sibuk berdialog dengan dirinya sendiri.
Bibirnya tersenyum, tapi pandangannya menembus apa yang ada dihadapannya. Bahkan saat waiters menghidangkan es kelapa muda yang telah dipesan, ia tak juga menyadari.
“Nabilla..”
Ahh.. Agak heran Chyntia melihatnya kali ini.
“Ada apa, Nabila? Kau memikirkan sesuatu?”
Nabila langsung terperanjat memandang Chyntia.
“Eh,.. Maaf.., Maaf, Chyntia. Aku.. aku hanya sedang memikirkan tugas kuliah.” Nabila langsung meraih gelas sembarang. Meminumnya.
“Tapi.. itu minum pesananku. Bukankah kau memesan es kelapa muda?” Ucap Chyntia sambil menunjuk es kelapa muda yang lansung disajikan lengkap satu buah kelapa. Ia memasang wajah bingung. Mengerutkan kening.
Demi mendengar kalimat Chyntia, Nabila langsung tersedak dan refleks melepas pipet minuman dari mulutnya.
Kali ini Chyntia ikut sibuk. Ia mengambil beberapa lembar tisu dan memberikannya pada Nabila. Bahkan ia membantu mengelap baju Nabila yang basah.
“Hati-hati, Nabila.” Sambil masih mengelap
Mendadak Nabila menjadi salah tingkah. Bahkan ini parah sekali. Ia benar-benar kehilangan konsentrasinya.
“Kau baik-baik saja, Bil?” Chyntia masih berusaha memastikan.
“Eh, iya Chyn. Aku baik-baik saja. Aku benar-benar tidak sengaja meminum minumanmu barusan.”
“Tak apa, Bil. Itu bukan masalah. Aku bisa memesannya lagi. Tapi, apa kau sedang mempunyai masalah?”
Kali ini Chyntia memegang pundak Nabila dengan kedua tangannya.
“Nabila, Melihat tingkahmu kali ini, kau jelas sedang tidak baik. Aku mengenalmu. Kau pasti sedang mempunyai masalah serius. Berceritalah, Bil. Meskipun mungkin nanti aku tak bisa memberikan solusi, setidaknya aku bisa berjanji akan menjadi pendengar yang baik, agar bebanmu semakin ringan.”
Nabila menatap dalam mata Chyntia. Matanya mulai berkaca-kaca. Ini bukan hanya soal masalah yang sedang ia hadapi. Hatinya bahkan menjadi lebih perih saat mendengar kalimat Chyntia. Beberapa menit, airmatanya menetes. Ia berusaha menyeka ujung matanya. Ini benar-benar hanya soal waktu Chyntia akan tahu apa yang terjadi. Hanya soal waktu apakah Chyntia masih akan bersahabat dengan Nabila atau bahkan memutuskan memusuhinya. Marah dan membencinya.
“Kau sahabatku yang sangat baik, Chyntia. Terimakasih untuk semua hal baik yang kau berikan. Tapi percayalah, aku baik-baik saja.” Suara Nabila bergetar, serak menahan tangis. Meski akhirnya ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman mengembang.
Chyntia mengangguk, membalas senyuman hangat Nabila. Chyntia paham, Nabila pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak perlu terlalu khawatir.
Tak seperti biasanya saat pergi bersama mereka menghabiskan waktu berkeliling pantai dan berfoto bersama, kali ini mereka memilih hanya duduk dan menikmati datangnya senja. Ah, lebih tepatnya Nabila ingin menikmati kebersamaan bersama Chyntia. Ia bahkan tak tahu apakah masih akan ada kesempatan lagi melakukannya atau tidak.
“Hei! Kau lihat itu?” Chyntia memecah keheningan. Menunjuk sebuah keluarga yang sedang bahagia sekali menghabiskan waktu di akhir pekan dengan mandi bersama di pantai. Bersiram air pantai, saling menggoda, tertawa. Mereka terlihat sangat bahagia.
Nabila ikut tersenyum, menyaksikan. Salah satu kesamaan yang dimiliki Nabila dan Chyntia adalah mereka berada jauh sekali dari keluarga. Mereka merantau. Tinggal di kosan.
“Aku sangat rindu rumah. Mereka mengingatkanku pada Papa dan Mama.” Raut wajah Chyntia berubah menjadi sedih.
Nabila tersenyum. Memegang jemari Chyntia. “Aku juga merasakannya. Tapi kita harus sedikit sabar. Kelak, setelah ujian akhir, kita bisa pulang bersama.”
Kali ini Chyntia kembali tersenyum. Mengangguk. Menatap lembut mata Nabila penuh kehangatan dan kasih sayang.
Pada dasarnya mereka berasal dari daerah yang sama, hanya berbeda kecamatan. Namun nyatanya mereka tidak saling kenal. Justru David yang pertama kali mengenalkan mereka – membuat mereka bersahabat hingga saat ini.
Disaat mereka sedang menikmati obrolan santai, bercerita banyak hal tentang perkuliahan dan semua hal yang telah mereka lewati ketika tak sempat bertemu karena kesibukan, seseorang datang.
“Kak Nabila..??”
Keduanya menoleh. Chyntia menatap Nabila. Nabila mengangkat bahu, mengkerutkan alis seolah menunjukkan kebingungan yang sama. Keduanya sama-sama tak mengenali gadis yang sepertinya lebih muda dari mereka berdua. Kalau dilihat dari raut wajahnya sepertinya ia adalah adik tingkat kuliah mereka.
“Kak Nabila sombong sekali!”
Kali ini Nabila mengerutkan dahinya. Sama sekali tak mengerti. Bagaimana mungkin gadis ini mengatakan Nabila sombong, ia bahkan baru bertemu dengannya.
“Maksudmu, kau mengenalku? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”. Nabila memastikan.
“Tentu saja aku mengenalmu, Kak Nabila. Aku bahkan bertemu denganmu saat minggu kemarin kau pergi berjalan-jalan. Apa kau tak mendengar saat aku memanggilmu?”
Nabila baru membuka mulutnya, hendak menanggapi kalimat gadis itu, namun Chyntia lebih dulu bersuara.
“Apa kau bilang? Pergi berjalan-jalan?” Chyntia mengarahkan pandangannya pada Nabila. “Kau pasti pergi bersama Salsa dan Fara, bukan? Kenapa kau tak mengajakku? Bukankah menyenangkan jika bisa pergi bersama mereka juga?” Chyntia memasang wajah kecewa. Tapi itu tidak sungguhan kecewa.
“Bukan. Eh, maksudku..” Nabila menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Bukan kak, dia bahkan tidak pergi bersama perempuan. Kak Nabila bersama seorang pria.” Gadis itu menyela jawaban Nabila begitu saja.
“Maksudmu, Nabila berkencan?” Chyntia penasaran.
“Ah ha. Aku tak mengatakannya. Tapi kau telah menyimpulkan.”
Chyntia menghembuskan nafas tak percaya. Tertawa. “Bagaimana mungkin kau berkencan tanpa menceritakan apapun padaku, Nabila?”
‘Eh.. Aku..” Nabila benar-benar tak mengerti harus mengatakan apa.
“Sudahlah. Aku memaafkanmu. Tak perlu terlalu gugup. Bukankah ini benar-benar kabar gembira? Aku tak pernah mendengar kau berkencan. Dan kau bukan tipe gadis yang ingin berpacaran, bukan? Apa itu ta’aruf?” Chyntia bersemangat sekali mendengar berita hebat itu.
“Eh, tidak. Itu hanya teman. Percayalah.”
“Ayolah, Nabila. Kau harus membertahuku. Siapa lelaki beruntung itu?” Chyntia sangat mendesak. Ia benar-benar penasaran.
Beberapa menit Nabila hanya terdiam. Menunduk. Ia hanya bisa berdo’a gadis misterius dihadapannya tak menyebutkan nama siapapun. Tapi sepertinya nasib baik belum berpihak pada Nabila.
“Aku rasa semua orang mengenal lelaki yang berkencan dengan Kak Nabila.” Gadis itu justru yang menjawab pertanyaan Chyntia.
“Oh ya? Aku semakin tak sabar ingin tahu siapa lelaki itu. Ayo katakan, siapa dia?”
“Kak David. Kau juga mengenalnya, bukan?”
Kalimat terakhir gadis itu – kalimat yang hanya diucapkannya beberapa detik saja, namun jelas berhasil menghancurkan banyak hal. Nabila menggigit bibir.
“David? David mana yang kau maksud? Bukan David Elfahri, kan? Bukan pula David presiden kampus kita, kan?”
Kali ini tangan dan kaki Nabila berubah menjadi dingin. Wajahnya memucat. Bisa dipastikan, dalam hitungan menit, semua yang ia jaga akan segera berakhir. Persahabatannya selesai.
“Tepat sekali yang kau katakan, Kak! Sudah kuduga, semua orang pasti mengenal Kak David. Beruntung sekali Kak Nabila berkencan dengan lelaki seperti dia.”
Demi mendengar kalimat gadis itu, Chyntia terdiam. Menutup mulutnya tak percaya. Menatap dalam Nabila. Sangat kecewa.
“Tentu saja aku mengenalnya.” Jawab Chyntia sambil tetap menatap Nabila. Tak ada lagi senyuman, apalagi tatapan bersemangat. Chyntia menelan ludah, menghembuskan nafas kasar. Ia segera beranjak. Mengambil tas, meninggalkan Nabila.
Nabila hanya tertunduk dalam. Ia bahkan tak sanggup menatap mata sahabatnya itu. Matanya sudah dipenuhi aliran sungai. Sekali ia memejamkan mata, maka pipinya basah oleh airmata. Ia menarik nafas dalam. Tak tahu lagi harus melakukan apa. Beberapa saat, ia menghapus airmatanya. Menarik tas, dan bergegas pulang. Meninggalkan gadis misterius yang telah berhasil merusak semua cerita yang telah Nabila siapkan. Semuanya telah selesai.
Matahari perlahan menyembunyikan wajahnya dibalik awan. Bumi terasa semakin gelap, orang-orang masih berhamburan dipantai, sebagian ada yang mulai mengeringkan badan setelah puas bermain air dan ombak, sebagian sudah menuju perjalanan pulang.
Angin berhembus semakin kencang, tak ada pepohonan yang menghalangi, dengan bebas angin menerpa wajah Nabila dibalik kerudung hitamnya. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini mengalir deras dan liar membasahi pipi mungilnya. Berkali-kali Ia mencoba menghapusnya, namun tak juga berhenti, hatinya sudah tak kuat lagi, tak bisa ditahan walau sedetik pun. Untunglah semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada yang sempat menyaksikan aliran air yang meluncur dari mata bulat gadis cerdas nan melankolis itu.
Hari sudah hampir malam. Semua kendaraan berlalu lalang menuju jalan pulang. Mata bulat yang berbinar telah berubah memerah. Sesaat menahan tetesan dalam kelopak indah hingga ditempat pengaduan. Berharap tenggelamnya matahari membawa serta cerita yang tak pernah ia harapkan. Dan esok semoga matahari terbit kembali dengan cerita baru yang jauh dari kesakitan.

Pelangi Hitam di Langit MarlboroughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang