Bab 16

118 5 5
                                    

Seminggu. Ini sudah seminggu aku di Jakarta. Mencari bantuan dan sponsor dari dermawan yang mau meminjamkan secuil dananya untuk membantuku mengerjakan misi balas dendam. Mungkin bila mendengar kata 'balas dendam' kau akan berpikir aku adalah manusia yang picik dan kejam. Perlu kau ketahui, aku tidaklah sejahat itu.

Sesuai janji yang terucap dari bibirku, aku akan pulang ke kampung halaman menepati kata-kataku pada Bi Leha, juga pada warga yang membenciku lantaran fitnah yang mengaitkanku dengan kepala desa dan istrinya. Aku siap menerima cacian lebih hina daripada yang sudah kudapati. Aku sudah siap menanggung malu atas semuanya.

Surya, Kak Eli, dan Kak Fatin, berulang-ulang menghubungiku untuk kembali. Ada sedikit kiriman dana dari pemerintah untuk menambah biaya yang kubutuhkan untuk pengeboran besar-besaran nanti.

Angka lima puluh juta, mungkin akan sangat membantu membuat penyaringan air dari Waduk Malahayu, persis seperti yang Surya katakan. Karena nominal yang terkumpul, tidak cukup menjalankan program pemindahan air dari pegunungan yang jauhnya berpuluh kilometer dari desa Beber.

Dalam waktu seminggu ini, aku tak ada jadwal bedah. Ibu Evelin sudah pulang kemarin siang. Untuk mengecek kondisi pasien harian, aku menitipkan tugasku pada dokter Bian. Aku tidak tahu akan berapa lama tinggal di Beber. Mungkin dua minggu, bisa juga lebih.

Namun tiba-tiba langkahku terhenti. Ragu untuk pulang. Seusai sholat Shubuh, ayah Evelin meneleponku untuk segera menemuinya di rumahnya di kawasan Kota Bogor. Aku tidak tega meninggalkan seseorang yang masih butuh pertolongan. Dan aku tak akan membiarkan ayah Evelin menangis lagi untuk kedua kalinya karena ditinggal orang yang dicintainya. Walaupun aku tahu, nyawa manusia bukanlah di tanganku, tetapi di tangan Tuhan. Namun, aku sudah berjanji untuk menolong ibu dari mendiang sahabatku itu. Anggap saja ini balas budi kepada Evelin.

Peralatan yang biasa kugunakan untuk memeriksa ibu, seperti stetoskop, Sphygmomanometer, thermometer, jarum suntik, obat-obatan, dan alat kedokteran lainnya kukemas ke dalam tas bening. Ibu yang melihatku mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu, meraih pundakku.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Kinara. Mampirlah sebentar ke sana. Berdoa semoga semua anggapanmu keliru." Ibu yang mengerti jalan pikiranku, langsung memberikan saran terbaiknya. Aku memeluk ibu dan mencium punggung tangannya.

"Ibu, selalu kabari aku. Jangan lupa makan. Jangan lupa minum obat. Kalau Megan kurang bagus kerjanya, biar aku menyewa suster lain," kataku sembari melirik Megan yang berdiri di samping ibu.

"Ih, Dokter Muda, aku tidak begitu. Ya, kan, Bu? Aku bekerja dengan baik," protes Megan membela diri. Ibu tersenyum melihat wajah Megan yang terlipat.

Pak Ihsan berseru kesal karena tidak tahu jawaban di kolom mendatar teka-teki silang saat aku keluar pintu.

"Jadi berangkat, Non? Saya kira batal," Laki-laki bertubuh kurus itu menutup buku TTS-nya dan segera menyalakan remot mobil, mempersilakanku masuk.

"Kita ke Bogor, Pak," kataku sembari membaca koran terbitan terkini. Pak Ihsan yang mengintipku di spion tengah melipat dahinya.

***

"Tante kenapa, Om?" tanyaku pada ayah Evelin. Dengan tergesa-gesa, aku mengeluarkan semua peralatan kedokteran yang bisa kubawa.

"Tidak apa-apa, Dokter Muda Kinara. Tantemu baik-baik saja," jawab ayah Evelin santai. "Bukankah dokter harus berangkat ke Brebes hari ini?" tanyanya dengan wajah tenang.

Aku mengangguk, menarik napas lega melihat ibunda Evelin baik-baik saja.

Ayah Evelin permisi sebentar. Beliau memberikan amplop putih panjang padaku sekeluarnya dari kamar. "Dokter Muda yang baik hati, ambilah ini," ayah Evelin menunjuk amplop di tangannya yang disodorkan padaku.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang