"Hey, I just met you...
...and this is crazy !"
.
.Carly Rae Jepsen dengan lagunya yang berjudul "Call Me Maybe" mengalun lamat-lamat dari mulut speaker yang terpajang di sudut Carousel's café, beradu selaras dengan suara desis 'fuss' mesin-mesin kopi yang ada di balik bar.
"Selamat menikmati. Have a good day !"
Aku memberikan secangkir teh Darjeeling, secangkir cappucinno , dan dua potong Tofee Cake kepada sepasang laki-laki dan perempuan tua baya yang kira-kira berumur 40-an.
Kenalkan, aku Jaehyun.
Si barista yang sedang mendapat jatah shift sore yang menyenangkan( —bohong ) di café pinggir jalan ini.Entah apa Sabtu sore kali ini bisa dibilang sebagai sore yang ' menyenangkan ' atau tidak. Karena bahkan sampai sekarang, yang ngendon di sofa-sofa dan kursi-kursi kayu antik café ini adalah orang-orang dengan wajah kusut, yang kebanyakan belum mandi, sibuk bikin tugas dengan laptop serta buku-buku teks.
Sebut saja om-om disebelah sana yang masih bermata kosong. Dengan tiga cangkir latte bekas di mejanya, sementara matanya terus menatap pajangan puisi-puisi dalam post-it yang dipajang sepanjang dinding sanctuary para customer.
"Satu wafel dengan es krim cookies dan satu affogato, please."
Aku tersentak.
Mungkin karena terlalu sibuk mengamati pelanggan, aku tidak meyadari seseorang telah berdiri di depanku, atau bahkan mendengar gemerincing lonceng pintu masuk.Ketika aku mendongakkan kepala, nafasku serasa tercekat di tenggorakan.
Aku tidak tahu bahwa di café ini seorang malaikat telah sudi singgah. Maksudku— lihatlah paras ayu yang tertoreh sempurna di wajah manis itu, dengan helai-helai rambut sewarna arang terjatuh rapi di keningnya.
Akan betapa hangatnya sepasang bola mata bulat itu memandang. Akan betapa lembut atmosfer yang dibawa oleh pemuda ini.Sedetik.
Dan aku sadar betapa anggunnya ia untuk ukuran seorang pria.Dua detik.
Dan jantung ini seakan dipaksa memompa darah 3 kali lebih cepat. Ada sensasi panas muncul ke permukaan.
Menggelitik, seolah ribuan kupu-kupu kini tengah terbang dengan bebasnya di perutku.Tiga detik.
Dan aku seakan mem foto-copy tiap gerakan singkat pemuda ini, caranya mengambil napas misalnya. Dan detik itu juga, aku merasa bahwa aku mampu melakukan segalanya untuk pemuda yang baru aku pandang 3 detik itu."EHEM! "
Aku mengerjap, dan sadar bahwa ia nampak kesal karena aku tak menghiraukannya. Aku balas berdehem.
Astaga, tampangku pasti blo'on sekali tadi."O-oke, mohon tunggu sebentar."
Aku segera melapor ke Doyoung—meminta agar wafel dengan es krim
cookies itu segera dibuat, sementara aku berkutat dengan affogato-nya.
Tanganku segera memasang portafilter berisi bubuk kopi yang sudah kupadatkan ke head-group mesin pembuat kopi untuk menghasilkan secangkir kecil espresso , yang kemudian dituangkan ke atas gelato .
Begitu pesanannya selesai, ia bergegas membawa nampannya ke tempat duduk nomor dua belas yang dekat dengan dinding sanctuary para pelanggan.Tempat itu juga bersebelahan langsung dengan jendela besar. Ia lalu meletakkan nampannya, sebuah netbook, dan tumpukan kertas dari tas selempangnya ke meja. Kurasa ia adalah anak kuliahan.
Tapi hey, siapapun kau,
KAMU SEDANG MEMBACA
Frontal
Short Story'Jaman sekarang, menyatakan cinta memang butuh kefrontalan. Meski terkadang......' . Ff re-post from Madalene Lexie TERIMA KASIH :)