"The Japanese say you have three faces.
The first face, you show to the world
The second face, you show to your close friends and family
The third face, you never show anyone
It's the truest reflection of who you are."
---Kalau kuingat ingat kami berhadapan dengan jarak 10 meter di tengah mall itu. Setelah itu Vendi mulai berjalan dengan langkah langkah panjang kearahku.. Melihat itu aku seperti ingin lari, tapi tidak tau mau lari kemana. Aku mau mundur tapi kakiku bahkan tidak bisa bergerak. Vendi terus berjalan hingga akhirnya menyisakan jarak tepat satu langkah di depanku.
Aku ingat betul tatapan mata yang dia gunakan untuk menatapku. Tatapan tajam seperti biasanya.. Hanya saja entah sejak kapan tatapan itu berubah menjadi manis bagiku.
"Apa kau menjatuhkan sesuatu?
Kenapa kau selalu melihat kebawah?
Kau sudah pendek jadi tegakkan kepalamu dan luruskan pandanganmu kedepan!
Seolah kau berkata jalan yang didepan adalah milikmu, dan suruh mereka semua minggir dengan matamu. Mengerti!"Setelah mengatakan kalimat tanpa pri-kemanusiaan seperti itu, Vendi menarik tanganku. Aku tahu. Kalimat yang dia katakan itu adalah caranya menguasai segalanya. Dengan percaya diri dia menarik dan menggenggam erat pergelangan tanganku. Dia menegapkan badannya dan meluruskan pandangannya kedepan. Benar saja.. Orang yang berjalan di depan dengan otomatis memberi kami jalan.
Vendi orang yang punya kepercayaan diri tinggi sekali. Dia tidak akan takut mengutarakan apa yang ada di hatinya. Jujur aku iri akan sifatnya yang satu ini.
Di sekolah, sifat dinginnya tidak mengubah ketertarikan orang padanya. Dia tetap jadi pribadi yang super dimata semua orang. Tapi dia selalu membatasi dirinya dengan tembok yang besar. Menutupi sikap manisnya dengan menjadi dingin dan kasar. Begitulah yang kulihat dari dia saat ini. Ada satu kesamaan diantara kami.
Tidak punya teman.
tapi kesamaan itu didasarkan dengan alasan yang sangat berlawanan.
Aku tidak punya teman karena memang mereka tidak suka padaku. Sementara Vendi? Dialah yang menolak mereka semua.Sudah cukup lama kami berjalan bepegangan tangan, jadi sekarang aku mencoba untuk menarik tanganku dari genggamannya. tapi Vendi malah menggenggamnya lebih erat lagi. Membuatku bingung apa yang sedang terjadi saat ini. Aku mencoba mencairkan suasana, "kau tidak akan menyuruhku membeli pakaian disini kan?"
"....."
"kalau kau ingin melakukan itu, sebaiknya antar aku pulang sekarang. Membeli pakaian di tempat ini sama saja aku memenggal kepala ayahku. Kau tau, mall ini terkenal dengan harganya yang mahal. Yah... Kalau anak orang kaya sepertimu sih wajar wajar saja. Tapi-"
" jangan khawatir aku hanya akan memintamu memilihkan pakaian untuk kakakku" Vendi langsung memotong kalimatku, terang saja.. Aku sangat berisik.
"Kau punya seorang kakak?!!"
"Apa ada yang aneh jika aku punya kakak?"
"tidak. Hanya saja.. Kukira kau anak semata wayang."
" sekali kali nyalakanlah televisi di rumahmu."
"memangnya apa hubungannya dengan televisi?"
AUTHOR POV
'dert...dertt...dert...'
belum menjawab pertanyaan Nana hp Vendi bergetar. Ia melepas genggaman tangannya untuk mengecek benda segi empat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Sun Amid The Rain"
Подростковая литератураJesic Kirana adalah remaja yang akrab disapa Nana oleh teman sekolahnya. Tipikal orang yang tidak percaya diri dan selalu menundukkan kepalanya, seolah semua adalah salahnya. Wanita itu dipertemukan oleh takdir dengan Vendi, pemilik sekolah kesenian...